- Tanpa serangga, lingkungan hidup akan kacau. Bahkan, berpotensi memicu peperangan karena memperebutkan pangan. Sebab, tidak ada lagi makhluk yang bisa membantu penyerbukan.
- Selain pestisida, hilangnya habitat, krisis, penggunaan bahan pencemar dan berbahaya, eksploitasi berlebihan, dan penyebaran spesies invasif menyebabkan serangga menurun.
- Survei menunjukkan serangga dimana-mana mulai berkurang. Hal itu bisa mengakibatkan punahnya 40 persen spesies serangga dunia hanya dalam beberapa dekade selanjutnya.
- Padahal, jasa lingkungan yang diberikan serangga cukup besar. Misalnya, tanaman yang membutuhkan penyerbukan serangga mempunyai nilai ekonomi per tahun setidaknya 235-577 miliar dollar AS.
Sebagai makhluk kecil yang memiliki peran dalam penyerbukan segala jenis tanaman maupun tumbuhan, keberadaan serangga di alam menjadi aset yang sangat penting untuk ketersediaan pangan. Tidak hanya itu, keberadaan hewan terestrial ini juga berjasa besar sebagai pengendali hayati alami, menyuburkan tanah, hingga mengurai sampah.
Akan tetapi, pernahkah membayangkan bagaimana jadinya bila kelompok hewan yang paling beragam ini benar-benar punah karena berbagai tekanan yang dihadapinya?
Barangkali pertanyaan naif itu dianggap berlebihan. Namun, berangkat dari ketertarikannya terhadap isu lingkungan, Arifin Muhammad Ade mencoba mencurahkan kegelisahannya itu lewat hajatan “Bedah Buku Narasi Ekologi: Kiamat Serangga dan Masa Depan Bumi” yang digelar di Rumah Kehati di Cilandak Timur, Jakarta Selatan, Jakarta.
Sebagai penulis buku yang dicetak tahun 2020 itu, Arifin merasa khawatir bila serangga di bumi betul-betul binasa. Tanpa serangga, lingkungan hidup akan mengalami kekacauan. Bahkan, berpotensi terjadi peperangan.
Sebab, tidak ada lagi makhluk yang bisa membantu penyerbukan tanaman maupun tumbuhan yang menjadi sumber pangan manusia. Bila ketersediaan pangan menipis maka menurut dia konsekuensi yang mesti dihadapi adalah akan terjadi perebutan sumber daya alam.
“Ketika serangga itu punah akan berkorelasi dengan krisis ekologi yang berkelanjutan. Fenomena-fenomena kerusakan lingkungan itu bisa terjadi lebih masif lagi,” ujarnya akhir Juni lalu.
Baca : Penemuan Serangga Baru, Peneliti: Spesimen Perlu Didepositkan di Museum Zoologicum Bogoriense
Apa yang dikatakan Arifin bukan igauan semata, akan tetapi berdasarkan sumber-sumber literatur ilmiah yang juga dituangkan dalam bukunya yang terilhami dari buku Silent Spring, karya ahli biologi kelautan Amerika Serikat, Rachel Carson.
Dalam agenda yang diikuti mayoritas anak-anak muda itu juga sekaligus untuk memperingati satu dasawarsa Biodiversity Warriors, yaitu gerakan anak muda yang bertujuan mempopulerkan keanekaragaman hayati di Indonesia baik dari sisi keunikan, pelestarian, dan pemanfaatan secara bertanggung jawab.
Gerakan yang dipelopori oleh Yayasan Keanekaragaman Hayati ini memiliki anggota sebanyak 6.000 anak muda yang tersebar diseluruh penjuru tanah air.
Berkaca dari Pengalaman
Disamping itu, Arifin mengungkapkan dibuatnya buku yang hasil penjualannya didonasikan untuk penyintas COVID-19 ketika itu juga tidak terlepas dari latar belakangnya sebagai anak seorang petani di Kepualauan Tidore, Provinsi Maluku.
Dalam ingatannya, dulu sewaktu kecil ia kerapkali melihat bapaknya mengusir semut hitam (Dolichoderus thoracicus) yang dianggap sebagai hama yang menyerang tanaman pangan mereka dengan menggunakan musuh alami, yaitu semut rangrang (Oecophylla smaragdina).
Namun, lambat laun cara penanggulangan hama yang dilakukan bapaknya itu sudah hilang. Umumnya digantikan dengan menggunakan pestisida. Sedangkan unsur-unsur kimia yang ada di dalam pestisida tidak mudah dihancurkan.
Alih-alih menjadi solusi untuk mengatasi serangan hama yang menyerang tanaman, namun kenyataannya malah justru berkebalikan. Residu pestisida yang digunakan secara berlebihan selain menjadi anacaman bagi serangga, juga dapat meneror kesehatan manusia.
“Memang tidak semua serangga terbunuh, akan tetapi bila itu dilakukan secara masif tidak menutup kemungkinan yang masih bisa survive juga akan hilang,” imbuh pria jebolan jurusan ilmu lingkungan, program pascasarjana di Institut Teknologi Yogyakarta ini.
Baca juga : Bagaimana Serangga Membantu Investigasi Kasus Kriminal?
Ketertarikan Arifin untuk menulis buku perdananya itu semakin besar, sebab ia juga mendapati realita bahwa buah-buah seperti durian dan mangga yang dulunya melimpah di kampungnya seiring berjalannya waktu produksinya semakin menurun.
Sejumlah jurnal ilmiah hasil riset para ahli tentang ekosistem serangga pun ia lahap selama melanjutkan studi di kota berjuluk “Kota Gudeg” itu. Sehingga ia berkesimpulan merosotnya produktifitas buah di kampungnya itu salah satunya yaitu karena populasi serangga kian menurun.
Perbanyak Ruang Hijau
Pestisida bukanlah satu-satunya faktor yang menyebabkan populasi hewan terestrial itu menyusut, namun hilangnya habitat dan perubahan iklim global, penggunaan bahan pencemar dan berbahaya, eksploitasi berlebihan, dan penyebaran spesies invasif juga dapat juga berperan.
Kondisi ini diperkuat dengan laporan terakhir yang memperingatkan adanya kemungkinan “kiamat serangga”, termasuk survei yang menunjukkan serangga dimana-mana mulai berkurang jumlahnya dengan cepat. Hal itu bisa mengakibatkan punahnya 40 persen spesies serangga dunia hanya dalam beberapa dekade selanjutnya.
Hadir memberi tanggapan, Profesor Rosichon Ubaidillah, ilmuwan Biologi dari Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN) beranggapan, berkurangnya populasi hewan yang membentuk kelas insekta itu karena paradigma manusia masih banyak yang menganggap serangga itu hama dan sumber penyakit.
Padahal, lanjutnya, bila merujuk pada laporan dari Panel Ilmiah untuk Keanekaragaman Hayati PBB (IPBES) tahun 2019 yang menyebutkan jasa lingkungan yang diberikan serangga cukup besar. Misalnya, tanaman yang membutuhkan penyerbukan serangga mempunyai nilai ekonomi per tahun setidaknya 235-577 miliar dollar AS.
“Kalau kita lihat ada sekitar 5.500 juta spesies serangga di bumi ini hanya 3 persen itu yang merugikan. Selebihnya menguntungkan bagi manusia dan bagi bumi ini. Untuk itu, ini harus diberi perhatian lebih karena sudah memberikan pelayanan yang positif,” ujar dia dalam diskusi yang dipandu oleh Editor National Geographic Indonesia, Utomo Priyambodo.
Baca juga : Ilmuwan: Perubahan Iklim Mempercepat Kiamat Serangga
Kendati menyadari besarnya peran serangga dan ancaman yang dihadapi, ia mengajak kepada siapapun untuk memperbanyak ruang hijau atau greenspace area. Tujuannya untuk mengundang datangnya hewan beruas yang memiliki tingkat adaptasi yang sangat tinggi ini.
Sementara itu, dalam kesempatan yang sama Direktur Program KEHATI Rony Megawanto mengungkapkan, solusi praktis akan muncul apabila masyarakat mempunyai kesadaran bahwa peranan serangga itu penting untuk keberlanjutan lingkungan. Untuk itu, perspektif serangga dari yang semula dianggap negatif perlu dirubah menjadi positif. (***)
Serangga Phyllium gardabagusi, Jenis Baru yang Namanya dari Peneliti Indonesia