- Pemerintah Indonesia sedang menyusun dokumen kontribusi nasional penurunan emisi kedua (Second Nationally Determined Contribution/SNDC) yang akan disampaikan ke United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) pada Agustus 2024.
- Sejumlah pihak memberikan masukan kepada pemerintah melalui surat terbuka yang dikirimkan kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya Bakar. Dalam surat ini sejumlah masyarakat yang tergabung dalam 34 kelompok masyarakat sipil lintas isu meminta proses penyusunan NDC kedua ini tak hanya ambisius namun memuat komitmen konkret dengan proses partisipatif, inklusif dan adil terutama bagi masyarakat terdampak dan non pemerintah yang lazim disebut non party stakeholders (NPS).
- Nadia Hadad, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan mengatakan, pemerintah harus melibatkan nelayan tradisional, petani, masyarakat adat, perempuan, orang dengan disabilitas , anak-anak dan lansia, sebagai kelompok paling rentan dalam pengambilan keputusan terkait kebijakan iklim.
- Anindita Hapsari, Analis Agrikultur, Kehutanan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Iklim IESR mengatakan, penyusunan target SNDC perlu mengacu pada empat aspek yaitu ambisius, pendanaan dan kesetaraan, kredibilitas, dan transparansi.
Pemerintah Indonesia sedang menyusun dokumen kontribusi nasional penurunan emisi kedua (Second Nationally Determined Contribution/SNDC) yang akan disampaikan ke United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) pada Agustus 2024.
Pemerintah menyatakan, setidaknya ada tiga perubahan dalam penyusunan penetapan target penurunan emisi di SNDC. Pertama, penggunaan data emisi tahun 2019 sebagai basis rujukan pengukuran pengurangan emisi.
Kedua, pemutakhiran dalam transparansi pengumpulan data, pelaporan dan verifikasi. Ketiga, penurunan emisi dari sektor energi akan mengacu pada RPP Kebijakan Energi Nasional (KEN).
Sejumlah pihak memberikan masukan kepada pemerintah melalui surat terbuka yang dikirimkan kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya Bakar.
Dalam surat ini sejumlah masyarakat yang tergabung dalam 34 kelompok masyarakat sipil lintas isu meminta proses penyusunan NDC kedua ini tak hanya ambisius namun memuat komitmen konkret dengan proses partisipatif, inklusif dan adil terutama bagi masyarakat terdampak dan non pemerintah yang lazim disebut non party stakeholders (NPS).
“Pemerintah harus melibatkan nelayan tradisional, petani, masyarakat adat, perempuan, orang dengan disabilitas , anak-anak dan lansia, sebagai kelompok paling rentan dalam pengambilan keputusan terkait kebijakan iklim,” kata Nadia Hadad, Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan.
Proses ini, katanya, harus melihat dimensi keadilan iklim yang mencakup keadilan distributif, rekognitif, prosedural, restoratif-korektif, dan gender.
Dalam surat, mereka juga menekankan aksi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim memberikan dampak bagi semua masyarakat tanpa pandang bulu.
Dia bilang, cuaca ekstrem, kekeringan, banjir, gelombang pasang, penurunan muka tanah dan kebakaran hutan dan lahan membuat banyak orang kehilangan tempat tinggal, memakan banyak korban jiwa, merusak mata pencaharian nelayan, petani, masyarakat adat, bahkan melumpuhkan ekonomi lokal.
“Mereka menanggung beban lebih berat karena kurangnya kemampuan dan dukungan bagi mereka untuk bertahan,” kata Torry Kuswantoro, Direktur Eksekutif Yayasan Pikul, lembaga yang fokus memperkuat kapasitas dan kelembagaan lokal di Indonesia Timur berbasis di Kupang.
Dari segi keadilan gender, Armayanti Sanusi, Ketua Solidaritas Perempuan menyoroti tahapan penyusunan dokumen NDC yang dinilai masih mendiskriminasi perempuan untuk dapat terlibat secara bermakna di dalam seluruh tahapan perencanaan hingga monitoring adaptasi oleh pemerintah. Dibandingkan dengan skema adaptasi, katanya, pemerintah lebih mengutamakan skema mitigasi.
“Padahal, skema adaptasi lebih dibutuhkan perempuan untuk bertahan dalam situasi krisis iklim dan bencana. Perempuan punya insiatif dan pengetahuan lokal dalam merespon situasi krisis iklim. ” kata Armayanti.
Dia mencontohkan , proyek geothermal dan PLTA yang diklaim pemerintah sebagai transisi energi bersih, justru menempatkan perempuan pada situasi berlapis. Karena perampasan masif, penggusuran ruang hidup perempuan, hingga penghilangan pengetahuan dan kearifan lokal yang menciptakan berbagai ketimpangan dan feminisasi pemiskinan struktural bagi perempuan petani, nelayan dan adat.
Farhan Felmy, Presiden Pergerakan Disabilitas dan Lanjut Usia (Dilans) juga Kepala Sekolah Thamrin School of Climate Change and Sustainability sepakat penyusunan NDC kedua tidak menunjukkan keberpihakan dan keadilan iklim pada lansia dan difabel. Menurut dia, ada sekitar 50 juta orang lansia dan difabel di Indonesia yang mesinya ikut dilibatkan.
“Prinsip no one left behind dan nothing about us without us tidak terlihat dan mungkin juga tidak dipahami dalam mempresentasikannya,” katanya.
Dani Setiawan, Ketua Umum Kesatuan Nelayan Tradisonal Indonesia (KNTI) juga menilai, masyarakat sipil belum dilibatkan secara inklusif. Baginya, penting memastikan suara nelayan tradisional didengar dan diperhitungkan dalam penanganan perubahan iklim.
Faktanya, kata Dani, nelayan kecil dan tradisional merupakan kelompok terdampak perubahan iklim. Survei KNTI 2023 menunjukkan, perubahan iklim menurunkan hasil tangkapan sampai 72% dan pendapatan hingga 83%. Risiko kecelakaan juga meningkat 86%.
“Tanpa pelibatan nelayan, kebijakan yang dihasilkan berisiko tidak relevan dan tidak efektif di lapangan.”
Dia menekankan, nelayan kecil dan tradisional tidak ingin hanya menjadi objek kebijakan, juga subyek yang aktif terlibat dalam pengambilan keputusan.
Penurunan jumlah nelayan, ujar Hendra Wiguna, Ketua Umum Kesatuan Pelajar Pemuda dan Mahasiswa Pesisir Indonesia, karena minimnya minat generasi muda jadi nelayan atau berusaha di sektor kelautan perikanan. Kondisi ini, katanya, karena meningkatnya risiko bekerja di laut.
Di sektor budidaya ikan dan rumput laut, katanya, anak muda juga enggan terjun karena kesehatan laut dan pesisir menurun berimbas pada kualitas produk.
Kondisi ini, katanya, mesti diantisipasi segera karena akan berdampak pada ketersediaan pangan hingga serapan tenaga kerja di sektor kelautan perikanan.
“Dengan pelibatan nelayan, pembudidaya ikan, petani, peternak akan hadir kebijakan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat terdampak dan terwujud kemampuan adaptasi yang mumpuni bagi nelayan muda dan pelaku usaha kelautan perikanan lainnya,” kata Hendra.
Target jelas
Meski demikian, Institute for Essential Services Reform (IESR), menilai , perubahan tahun rujukan pengurangan emisi dan penguatan aspek transparansi merupakan langkah maju.
Perhitungan pengurangan emisi yang bukan lagi menggunakan proyeksi emisi tanpa intervensi atau business as usual (BAU), melainkan tahun rujukan, merupakan pendekatan lebih aktual dan terukur karena berdasar data historis yang konkret.
Menyoal pemutakhiran sistem transparansi NDC kedua, IESR memandang perlu penetapan target penurunan emisi yang jelas dan spesifik per tahun. Target penurunan emisi ini harus pula meliputi semua sektor dan semua jenis gas rumah kaca.
Merujuk pada rekomendasi Climate Action Tracker (CAT), Anindita Hapsari, Analis Agrikultur, Kehutanan, Penggunaan Lahan dan Perubahan Iklim IESR mengatakan, penyusunan target SNDC perlu mengacu pada empat aspek yaitu ambisius, pendanaan dan kesetaraan, kredibilitas, dan transparansi.
“Implementasi SNDC ini akan berlangsung pada 2031-2035 sementara mitigasi krisis iklim harus berjalan terus. Pemerintah perlu mengevaluasi dan memperkuat target enhanced NDC yang diimplementasikan pada 2025-2030,” katanya akhir Juni lalu.
Pemerintah, katanya, perlu membangun kredibilitas dengan memastikan implementasi target penurunan emisi yang sudah ditetapkan. Dia menekankan, pemerintah harus menyesuaikan strategi menutup kesenjangan antara emisi saat ini dengan target yang sesuai skenario 1,5 derajat celcius.
Pemerintah juga perlu mengidentifikasi dan menghapus kebijakan atau aturan yang tidak sejalan dengan tujuan pengurangan emisi dan menghambat pencapaian target.
Akbar Bagaskara, Analis Sistem Ketenagalistrikan IESR menggarisbawahi penurunan emisi dari sektor energi akan lebih terukur dengan penetapan target bauran energi terbarukan dibandingkan pakai kapasitas energi terbarukan terpasang.
Mengenai penetapan target penurunan emisi yang mengacu pada RPP Kebijakan Energi Nasional (KEN), Akbar mendorong pemerintah meningkatkan level ambisi mitigasi emisi, termasuk sektor ketenagalistrikan dan transportasi.
Dia bilang, strategi penurunan emisi di sektor ketenagalistrikan, seperti memperlengkapi PLTU batubara dengan teknologi penangkapan karbon (carbon capture storage dan carbon capture utilization and storage), tak efektif dan efisien dalam mencapai emisi nol bersih (net zero emission).
“Strategi cofiring biomassa perlu ditinjau ulang. Selain mempertimbangkan pemenuhan bahan baku yang diproyeksi membutuhkan hutan tanaman energi minimal 2,33 juta hektar, verifikasi klaim penurunan emisi juga harus dilakukan dengan mempertimbangkan emisi dari siklus hidup dari biomassa itu,” katanya.
Dia juga mennekankan, penyelarasan Rancangan Undang-undang Energi Baru dan Terbarukan dengan tujuan SNDC. RUU itu masih mencakup teknologi energi baru berbasis batubara, seperti batubara tercairkan dan batubara tergaskan untuk menghasilkan dimethyl ether (DME) sebagai bahan bakar pengganti LPG. Hal ini menjadi kontraproduktif dengan ide dan tujuan transisi energi dan aksi iklim.
Yosi Amelia, dari Program Hutan dan Iklim, Yayasan Madani Berkelanjutan memaparkan, sektor hutan dan penggunaan lahan menjadi penyumbang emisi terbesar sekitar 50,1%. FoLU diharapkan menyerap lebih banyak emisi dibandingkan melepaskan (net sink) pada 2030 dengan skenario rendah karbon yang sejalan dengan Perjanjian Paris untuk pencapaian nir emisi 2060 atau lebih cepat.
Dia juga mendorong pemerintah memperluas dan memperkuat pengelolaan hutan berbasis masyarakat.
Organisasi masyarakat sipil mengembangkan beberapa rekomendasi sektoral yang perlu jadi pertimbangan pemerintah dalam menyusun dokumen SNDC.
Organisasi-organisasi yang terlibat dalam penyusunan rekomendasi itu adalah ICCAS, Yayasan Rumah Energi, CIPS, Koaksi Indonesia, Yayasan Madani Berkelanjutan, Yayasan Humanis, Yayasan Indonesia Cerah, Nexus3, YPBB, dan IESR. Koalisi masyarakat sipil menyampaikan rekomendasi sektoral ke menteri atau pimpinan lembaga terkait pada November 2023.
*****
Hilirisasi Nikel di Halmahera Bisa Perparah Krisis Iklim dan Susahkan Warga