Saat ini, bumi alami multi krisis dari perubahan iklim, polusi pencemaran lingkungan, keterancaman keanekaragaman hayati, deforestasi hingga eksploitasi sumber daya. Isu keanekaragaman hayatii kerap kali jadi paling buncit di arena diskursus arus utama.
Bahkan, gerakan global untuk isu biodiversity juga tak banyak terlihat. Sebuah studi terbaru mengenai liputan media di Amerika Serikat, Kanada, dan Inggris menemukan, antara 1991 dan 2016, “liputan media mengenai perubahan iklim delapan kali lebih tinggi dibandingkan keanekaragaman hayati.”
Musababnya bisa dua hal, perubahan iklim maupun polusi udara, sebagai contoh, memiliki dampak langsung yang bisa dialami dan dirasakan manusia, lingkupnya yang makro juga sangat bisa terukur.
Sedang isu keanekaragaman hayati, kerap tersembunyi di bawah kanopi-kanopi hutan, di sela-sela batu sungai, di kedalaman laut dan samudera. Jauh, tak tergapai, dan hampir tak terasa relevan bagi kehidupan umat manusia. Keanekaragaman hayati sebagai sesuatu yang kompleks, tidak langsung terlihat dan menjadi sulit diukur.
Penyebab lain, banyak pihak hanya berfokus pada keuntungan ekonomi jangka pendek tanpa mempertimbangkan dampak terhadap keanekaragaman hayati.
Padahal krisis keanekaragaman hayati masuk dalam Triple Planetary Crisis, selain krisis iklim dan krisis polusi. Triple Planetary Crisis perlu mendapat perhatian lebih karena memiliki dampak signifikan terhadap kehidupan di bumi dan dapat menyebabkan ancaman serius jika tidak ditangani dengan baik.
Manusia dan lingkungan hidup di sekitarnya merupakan satu kesatuan, berkelindan satu sama lain, memengaruhi satu sama lain, membentuk sistem kehidupan bernama ekosistem.
Indonesia merupakan negara dengan tingkat keanekaragaman hayati tertinggi kedua setelah Brazil. Dengan tingkat keanekaragaman hayati sangat tinggi, banyak oknum tidak bertanggung jawab mengambil manfaat ini secara eksploitatif.
Hal ini bisa dikaitkan dengan hasil pemantauan Satya Bumi, antara lain, keanekaragaman hayati tingkat ekosistem. Ia berupa habitat orangutan Kalimantan dan orangutan Tapanuli yang terancam hilang karena ada pemberian izin konsesi hutan tanaman industri (HTI) dan pertambangan di wilayah itu.
Di Indonesia, ada tiga jenis orangutan, yaitu, orangutan Sumatera (Pongo abelii), orangutan Tapanuli (Pongo tapanuliensis), dan orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus). Berdasarkan laporan PHVA Orangutan 2016, diperkirakan terdapat 71.820 orangutan tersisa di Pulau Sumatera dan Borneo (Kalimantan, Sabah dan Serawak) di habitat seluas 17.460.600 hektar.
Populasi orangutan Sumatera diperkirakan terdapat 14.479 individu, sedangkan orangutan Kalimantan diperkirakan 57.350. Pada tahun 2017, teridentifikasi spesies baru yaitu orangutan Tapanuli yang mendiami ekosistem Batang Toru, Sumatera Utara. Populasi hanya 767 orangutan.
Menurut IUCN Red List 2023, ketiga spesies orangutan ini berada pada status terancam punah (critically endangered) dan mengalami penurunan individu dari tahun ke tahun (decreasing).
Walaupun orangutan Sumatera lebih sedikit dibandingkan orangutan Kalimantan dan memiliki status keterancaman sama, namun orangutan Kalimantan mengalami penurunan lebih besar berdasarkan jumlah absolutnya.
Populasi orangutan Kalimantan mengalami penurunan sekitar 50% selama 16 tahun terakhir (1999-2015). Penurunan ini karena penggundulan hutan, fragmentasi habitat, perburuan ilegal, kebakaran hutan, dan konversi lahan untuk perkebunan sawit maupun HTI.
Pemerintah Indonesia seolah menutup mata dengan hal ini. Mereka tetap memberikan izin konsesi pada lahan atau hutan yang terindikasi merupakan habitat orangutan. Perusahaan ini membabat hutan alam dan menghilangkan habitat orangutan Kalimantan, namun pemerintah sama sekali tidak memberi tindakan serius untuknya.
Seperti dalam laporan Satya Bumi yang menyodorkan fakta benderang menunjukkan 31 sarang orangutan terdapat di bagian selatan konsesi PT Mayawana Persada itu.
Akhir April 2024, Satya Bumi bersama sejumlah organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil audiensi kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk meminta kementerian itu mencabut izin perusahaan.
Satwa kehilangan rumah
Seiring waktu, orangutan Kalimantan menghadapi berbagai ancaman serius yang mengancam kelangsungan hidup mereka. Konsesi HTI menjelma menjadi ancaman nyata bagi satwa langka dilindungi ini. Hutan-hutan alam yang dulu jadi habitat, terganti dengan barisan pohon akasia yang tumbuh seragam. Ironisnya, walaupun tampak hijau dan segar, namun pohon itu tidak mampu menyediakan kebutuhan dasar orangutan, seperti makanan dan tempat berlindung.
Salah satu konsesi HTI yang memiliki deforestasi hutan alam terbesar di Pulau Kalimantan adalah PT Mayawana Persada, berada di Kabupaten Ketapang dan Kayong Utara, Kalimantan Barat.
Mayawana memiliki konsesi 136.710 hektar dengan izin keluar pada 2010. Dari jumlah iru, seluas 89.410 hektar (56,8%) merupakan habitat orangutan Kalimantan. Sepanjang 2016-2022, perusahaan ini membuka habitat orangutan seluas 15.643 hektar, lalu 2016-2023, membabat hutan alam sekitar 36.000 hektar (setara separuh luas Jakarta), sebagian besar terdapat di Kawasan Hidrologis Gambut (KHG).
KHG merupakan wilayah ekosistem gambut yang memiliki fungsi tata air dan penyimpan karbon.
Namun, Mayawana tidak mengindahkan hal itu, mereka tetap membuka kawasan gambut, termasuk gambut lindung yang ditandai dengan kanalisasi atau pembuatan saluran drainase yang bertujuan mengeringkan gambut.
Kawasan gambut ini juga menjadi habitat orangutan. Seharusnya, pemerintah mengecualikan pembukaan lahan di wilayah kritis bagi kehidupan orangutan. Yang terjadi sebaliknya, walaupun menemukan sarang orangutan di konsesi itu, namun tidak lagi temukan keberadaan orangutan, yang tersisa hanyalah sarangnya.
Kondisi ini, menunjukkan habitat orangutan terganggu hingga banyak bermigrasi dari daerah itu.
Sejatinya, KLHK sudah mengeluarkan surat penghentian semua aktivitas pembukaan hutan pada areal bekas tebangan atau logged over area (LOA) kepada Mayawana pada 28 Maret 2024. Namun, laporan Satya Bumi menunjukkan, masih ada pembukaan hutan gambut seluas 434,33 hektar pasca cut off date itu.
Orangutan Kalimantan bukan sekadar hewan, mereka adalah bagian dari ekosistem kompleks. Orangutan adalah spesies payung yang berperan sebagai tukang kebun alami yang membantu menebar biji-bijian untuk regenerasi hutan dan keseimbangan ekosistem. Mereka adalah satwa arboreal yang menghabiskan sebagian besar waktu di atas pohon.
Kerusakan habitat menyebabkan perubahan perilaku. Kini, mereka harus turun ke tanah untuk mencari tempat aman dan mencari makanan. Selain itu, kekurangan habitat yang memadai tidak hanya mengurangi sumberdaya yang mereka butuhkan, juga meningkatkan risiko konflik dengan manusia.
Konflik antara manusia dan orangutan tidak dapat dihindari. Ketika habitat alami mereka diambil alih konsesi HTI, orangutan terpaksa mendekati ladang-ladang warga dan permukiman untuk mencari makan.
Mereka tidak pernah memilih untuk menyerang atau mengganggu manusia, hanya berusaha bertahan hidup. Namun, warga yang belum paham akan pentingnya peran spesies ini mengusir dengan kekerasan. Mereka dianggap hama dan seringkali ditangkap atau dibunuh. Kenyataan yang memilukan saat melihat orangutan yang seharusnya dilindungi tetapi malah menjadi korban.
Setiap hari terlihat alat berat yang membabat habis hutan alam, bagaikan monster yang menyerang orangutan. Setiap hari adalah ketidakpastian bagi mereka dan setiap langkah adalah perjuangan untuk bertahan hidup. Kalau mereka punah, dampaknya terasa lebih luas yaitu kerusakan ekosistem dan mengurangi keanekaragaman hayati.
Upaya konservasi orangutan
Upaya konservasi merupakan langkah untuk melindungi dan melestarikan populasi orangutan yang makin terancam punah. Masih ada harapan bagi mereka kalau bertindak sekarang, dengan mendukung upaya konservasi, menolak produk dari hutan terdeforestasi, dan menyuarakan perlindungan bagi orangutan.
Beberapa rencana upaya konservasi orangutan yang akan dilakukan Pemerintah Indonesia sudah tertuang dalam dokumen Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Orangutan (SRAK) 2007-2017 dan SRAK 2019-2029. Namun, SRAK 2019-2029, tidak dapat diakses publik sampai saat ini. Publik juga tidak mengetahui hasil monitoring dan evaluasi dari program konservasi orangutan ini, apakah berhasil melindungi orangutan atau justru malah makin mengurangi populasi dan habitatnya.
Tentunya, perlu tindakan kolektif dari berbagai pihak untuk melindungi spesies terancam punah ini. Kita juga perlu melakukan tindakan mendesak pemerintah agar mengatur ulang konsesi yang memberikan ruang bagi habitat orangutan. Melindungi orangutan yang berperan sebagai spesies payung berarti melindungi banyak spesies lain dan ekosistem hutan hujan secara keseluruhan. Ketika satu jenis spesies punah, rantai makanan juga akan terganggu.
Mari kita jaga hutan, jaga orangutan, dan jaga keanekaragaman hayati. Karena menjaga mereka sama saja menyelamatkan lingkungan untuk masa depan kita sendiri. Cara terbaik melindungi populasi orangutan adalah dengan menjaga habitatnya.
Sedangkan habitat yang mendukung perkembangbiakan orangutan yaitu hutan yang memiliki kanopi bagus, tajuk lebat, dan produktivitas tinggi hingga makanan tersedia sepanjang tahun. Sudah saatnya kita mendengar jeritan sunyi mereka dan memastikan orangutan memiliki tempat yang mereka sebut rumah.
*****
*Penulis: Riezcy Cecilia Dewi, Project Officer Satya Bumi. Tulisan ini merupakan opini penulis.