- Setiap tahun, rumput laut selalu menjadi penyumbang produksi yang banyak untuk sektor perikanan nasional. Produk perikanan dari komoditas tersebut bukan hanya untuk kebutuhan ekspor dalam bentuk raw material saja, namun juga dalam bentuk olahan
- Dengan luas lautan mencapai 6.400.000 kilometer persegi (km2), garis pantai membentang sepanjang 110.000 km, dan dukungan iklim tropis, perairan Indonesia menjadi habitat yang sesuai untuk pertumbuhan berbagai jenis rumput laut
- Tak heran, sedikitnya ada 555 jenis rumput laut yang bisa tumbuh dengan baik di perairan Indonesia. Salah satunya, adalah jenis Euchema cottoni yang bernilai ekonomi tinggi dan menjadikan Indonesia sebagai salah satu pemasok utama di pasar dunia
- Strategi yang sedang dikembangkan sekarang, adalah menjadikan rumput laut sebagai bagian dari proyek strategis nasional (PSN). Rencana itu akan diwujudkan dengan melaksanakan produksi yang mengadopsi konsep dan prinsip hilirisasi
Dominasi rumput laut pada produksi subsektor perikanan budi daya nasional sudah tak terbantahkan. Potensi yang akan terus membesar itu, mendorong Pemerintah Indonesia mencari banyak cara untuk memaksimalkan manfaat rumput laut untuk perekonomian nasional.
Salah satunya, adalah dengan mendorong produksi bisa dilakukan lebih luas ke provinsi di luar Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara Timur (NTT) yang selama bertahun-tahun sudah menjadi provinsi dengan jumlah produksi rumput laut terbanyak di tingkat nasional.
Pada 2024, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sudah menetapkan target produksi perikanan budi daya sebanyak 24,85 juta ton, dengan target sebanyak 12,3 juta ton dibidik dari produksi rumput laut secara nasional.
Target tersebut menjadi bagian dari rencana strategis nasional 2020-2024 Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, serta menjadi bagian dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024.
Besarnya potensi rumput laut, mendorong pemerintah untuk melaksanakan hilirisasi pada produksi komoditas unggulan ekspor itu. Hilirisasi sendiri adalah suatu proses bagian dari peningkatan nilai tambah pada suatu produk dengan melibatkan aspek riset dan sumber daya manusia (SDM).
Nilai tambah didapatkan sebuah produk dari kegiatan pra produksi, produksi, pengolahan, dan distribusi dengan memanfaatkan semaksimal mungkin bagian yang dapat dimanfaatkan secara optimal. Peran riset dan pengembangan SDM akan sangat mempengaruhi peningkatan nilai tambah yang menguntungkan secara ekonomis.
Baca : Kisah Rumput Laut dan Hilirisasi

Adapun, prinsip dari nilai tambah tersebut diarahkan sesuai dengan konsep ekonomi biru, yaitu nature’s efficiency, zero waste, social inclusiveness, cyclic systmens of production, innovation and adaptation. Untuk itulah, komponen riset dan pengembangan berperan penting.
Saat berada di Bali untuk menghadiri forum tingkat dunia Water World Forum (WWF) 2024, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan menegaskan kembali tentang besarnya potensi rumput laut sebagai kontributor ekonomi nasional.
Hilirisasi
Dia menyebut kalau rumput laut dengan metode hilirisasi sangat layak untuk menjadi bagian dari proyek strategis nasional (PSN). Penetapan tersebut dinilai perlu dilakukan, karena dinilai akan berdampak positif pada pertumbuhan ekonomi nasional.
Rencana menjadikan hilirisasi rumput laut sebagai bagian dari PSN, menurutnya menjadi hal yang baik berdasarkan hitung tim riset Kemenko Marves. Dia mencontohkan, jika rumput laut diproduksi pada lahan seluas 1,2 juta ha, maka akan langsung bisa menyerap tenaga kerja hampir sejuta orang.
Dia menilai, jumlah tersebut sangat banyak dan bisa berdampak pada ekonomi lokal dan nasional. Dampak tersebut dinilai akan semakin membesar jika rumput laut bisa menyerap tenaga kerja secara tidak langsung.
“Jadi, menurut saya ini satu terobosan yang selama ini kurang kita perhatikan,” ucapnya.
Menurutnya, rencana menjadikan hilirisasi rumput laut menjadi bagian dari PSN, sudah diungkapkan oleh Presiden Joko Widodo saat bertemu dengannya. Rencana tersebut, kemudian diusulkan kepada pemerintahan yang baru terpilih, Presiden RI periode 2024-2029 Prabowo Subianto.
Upaya untuk menjadikan hilirisasi rumput laut sebagai bagian dari PSN, sejalan dengan fokus pemerintah mengembangkan rumput laut menjadi lebih baik dari sisi kuantitas dan kualitas. Pada 2033, rumput laut ditargetkan bisa menghasilkan nilai USD19 miliar atau setara Rp303 triliun saat ini.
Target itu diharapkan bisa terwujud melalui hilirisasi rumput laut. Dia yakin, jika hilirisasi berhasil dilaksanakan, Indonesia dan dunia akan bisa bergantung pada rumput laut di masa mendatang. Terlebih, karena pasar dunia sudah membuat proyeksi rumput laut dari USD8,79 miliar pada 2023 menjadi USD19,6 miliar pada 2033.
Baca juga : Hilirisasi Rumput Laut untuk Kemakmuran Banyak Pihak

Menggenjot produksi rumput laut melalui hilirisasi, juga dinilai akan bisa mendorong naiknya kesejahteraan ekonomi masyarakat di wilayah pesisir. Waktu produksi hanya 35-40 hari sepanjang tahun akan meningkatkan peluang lebih banyak dan lebih baik bagi warga pesisir.
“Rakyat kita yang tinggal di (wilayah) pesisir itu 62 persen. Angka kemiskinan dan stunting juga cukup tinggi,” ucapnya.
Di sisi lain, agar produksi bisa lebih banyak lagi, rumput laut didorong bisa melaksanakan produksi lebih singkat lagi. Saat ini, produksi sampai mencapai panen membutuhkan waktu rerata 40 hari. Jika waktu bisa dikurangi menjadi 30 hari, maka produksi diyakini akan menjadi lebih banyak lagi.
Agar bisa terwujud, Luhut mendorong untuk bisa dilakukan penelitian lebih lanjut pada rumput laut. Salah satunya, bisa dilakukan melalui International Center for Tropical Seaweeds (ICTS) yang sudah diresmikan saat WWF 2024 berlangsung.
“Kami kerja sama dengan peneliti, kami ingin 45 hari panennya itu bisa dipercepat jadi 30 hari, sehingga nelayan-nelayan di pesisir tak ada masalah kehidupan ke depan,” ujarnya.
Penelitian lebih lanjut wajib dilakukan, karena potensi rumput laut tropis seperti yang dimiliki Indonesia, memerlukan pendekatan dan strategi baru dalam pengembangannya. Walaupun, rumput laut adalah sumber daya terbarukan yang sangat menjanjikan bagi masyarakat dan dunia.
Dia menyebut, keuntungan Indonesia yang memiliki iklim tropis dan mendapatkan sinar matahari sepanjang tahun bisa mendorong produksi rumput laut lebih banyak dengan kualitas terbaik. Potensi keberlanjutan yang dihasilkan rumput laut tropis, membuatnya dikenal sebagai “emas hijau”.
Namun demikian, di balik segala keunggulan dan potensi besar yang ada pada rumput laut Indonesia, ada tantangan yang harus dilewati pada proses pengembangannya. Di antaranya, karena rumput laut dari Indonesia sudah sejak lama terbiasa dikirim untuk kebutuhan ekspor dalam bentuk bahan mentah (raw material). Atau, paling jauh rumput laut diekspor untuk dijadikan karagenan dan agar-agar.
Selain itu, produksi rumput laut yang berlangsung di Indonesia juga sebagian besar dilakukan dalam skala kecil. Hal itu, disebabkan kurangnya penggunaan mekanisasi dan teknologi, serta tantangan perubahan iklim dan penyakit.
Baca juga : Beragam Permasalahan Rumput Laut dari Petani hingga Tata Niaga

Kunci Penelitian
Luhut meyakini, semua tantangan yang selalu muncul itu hanya bisa dikendalikan melalui riset dan teknologi. Itu berarti, semua aset penelitian yang ada di Indonesia harus dimaksimalkan dengan baik.
“Indonesia memiliki banyak institusi yang melakukan penelitian terhadap rumput, seperti KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan), BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional), perguruan tinggi, asosiasi, dan industri,” ungkapnya.
Saat ini, proyek percontohan hilirisasi rumput laut berskala besar sedang dikembangkan di NTB di lahan seluas 600 ribu ha. NTB diharapkan bisa menjadi pendorong praktik serupa di provinsi lain yang memiliki potensi rumput laut.
Deputi Bidang Koordinasi Sumber Daya Maritim Kemenko Marves Mochammad Firman Hidayat sebelumnya juga sudah mengatakan kalau hilirisasi rumput laut menjadi program prioritas yang disiapkan oleh pemerintah.
Dia mengklaim, hilirisasi rumput laut di Indonesia menjadi program pertama yang dilaksanakan di seluruh dunia. Jadi, NTB adalah proyek percontohan pertama di Indonesia, sekaligus juga proyek percontohan bagi dunia.
Selain NTB dan Sulsel, pengembangan rumput laut juga dilakukan pemerintah di Maluku. Praktik tersebut juga menggandeng tim riset asal India Institute Technology yang bertugas untuk mempelajari dan melakukan riset mengenai industri rumput laut.
Alasan pengembangan dilakukan, adalah karena masa panen rumput laut yang tergolong cepat, disamping kegunaannya yang cukup beragam, mulai dari kosmetik hingga agar-agar.
Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono kemudian mengungkapkan rencana pengembangan rumput laut nasional melalui penerapan modeling budi daya rumput laut. Rencananya, modeling akan dilaksanakan di Kabupaten Rote Ndao (NTT) dan Kabupaten Maluku Tenggara (Maluku).
Masing-masing daerah akan melaksanakan produksi di atas lahan seluas 50 ha dan ditargetkan bisa produksi sebanyak 2.187 ton rumput laut basah setiap tahun. Pengembangan modeling (pemodelan) tersebut mengikuti jejak serupa dengan luas sama di perairan Kabupaten Wakatobi (Sulawesi Tenggara).
Baca juga : Pariwisata Mati, Rumput Laut Hidup Lagi (bagian 1)

Dia mengatakan, strategi pemodelan budi daya rumput laut dibuat oleh KKP karena bertujuan untuk meningkatkan produktivitas, meningkatkan pendapatan petani rumput laut, kesempatan kerja, dan pertumbuhan ekonomi daerah.
Selain menerapkan modeling, KKP juga menerapkan strategi revitalisasi untuk meningkatkan produksi budi daya rumput laut yang sudah ada dengan melakukan penyediaan bibit dan pembibitan kultur jaringan. Selain itu, peningkatan produksi dan industri hilir juga akan bergantung pada stabilitas dan kualitas produksi di hulu.
Dia menjelaskan kalau pada 2022, budi daya rumput laut Indonesia sukses menghasilkan 9,23 juta ton yang didominasi varian cottonii sebagai bahan karagenan. Disusul jenis rumput laut sargassum, gracilaria, haliminea, dan Gelidium amanzii.
Trenggono mengungkapkan kalau rumput laut juga berperan penting untuk membentuk masa depan umat manusia dan memastikan keberlanjutan ekologi. Rumput laut adalah sumber pangan alternatif untuk industri biofarmasi dan kosmetik, pengganti plastik yang ramah lingkungan, dan penangkapan karbon.
Tahun lalu, Future Market Insights mempublikasikan proyeksi pasar rumput laut global mencapai nilai USD7,79 miliar, dan akan terus meningkat menjadi USD19,66 miliar pada 2033. Sementara, Tingkat Pertumbuhan Tahunan Majemuk (CAGR) disebutkan di angka 9,7 persen antara 2023 – 2033.
Menurutnya, proyeksi tersebut akan membuka peluang usaha yang lebih besar, baik di hulu atau hilir. Namun, agar optimalisasi peluang ekonomi rumput laut bisa berjalan, maka diperlukan kolaborasi semua pihak.
Baca juga : Jerit Petani Rumput Laut Glacilaria di Bone, dari Harga Rendah hingga Kelangkaan Pupuk

Diketahui, perairan laut Indonesia menjadi habitat pertumbuhan 555 jenis rumput laut dari sekitar 8.000 jenis yang ada di dunia. Namun, dengan potensi besar tersebut, pemanfaatan rumput laut untuk kegiatan perikanan budi daya masih belum maksimal.
Mulai dikembangkan pada 1967 atau 55 tahun lalu, rumput laut baru berkembang baik pada dekade 1980-an. Saat ini, lahan perikanan budi daya luasnya mencapai 12,1 juta hektare dan yang dimanfaatkan baru mencapai 102 ribu ha atau 0,8 persen. Itu berarti, potensi untuk berkembang masih sangat besar.
Pada 2022, KKP mematok target produksi rumput laut nasional sebanyak 10,08 juta ton, dengan realisasi sebanyak 9.282.433 ton. Hasil tersebut didominasi rumput laut jeis varian Cottonii sebagai karagenan, diikuti Sargassum, Gracilaria, Haliminea dan Gelidium amansii.
Sementara, saat ini KKP fokus pada produksi dengan menggunakan pemodelan rumput laut akuakultur dengan jenis Eucheuma cottonii. Inisiatif tersebut berfungsi sebagai model untuk praktik terbaik dalam budi daya rumput laut.
“Bila diterapkan, itu bisa membuat produksi rumput laut nasional menjadi lebih baik. Pemodelan budi daya rumput laut diproyeksikan menghasilkan peningkatan produktivitas yang luar biasa pada rumput laut,” pungkasnya. (***)
Rumput Laut Indonesia Terus Berjuang untuk Produksi bagi Dunia