- Pembangunan jembatan jalan bebas hambatan yang menghubungkan Kota Samarinda dan Ibukota Negara Nusantara (IKN) sedang berjalan. Jalan tol yang masuk dalam proyek strategis nasional ini menggerus dan membelah hutan hingga memutus koridor satwa. Pelaksana pembangunan jalan menyatakan akan ada koridor satwa, tetapi pembangunan sudah berlangsung pun jalur lalu lintas satwa ini belum terealisasi.
- Jembatan Pulau Balang, mulanya merupakan jalan arteri atau jalan Trans Kalimantan yang menghubungkan antar kabupaten dan kota di sekitar Kalimantan Timur terutama Kota Balikpapan menuju Penajam Paser Utara (PPU). Setelah ada Ibu Kota Negara Nusantara (IKN), berubah status jadi jalan tol atau jalan bebas hambatan.
- Zulfikar, Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Balikpapan, mengatakan, memberikan rekomendasi pembangunan jalan tol itu dilakukan di bawah tanah atau berkonsepkan terowongan maupun jalan layang di atas hutan. Dengan begitu, tak ada pembersihan hutan dan memutus konektivitas atau perlintasan satwa.
- Agusdin dari Yayasan Pro Natura meminta pihak-pihak berwenang untuk mengelola koridor dan memastikan implementasi tepat sasaran.
Pembangunan jembatan jalan bebas hambatan yang menghubungkan Kota Samarinda dan Ibukota Negara Nusantara (IKN) sedang berjalan. Jalan tol yang masuk dalam proyek strategis nasional ini menggerus dan membelah hutan hingga memutus koridor satwa. Pelaksana pembangunan jalan menyatakan akan ada koridor satwa, tetapi pembangunan sudah berlangsung pun jalur lalu lintas satwa belum terealisasi. Bekantan, salah satu satwa yang terancam kalau habitat terputus.
“Setelah ada proyek jalan tol, semua koridor satwa hutan terputus. Meskipun ada pembicaraan tentang membangun segitu banyak koridor, kenyataan, tidak ada satupun koridor alami yang diselamatkan. Tidak ada yang tersisa,” kata Darman, kontributor dari Yayasan Borneo Biodiversity Conservation (BBC), Samboja Mei lalu.
Darman merupakan warga lokal dan sangat memperhatikan satwa liar.
Dia berkontribusi dalam penelitian kolaborasi bersama Stanislav Lhota, peneliti dari Faculty of Tropical AgriSciences, Czech University of Life Sciences Prague dengan tajuk Population status of proboscis monkeys in Balikpapan Bay and their potential survival challenges in Nusantara, the proposed new capital city of Indonesia.”
Dalam hasil penelitian itu, Darmawan dan rekan-rekan merekomendasikan adanya buffer zone sebagai zona penyangga yang memperkuat konektivitas antara hutan primer darat maupun hutan pesisir. Beberapa ratus meter dari pinggir hutan pesisir atau pinggir mangrove yang langsung berbatasan dengan hutan lindung Sungai Wain.
Apabila itu tak dilakukan, khawatir hutan pesisir tak lagi memiliki satwa yang memilih bertahan di areal itu alias hutan kosong, tanpa satwa.
“Tapi itu tidak pernah terjadi, pembangunan selalu direncanakan sampai ke pinggir mangrove. Kalau begitu, mangrove-nya jadi mangrove kosong,” kata Stan, biasa Stanislav disapa.
Pembangunan jalan tol Jembatan Pulau Balang memutus koridor satwa alami yang menghubungkan kedua hutan itu.
Zulfikar, Kepala Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Balikpapan, mengatakan, pembangunan jalan tol Jembatan Pulau Balang ini berada di zona penyangga (buffer zone) di luar kawasan hutan lindung.
Lokasi jalan tol langsung beririsan dengan hutan lindung. Tak ada pemisah antara kawasan lindung dan zona penyangga. “Sebelah barat yang sekarang lagi ada pembangunan jalan tol itu di APL [alokasi penggunaan lahan], di buffer zone,” kata Zulfikar Maret lalu.
KPHL mengaku selalu patroli di kawasan itu karena rentan perambahan dan kebakaran oleh aktivitas manusia.
Dia juga memberikan rekomendasi terhadap pembangunan jalan tol itu dilakukan di bawah tanah atau berkonsepkan terowongan maupun jalan layang di atas hutan. Dengan begitu, tak ada pembersihan hutan dan memutus konektivitas atau perlintasan satwa. “Tidak terjadi pembangunan terowongan yang diusulkan,” katanya.
Darman berpandangan sama, sebenarnya tak perlu ada pembabatan hutan. Proyek jalan bebas hambatan penghubung Kota Balikpapan menuju IKN ini terkesan buru-buru dan tak terencana matang.
“Kejar waktu supaya target tercapai dalam waktu cepat. Supaya tidak mahal, supaya tidak mengeluarkan anggaran besar,” katanya.
Andrew Nugraha, Koordinator Lapangan Pejabat Pembuat Komitmen Tol IKN 3A mengatakan, status lahan yang dilintasi jalan tol ada milik pribadi atau perorangan, swasta, Pemerintah Kota Balikpapan, serta lahan Badan Bank Tanah.
“Jadi masih proses pengadaan lahan, itu dilakukan BPN (Badan Pertanahan Nasional),” katanya,
Jembatan Pulau Balang, mulanya merupakan jalan arteri atau jalan Trans Kalimantan yang menghubungkan antar kabupaten dan kota di sekitar Kalimantan Timur terutama Kota Balikpapan menuju Penajam Paser Utara (PPU).
Rencana Pembangunan ini telah Pemerintah Kaltim gaungkan masa kepemimpinan Gubernur Kaltim, Awang Faroek.
Peletakan batu pertama bentang panjang jembatan ini pada Mei 2013. Bentang panjang dari Kota Balikpapan menuju Pulau Balang dan rampung pada 31 November 2020. Jembatan itu sepanjang lintasan lebih 0,8 kilometer.
Proyek bentang panjang tol ini juga termasuk dalam proyek strategis nasional (PSN periode 2020-2024. Nilai proyek mencapai Rp1,38 triliun dengan sumber dana dari surat berharga syariah nasional (SBSN) tahun anggaran 2015-2021.
Untuk bentang pendek, dari Pulau Balang menuju PPU, sepanjang 0,5 kilometer atau secara riil berkisar 470 meter dengan dana Pembangunan APBD Kaltim.
Menurut catatan Pemprov Kaltim, bagian ini selesai dibangun pada 2016. Namun, seluruh rangkaian jembatan ini belum berfungsi optimal karena jalan pendekat dari Balikpapan menuju Jembatan Bentang Panjang belum tersedia.
Pada 2022, proyek diambil alih Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (KPUPR) dengan biaya dari APBN. Jembatan itu juga bagian dari masterplan percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025 era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Tujuannya, memudahkan akses masyarakat maupun logistik dan konektivitas koridor ekonomi Kalimantan.
“Kenyataannya, karena sekarang jadi jalan menuju IKN, jadi sekarang KPUPR yang mengerjakan,” kata Andrew.
Karena penyesuaian status jalan juga ditingkatkan jadi jalan bebas hambatan. Dengan begitu, ada beberapa penyesuaian dilakukan. Salah satunya, perbaikan trase guna mencapai kecepatan rencana kebutuhan jalan.
Janji koridor satwa
Berkaitan dengan lintasan alami satwa yang terputus karena pembangunan jalur tol ini juga dia akui menjadi perhatian. Sebagai antisipasi, KPUPR berencana membangun koridor satwa buatan yang konsepnya masih finalisasi.
“Prosesnya saat ini untuk penentuan lokasi (penlok) yang sudah ditentukan. Saat ini tahap pendetailan desain,” kata Muhammad Rizka, Pengawas Lapangan KPUPR untuk Proyek Tol IKN 3B 2 ketika ditemui bersama Andrew.
Secara konsep, koridor satwa ini telah diusulkan sebelumnya. Seiring wacana jalan arteri bahkan sebelum penetapan IKN ke Kaltim.
Konsep maupun desain koridor satwa buatan ini menitikberatkan pada spesies tertentu, yaitu, untuk orangutan, macan dahan dan beruang madu serta bekantan.
Ada dua konsep koridor satwa buatan akan dibangun. Keduanya akan berada di atas jalan tol atau berkonsep overpass yang akan dilengkapi vegetasi/tanaman.
Koridor satwa yang akan dibangun di sekitar Jalan Tol Jembatan Pulau Balang ini, kata Rizka terinspirasi dari koridor yang sebelumnya, Tol Trans Sumatera untuk gajah.
Karena perbedaan peruntukkan, desain juga dibuat berbeda. Di Sumatera, berkonsep underpass atau di bawah main road, sedangkan desain di Tol IKN ini di atas main road atau overpass.
KPUPR, katanya, berkoordinasi dengan pihak terkait dalam merekomendasikan desain pembangunan itu. Misal, keterlibatan Balai Konservasi dan Sumber Daya Alam (BKSDA) Kaltim, maupun stakeholder lain terutama soal titik perlintasan satwa eksisting.
Rekomendasi koridor satwa buatan yang pernah diusulkan Yayasan Pro Natura maupun pihak lain itu diperuntukkan pada satwa yang ada di sekitar Daerah Aliran Sungai (DAS). Contoh, di DAS Wain. Selain itu, pada satwa yang biasa melintas dari hutan pesisir menuju hutan primer darat (HLSW) ataupun sebaliknya.
“Beberapa satwa daerah jelajahnya sampai hutan mangrove, dengan beberapa pembangunan pemerintah itu, sekarang lagi didesain bagaimana koridor (satwa) itu bisa dibuat,” jelas Zulfikar.
Mereka sempat mendiskusikan ini dengan Balai Besar Pelaksanaan Jalan Nasional, Kaltim melalui Yayasan Pro Natura, diwakili Agusdin.
Agusdin mengaku meminta pihak-pihak berwenang untuk mengelola koridor dan memastikan implementasi tepat sasaran.
“Kami memang mengeluarkan rekomendasi, tetapi kami juga minta pastikan bahwa bagaimana pelaksanaan dan bagaimana pengelolaan ke depan. Misal, ketika (koridor satwa buatan) jadi pilihan, itu dipastikan hewan akan melintas di situ.”
Koridor itu jangan sampai dipakai manusia. Kemudian, areal yang menjadi pilihan harus areal hijau, bukan kosong atau bekas timbunan. “Itu nggak memungkinkan satwa melintas di situ,” katanya.
Koridor satwa buatan ini dinilai belum tentu berfungsi efektif. Stan menilai, efektivitasnya bisa cukup rendah.
Dia bilang, harus berjalan beriringan dengan pelestarian hutan di sekitar jalan tol, atau bahkan tak ada pembangunan dan perintisan hutan sama sekali.
Darman juga berpikiran sama. Dia nilai, belum ada konsep tetap dari koridor satwa buatan.
“Itu belum tentu (efektif). Secara umum, saya tidak terlalu percaya rencana yang pakai kata ‘nanti’. Bahkan, kalaupun kata nanti itu terwujud, saya pikir koridor yang dibuat itu pasti tidak ideal,” kata Darman.
Ketika gerak atau wilayah jelajah bekantan mulai terbatas, kata Stan, akan membuat mereka kesulitan mencari sumber makanan, terpecah dari kelompok asal. Ketersediaan individu betina dan jantan pada kelompok, membuat perkawinan antar primate tak memadai dan bisa menyebabkan inbreeding.
Bekantan terisolir dari sumber makanan?
Meski tak hanya memakan jenis tanaman mangrove dan kerap menjelajah, namun bekantan memilih areal pesisir menjadi tempat peristirahatan ideal baginya. Ada jembatan tol, perlintasan alami terputus dan berpotensi terisolir dari sumber makanan.
Mulanya, dengan kehilangan tempat bernaung dari matahari terik lalu berhadapan dengan situasi yang mengharuskan beradaptasi pada kondisi baru setelah terjadi perubahan habitat signifikan.
“Sekarang ia (bekantan) hampir tidak ada tempat. Kondisi-kondisi seperti ini pasti akan ada adaptasi yang cukup memaksa nantinya,” kata Agusdin.
Stan beranggapan, habitat tersisa juga akan berdampak pada daya tampung lingkungan terhadap populasi eksisting dari spesies ini.
Apabila bekantan terpaksa harus berpindah ke wilayah hilir sungai, maka dampak lain akan muncul. Kepadatan populasi akan terjadi. “Bekantan adalah pemakan daun dan makin padat populasi bekantan, makin sulit untuk pohon (yang menjadi) sumber makanan (untuk) beregenerasi.”
Dia contohkan, populasi bekantan di sekitar Sungai Somber. Dia juga meneliti kondisi ini di lapangan. Kepadatan populasi bekantan terjadi karena kehilangan sebagian habitatnya. Ada banyak pohon yang jadi sumber makanan bekantan pun menjadi kering dan mati.
“Ketika koridor antara sungai antara hilir dan hulu diputus (terlihat), itu terlihat sebagai kenaikan populasi. Karena mereka tidak bisa keluar, tapi kenaikan/kepadatan populasi memang adalah salah satu tahap dari proses kepunahan,” kata Stan.
Tak berhenti di situ, permasalahan baru juga akan muncul, baik antar satwa maupun dengan manusia.
“Di kelompok bekantan pun itu bisa jadi masalah. Mau bergeser ke mana? Kalau misal sekarang Jalan Pulau Balang yang sudah lama dibangun itu juga memutus antara hutan mangrove di Tempadung menuju ke Mentawir, misal,” kata Agusdin.
Ketika satwa-satwa yang sudah terisolir melihat ada aktivitas manusia, satwa akan datang. “Karena makanan kurang, datang ke manusia. Akan muncul konflik.”
Saat ini KPHL nyatakan, belum ada konflik signifikan terjadi di dalam lingkungan kerjanya.
Kekhawatirannya pada spesies Macaca ini kini dapat dijumpai di sejumlah titik, bahkan di pinggir jalan Trans Kalimantan yang ramai kendaraan besar dengan kecepatan tinggi melintas. Kawasan itu juga masih berada di sekitar Kota Balikpapan maupun kabupaten sekitarnya.
Dari pengamatan Agusdin dengan kamera trap, pergerakan bekantan terjadi karena wilayah itu merupakan home range-nya. Setelah terputus, kemungkinan besar kelompok-kelompok di DAS Wain akan terisolir dari sumber pakan. Kondisi ini tak hanya mengancam spesies bekantan, juga pada spesies lain seperti orangutan, macan dahan, beruang madu, dan lain-lain.
Untuk mengantisipasi hal ini terjadi, pemerintah harus serius menanggapinya. “Di situ itu adalah rumah hewan manusia. Jadi manusia datang ketika ada akses. Sebelum ada akses, itu semua adalah hutan,” katanya.
Agusdin tak menepis potensi konflik dapat terjadi secara jangka panjang. Dengan mengamati kondisi saat ini, katanya, perlu mempersiapkan dan memikirkan dulu kalau mau ada pembangunan yang bersinggungan dengan habitat satwa.
“Jadi kalau kita mau lihat sekarang agak berat buat menyatakan tidak akan konflik dengan waktu jangka panjang.Kalau tidak disiapkan betul-betul saya pikir konflik itu akan muncul.”
Deforestasi di hutan Kariangau di sekitar Hutan Lindung Sungai Wain, kata Stan, berlangsung sangat cepat. Ditambah, banyaknya cabang-cabang jalan sekunder menuju lokasi perusahaan atau kawasan industri maupun terminal di sepanjang pesisir.
Dia memprediksi, tak lama lagi akan ada pembangunan permukiman di kiri dan kanan jalan. “Pembukaan akses untuk jalan-jalan sekunder yang menuju perusahaan dan terminal di sepanjang pesisir dan itu memotong habitat bekantan. Itu tidak diperhatikan sama sekali.”
*****
*Liputan Niken Dwi Sitoningrum ini atas dukungan AJI Indonesia
Nelayan Was-was Buaya Sering Muncul di Perairan Sekitar IKN [1]