- Sebagai pemilik keanekaragaman hayati terkaya di dunia, Indonesia dianugerahi kekayaan sumber daya ikan (SDI) yang sangat banyak. Salah satunya, adalah SDI tuna yang selalu bersanding dengan cakalang dan tongkol (TCT) sebagai komoditas andalan ekspor
- Khusus tuna, Indonesia saat ini sedang berjuang untuk menjadi negara penghasil dengan jumlah yang banyak. Saat ini, Indonesia masih menjadi produsen tuna dengan produksi 1,49 juta per tahun dan menyumbang hampir 18 persen untuk kebutuhan tuna dunia
- Secara garis besar, ekspor komoditas TCT dari Indonesia didominasi dalam bentuk fillet dengan kontribusi sebesar 39,4 persen. Kemudian, ekspor tuna dalam kemasan kedap udara berkontribusi 28,7 persen, dan tuna dalam kemasan tidak kedap udara sebesar 7,4 persen
- Demi keberlanjutan SDI tuna di alam, pemerintah juga mempertimbangkan opsi melaksanakan kegiatan budi daya tuna dengan mengadopsi teknologi pembesaran yang dimiliki Turki. Diharapkan, itu akan mengurangi ketergantungan tuna dari alam
Indonesia sedang berjuang untuk memanfaatkan tuna sebagai sumber kekayaan laut yang bisa mendorong kesejahteraan ekonomi bagi semua lapisan masyarakat. Upaya itu, diperkuat dengan program hilirisasi yang saat ini sedang dijalankan Pemerintah Indonesia.
Tujuan akhir dari pemanfaatan tuna, adalah mendorong peningkatan produksi yang bisa menaikkan volume dan nilai ekspor. Selama tiga tahun terakhir, volume dan nilai ekspor tuna terus memperlihatkan tren peningkatan.
Berdasarkan data yang dirilis Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), ekspor tuna Indonesia sepanjang 2023 mencapai nilai USD927,13 Juta. Itu semua berasal dari produksi di wilayah perairan, zona ekonomi eksklusif (ZEE) dan laut lepas.
“Sehingga perlu dioptimalkan pemanfaatannya dari hulu sampai hilir secara berkelanjutan,” demikian ungkap Direktur Jenderal Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan (PDSPKP) KKP Budi Sulistiyo saat berada di Surabaya, Jawa Timur belum lama ini.
Wilayah perairan yang sangat luas dan menyebar di seluruh Indonesia, mendorong KKP untuk terus melakukan peningkatan daya saing produk tuna. Tujuannya, agar kuantitas produk perikanan dan nilai tambah hasil perikanan bisa meningkat sekaligus.
Peningkatkan kualitas dan kualitas tuna terus dilakukan oleh pemerintah, karena tuna adalah salah satu komoditas andalan ekspor Indonesia. Setiap tahunnya, nilai ekspor tuna Indonesia terus mengalami peningkatan.
Bahkan, dalam kurun waktu sepanjang lima tahun terakhir, pertumbuhan rerata volume dan nilai ekspor tuna dari Indonesia sudah mencapai 6,1 persen setiap tahun. Semua produk ekspor tersebut dikirim ke pasar utama seperti Amerika Serikat, Jepang, Timur Tengah, Uni Eropa, dan ASEAN.
Baca : Nelayan Tuna Gorontalo di Tengah Krisis Iklim dan Himpitan Regulasi
Secara garis besar, dia menyebut kalau ekspor komoditas tuna, cakalang, dan tongkol (TCT) dari Indonesia didominasi dalam bentuk fillet dengan kontribusi sebesar 39,4 persen. Kemudian, ekspor tuna dalam kemasan kedap udara berkontribusi 28,7 persen, dan tuna dalam kemasan tidak kedap udara sebesar 7,4 persen.
Menurutnya, produk tuna yang berasal dari Indonesia memiliki daya saing yang cukup tinggi dan potensial di pasar dunia. Itu kenapa, peningkatan daya saing produk dalam berbagai bentuk harus terus dilakukan peningkatan.
Budi mengatakan, dalam upaya meningkatkan daya saing produk tuna Indonesia, pihaknya menerapkan strategi yang sudah diperhitungkan dengan matang. Strategi itu, adalah bagaimana menjamin mutu dan keamanan produk tuna yang dihasilkan.
Kemudian, melakukan pengembangan produk tuna untuk memenuhi preferensi konsumen yang saat ini mulai bergerak ke produk yang siap disantap (ready to eat product); Lalu, strategi ketiga adalah melakukan promosi produk tuna Indonesia, baik di dalam maupun luar negeri.
Keempat, bagaimana memahami persyaratan yang diminta oleh negara pembeli beserta besaran tarifnya, agar pelaku usaha dapat mempersiapkan diri sesuai persyaratan tersebut. Kelima, bagaimana meningkatkan hubungan bilateral antar negara melalui perundingan bilateral.
“Kami sangat concern dengan strategi peningkatan daya saing tersebut agar produk di dalam negeri berkualitas dan tidak ada penolakan produk tuna ke negara tujuan ekspor,” ungkapnya.
Baca juga : Tangkapan Tuna Melimpah di Morotai, Terkendala Cold Storage dan Kapal Ekspor
Pada saat yang sama, pemerintah juga terus mencari solusi bagaimana Indonesia bisa tetap berkontribusi dengan persentase besar ke pasar dunia, namun tetap bisa mempertahankan kelestarian sumber daya ikan (SDI) tuna di alam.
Salah satu solusinya, adalah Indonesia harus bisa mempertimbangkan untuk melaksanakan kegiatan budi daya tuna (tuna farming) pada masa mendatang. Kegiatan tersebut saat ini sudah sukses dilakukan oleh Turki, salah satu negara yang dibelah oleh benua Asia dan Eropa.
Namun demikian, Turki bukanlah negara yang dominan dalam budi daya tuna. Sejauh ini, Jepang masih sangat kuat dengan 28,3 persen, diikuti Malta dengan 21,9 persen, Spanyol dengan 18,2 persen, Australia dengan 11,5 persen, dan Meksiko dengan 8,7 persen.
Seluruh data tersebut dipublikasikan oleh Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO) pada 2022. Berdasarkan data tersebut, kegiatan budi daya tuna banyak memanfatkan jenis tuna sirip biru pasifik (Thunnus orientalis), tuna sirip biru atlantik (Thunnus thynnus), dan tuna sirip biru selatan (Thunnus maccoyii).
Namun demikian, walau SDI tuna Indonesia cukup besar, investasi usaha perikanan tuna selama lima tahun terakhir hanya bernilai Rp1,27 triliun. Selama periode 2018 sampai 2022 itu, investasi kecil tersebut masih terbatas pada penangkapan, pengolahan, dan pemasaran.
“Sedangkan, investasi pada budi daya masih belum ada sampai sekarang,” ucapnya.
Baca juga : Undang Investor Luar Negeri, Pemerintah Bakal Kembangkan Sentra Budidaya Tuna di Papua
Budi daya Tuna
Di sisi lain, Budi Sulistiyo menerangkan kalau budi daya tuna adalah bagian dari budi daya laut yang menyatu dengan kegiatan subsektor perikanan tangkap. Subsektor tersebut kerap kali dituntut untuk terus mengurangi tekanan terhadap ekosistem laut, salah satunya untuk mencegah penangkapan ikan berlebihan.
Tuntutan tersebut, tak lain juga untuk menjaga laut tetap lestari dan ekosistemnya tetap sehat. Karenanya, kegiatan perikanan tangkap harus senantiasa menempatkan keberlanjutan ekologi sebagai pijakan utama.
Manfaat yang akan hadir dari keberlanjutan ekosistem, adalah kegiatan penangkapan ikan secara ilegal, tidak dilaporkan, dan melanggar aturan (IUUF) bisa dikendalikan, serta dampak perubahan iklim juga bisa dilakukan adaptasi dan mitigasi.
“Oleh sebab itu, penting untuk memastikan perikanan tangkap dikelola secara berkelanjutan,” tegasnya.
Adapun, perbaikan tata kelola perikanan dilakukan melalui kebijakan penangkapan ikan terukur berbasis kuota yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2023 tentang Penangkapan Ikan Terukur, yang salah satu tujuannya adalah untuk mengendalikan IUUF.
Sekretaris Direktorat Jenderal Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan (PDSPKP) Machmud mengatakan kalau pengelolaan SDI tuna secara keberlanjutan sudah menjadi fokus dari Pemerintah. Komoditas tersebut bernilai ekonomi tinggi dan terbuka lebar untuk terus dikembangkan.
Menurut dia, perdagangan tuna, cakalang, dan tongkol (TCT) terus mencatatkan nilai positif di pasar dunia dalam beberapa tahun terakhir. Secara global, nilai perdagangan TCT global terus meningkat dari USD14,37 miliar pada 2017 menjadi USD16,81 miliar pada 2022.
“Artinya permintaannya terus meningkat dan peluang usaha semakin terbuka lebar,” jelasnya.
Khusus Indonesia, setiap tahun terjadi peningkatan nilai ekspor karena didukung oleh terus meningkatnya permintaan pasar dunia. Pada 2017, nilai ekspor TCT Indonesia tercatat senilai USD0,66 miliar dan naik menjadi USD0,96 miliar pada 2022.
Indonesia termasuk negara yang meraup untung dari peningkatan permintaan tuna dunia. Berdasarkan data ITC Trademap, nilai ekspor tuna cakalang tongkol (TCT) Indonesia sebesar USD0,66 miliar di tahun 2017, naik menjadi USD,096 miliar di tahun 2022.
“Dibanding negara eksportir TCT lainnya, tren pertumbuhan year on year atau YoY Indonesia termasuk tinggi dengan persentase sebesar 29,3 persen,” tambahnya.
Dia optimis, nilai ekspor tuna masih akan terus meningkat seiring keberhasilan KKP menyelesaikan perundingan penurunan tarif tuna olahan menjadi 0 persen ke pasar Jepang melalui Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement (IJEPA). Hasil perundingan tersebut diharapkan dapat diimplementasikan pada akhir tahun 2024.
Direktur Pengelolaan Sumber Daya Ikan KKP Ridwan Mulyana menyatakan bahwa komitmen Indonesia untuk menjaga keberlanjutan tuna tidaklah main-main. Salah satu bentuk keseriusan itu dengan berpartisipasi pada Regional Fisheries Management Organizations (RMFOs) atau organisasi internasional yang dibentuk oleh negara-negara untuk kepentingan kegiatan penangkapan ikan di suatu wilayah.
Khusus tuna, Indonesia tercatat sebagai anggota Commission for the Conservation of Southern Bluefin Tuna (CCSBT), Inter-American Tropical Tuna Commission (IATTC), dan Indian Ocean Tuna Commission (IOTC).
Dia menjelaskan, setiap tahun Indonesia bisa melaksanakan rerata produksi tuna sebanyak 1,49 juta ton yang berasal dari wilayah perairan kepulauan yang mencakup Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI) 713 (perairan Selat Makassar, Teluk Bone, Laut Flores, dan Laut Bali), 714 (perairan Teluk Tolo dan Laut Banda), dan 715 (perairan Teluk Tomini, Laut Maluku, Laut Halmahera, Laut Seram, dan Teluk Berau).
Kemudian, ada juga IOTC di perairan WPPNRI 571 (perairan Selat Malaka dan Laut Andaman) dan 573 yang mencakup perairan Samudera Hindia sebelah selatan Jawa hingga sebelah selatan Nusa Tenggara, Laut Sawu, dan Laut Timor bagian Barat), dan Laut Lepas (Samudera Hindia)
Terakhir, ada juga WCPFC yang ada di perairan WPPNRI 716 (Perairan Laut Sulawesi dan sebelah utara Pulau Halmahera) dan 717 (Perairan Teluk Cendrawasih dan Samudera Pasifik) dan Laut Lepas Samudera Pasifik).
Adapun, tuna yang menjadi andalan berasal dari lima jenis, yaitu tuna sirip kuning (Madidihang), tuna sirip biru (bluefin tuna), tuna mata besar (bigeye tuna), cakalang (Katsuwonus pelamis), dan albakora (Albacore).
“Nah, lima jenis ini memberi kontribusi terhadap produksi kita rerata 706.400 ton per tahun. Itu rerata angka produksi yang dihitung selama periode dari 2011 hingga 2022,” jelas dia.
Berdasarkan data dari KKP, volume ekspor sepanjang 2023 terkumpul 213.181.833 kilogram dengan nilai sebesar USD891.899.446. Jika dihitung dengan persentase, maka volume ekspor dari Indonesia berkontribusi 17,57 persen terhadap ekspor tuna tahunan dunia.
Kontributor Utama
Capaian tersebut mengalami kenaikan bila dibandingkan dengan kinerja pada dua tahun sebelumnya. Pada 2022, volume ekspor mencapai 16,55 persen dengan volume mencapai 203.177.298 kg. Lalu, pada 2021 volume mencapai 181.518.989 kg, yang berarti berkontribusi 14,10 persen.
“Jadi ini sangat signifikan dan pangsa produksi kita (sekitar) 18 persen terhadap produksi tuna dunia, jadi luar biasa. Adapun, produksi tuna dunia sendiri sekitar 8,3 juta ton per tahunnya,” terangnya.
Ridwan mengakui kalau pihaknya sangat fokus untuk melaksanakan pengelolaan tuna di hulu. Caranya, adalah dengan mengatur bagaimana keberlanjutan usaha penangkapan ke depan, menjamin ketersediaan SDI tuna dengan tujuan meningkatkan kesejahetraan dan berkontribusi untuk Negara.
Agar bisa mewujudkan itu semua, KKP menerapkan tata kelola perikanan tuna yang baik dan bertanggung jawab. Beberapa komponennya adalah dengan mengimplementasikan prinsip ekonomi biru melalui kebijakan PIT.
Itu berarti, pemerintah sedang menyelaraskan aspek ekonomi dan ekologi agar kegiatan penangkapan tuna tidak mengancam lingkungan. Baik itu yang ada di perairan, maupun habitat ikan dan habitat di laut selain dari perikanan. Misalnya, terumbu karang dan mangrove.
Kemudian, KKP membuat rencana pengelolaan perikanan (RPP), yaitu dokumen bersama yang disepakati dan di rumuskan dengan seluruh perwakilan pemangku kepentingan. RPP akan memandu bagaimana mengelola perikanan tuna supaya berkelanjutan, mengatur ukuran yang bisa dimanfaatkan, masa waktu penangkapan, dan sebagainya.
Selain RPP Tuna, Cakalang, dan Tongkol (TCT), KKP juga memberlakukan protokol atau tata kelola perikanan yang berkelanjutan di perairan kepulauan. Saat ini sudah ada dokumen cara pemanenan yang baik, itu salah satunya tentang pengaturan izin yang harus diterbitkan.
Kemudian, diatur juga alat penangkapan ikan (API) yang tidak merusak lingkungan, dan alat bantu seperti rumpon dan lainnya. Ada juga perlindungan daerah pemijahan dan pengasuhan agar tetap terjaga menjadi tempat bertelurnya tuna.
Lalu, karena pengelolaan tuna memerlukan basis data yang memadai, maka upaya berikutnya yang dilakukan adalah melakukan perbaikan data melalui kerja sama dengan kementerian/lembaga (K/L) lain, perguruan tinggi, dan para pihak lainnya yang berkaitan.
Upaya berikutnya, adalah memperkuat diplomasi dengan negara lain sesama produsen tuna di dunia. Itu dilakukan karena SDI tuna sebagian diperoleh dari laut lepas, dan sebagian lagi dari ZEE yang statusnya bukan wilayah perairan yurisdiksi nasional.
“Artinya di situ adalah pengelolaan bersama perikanan. Jadi kita harus aktif bagaimana meningkatkan diplomasi, kerja sama, supaya kita dapat lebih banyak hak, lebih banyak untuk mendapat akses pemanfaatan perikanan tuna ini,” terangnya.
Diketahui, KKP sudah menerbitkan RPP TCT melalui Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 121 Tahun 2021 tentang Rencana Pengelolaan Perikanan Tuna, Cakalang, dan Tongkol. RPP tersebut merupakan pemutakhiran dari dokumen serupa yang terbit pada 2015. (***)
Upaya Benahi Tata Kelola Perikanan Tuna Lestari di Indonesia