- Kondisi orangutan sumatera korban konflik yang dilepasliarkan di hutan Leuser wilayah Sumatera Utara menunjukkan perkembangan baik.
- Awalnya, populasi orangutan yang dilepasliarkan di hutan Leuser, landskap Bukit Lawang, Kecamatan Bahorok, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, sebanyak 17 individu. Sekarang, jumlahnya menjadi 24 individu.
- Orangutan merasa nyaman di habitatnya sehingga terjadi perkawinan. Tidak kalah penting adalah penerimaan masyarakat di sekitar kawasan hutan terhadap kehadiran satwa liar dilindungi ini.
- Untuk menjaga masa depan orangutan, maka hutan sebagai habitatnya harus ada. Selanjutnya, perburuan bisa ditekan dan jika memungkinkan tidak ada lagi. Saat satwa ini keluar kawasan atau masuk kebun masyarakat, tidak disakiti maupun dibunuh, atau ditangkap untuk diperdagangkan secara ilegal.
Bagaimana kondisi orangutan sumatera korban konflik yang dilepasliarkan di hutan Leuser wilayah Sumatera Utara?
Kepala Bidang Pengelolaan Taman Nasional Wilayah III Stabat, Balai Besar Taman Nasional Gunung Leuser [BBTNGL], Palber Turnip, mengatakan berdasarkan pemantauan, jumlahnya hingga awal Juli 2024 sebanyak 24 individu.
Awalnya, populasi orangutan yang dilepasliarkan di hutan Leuser, landskap Bukit Lawang, Kecamatan Bahorok, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, tersebut sebanyak 17 individu.
“Ini menunjukkan rehabilitasi berjalan baik,” jelasnya, Kamis [11/7/2024].
Orangutan merasa nyaman di habitatnya sehingga terjadi perkawinan. Tidak kalah penting adalah penerimaan masyarakat di sekitar kawasan hutan terhadap kehadiran satwa liar dilindungi ini.
Fenomena lain yang terlihat adalah munculnya kelompok relawan yang melakukan penyadartahuan kepada masyarakat, betapa pentingnya hutan dan orangutan dalam ekosistem.
“Sosialisasi mampu menekan terjadinya interaksi negatif antara manusia dengan orangutan. Ini patut dicontoh dan dikembangkan di tempat lain,” ujar Palber.
Patut diketahui, kawasan penyangga Bukit Lawang bukan berupa hutan utuh. Wilayah ini sudah terbagi menjadi areal perkebunan, pertanian, dan bangunan untuk ekowisata.
“Hal terpenting, masyarakat di buffer zone mau menerima kehadiran satwa arboreal ini, tanpa harus mengusir apalagi melukai.”
Berdasarkan catatan lapangan, kelahiran yang terjadi bukan saja pada keturunan pertama, namun sudah pada keturunan kedua dan ketiga dari anak pertama yang dilahirkan. Artinya, kelahiran ini sudah pada cucu dan cicit.
Interaksi antara orangutan sumatera rehabilitasi dengan orangutan sumatera liar di TNGL, menurut Palber, sangat dimungkinkan sehingga terjadi perkawinan.
“Adaptasi ini bagus sekali,” ungkapnya.
Baca: Wawancara: Ekowisata Bukit Lawang, Wisatawan Datang Jauh untuk Lihat Orangutan
Masa depan orangutan sumatera
Serge Wich, pakar orangutan dari Liverpool John Moores University, Inggris, mengapresiasi kenaikan populasi tersebut. Meski begitu, dia berharap ada informasi terkait perhitungannya.
“Ini penting untuk mengetahui metode apa yang digunakan. Misal, perhitungan individu atau sarang yang ditemukan, atau mungkin metode lain,” jelasnya, Kamis [18/7/2024].
Serge menyatakan, untuk menjaga masa depan orangutan, maka hutan sebagai habitatnya harus ada. Selanjutnya, perburuan bisa ditekan dan jika memungkinkan tidak ada lagi. Saat satwa ini keluar kawasan atau masuk kebun masyarakat, tidak disakiti maupun dibunuh, atau ditangkap untuk diperdagangkan secara ilegal.
“Ini harapan bagi keberlangsungan hidup orangutan sumatera di masa depan,” jelasnya.
Untuk menghentikan perburuan dan perdagangan orangutan, Pemerintah Indonesia harus bekerja sama dengan semua pihak di seluruh area TNGL.
“Melindungi orangutan itu tidak gampang. Kami sebagai peneliti siap membantu melindungi orangutan dari kepunahan.”
Terkait orangutan sumatera korban konflik yang direhabilitasi di Bukit Lawang, menurut Serge, asalnya dari wilayah lain di kawasan TNGL. Artinya, meskipun jumlah mereka banyak di Bukit Lawang karena menjalani rehabilitasi, namun ada kemungkinan terjadi penurunan di wilayah lain akibat penangkapan dan konflik tersebut.
“Untuk itu harus ada pengecekan di wilayah lain.”
Data populasi orangutan sumatera pada 2016, menurut dia, sebanyak 13 ribu individu. Jika angka ini bertahan hingga sekarang, artinya populasinya cukup bagus.
“Jika semua berlangsung baik maka ancaman kepunahan orangutan dapat dihindari,” tegasnya.
Dalam penelitian berjudul “Marked population structure and recent migration in the critically endangered Sumatran orangutan [Pongo abelii]” dijelaskan bahwa struktur genetik yang mendasari suatu populasi sangat penting dari sudut pandang konservasi.
Meskipun adaptasi lokal meningkatkan rata-rata kebugaran subpopulasi dalam lingkungan yang konstan, namun hilangnya keragaman genetik mengurangi potensi subpopulasi untuk beradaptasi terhadap perubahan kondisi lingkungan. Kondisi ini membawa risiko kepunahan yang lebih besar di masa depan.
Oleh karena itu, pengetahuan tentang sejauh mana keragaman genetik terstruktur dan dipertukarkan di seluruh wilayah suatu spesies, sangat penting untuk memprediksi kelangsungan hidup populasi dalam jangka panjang, sekaligus untuk menerapkan langkah-langkah konservasi yang efektif.
“Hasil penelitian ini menyoroti pengaruh hambatan alami dalam membentuk struktur genetik populasi kera besar, sekaligus menunjukkan koridor penyebaran penting di Sumatera bagian utara yang memungkinkan terjadinya pertukaran genetik,” jelas Alexander Nater dan kolega dalam riset tersebut.
Orangutan Sumatera Dilepasliarkan di SM Siranggas, Bagaimana Habitatnya?