- Pulau-pulau kecil terancam tenggelam dampak dari krisis iklim, tak terkecuali Pulau Pari, masih bagian dari Jakarta. Abrasi perlahan mengikis pulau ini dari hari ke hari. Pasang air laut (rob) pun mulai menggenangi pemukiman warga. Pembangunan termasuk reklamasi di sekitar pulau ditengarai jadi salah satu penyebab.
- Abrasi terus mengikis daratan Pulau Pari menyebabkan banjir rob makin parah. Sebagian rumah warga pun mulai tergenang rob sampai sedengkul.
- Krisis iklim tak hanya berdampak abrasi dan banjir rob, nelayan di Pulau Pari pun sulit melaut karena cuaca tak menentu dan ada beberapa jenis ikan mulai sulit ditemukan.
- Berbagai upaya masyarakat lakukan dalam menghadapi dampak krisis iklim, antara lain membentengi Pulau Pari dengan mangrove.
Pulau-pulau kecil terancam tenggelam dampak dari krisis iklim, tak terkecuali Pulau Pari, masih bagian dari Jakarta. Abrasi perlahan mengikis pulau ini dari hari ke hari. Pasang air laut (rob) pun mulai menggenangi pemukiman warga. Pembangunan termasuk reklamasi di sekitar pulau ditengarai jadi salah satu penyebab. Berbagai upaya masyarakat lakukan, antara lain membentengi Pulau Pari dengan mangrove.
Edi Mulyono, warga juga pegiat lingkungan di Pulau Pari mengatakan, abrasi di tanah kelahirannya itu sekitar 7-10 meter setahun. Apabila tak ada mitigasi, Pulau Pari, kemungkinan hilang.
Di Pantai Rengge, Edi menunjukkan pohon mati di bibir pantai. Pada 2022, katanya, pohon itu berada sekitar 10 meter mengarah ke laut. Saat ini, pohon-pohon itu mati terseret ke bibir pantai.
Edi bilang, pohon-pohon itu mati karena abrasi. “Bayangkan kalau 10 meter kali berapa panjangnya pulau yang terkikis abrasi. Menurut saya mengkhawatirkan, ke depan pulau ini akan terkikis dan hilang,” katanya.
Abrasi, katanya, rata terjadi di bibir pantai Pulau Pari. Paling parah di Pantai Bintang. Panjang daratan hilang karena abrasi di Pantai Bintang sekitar 20 meter.
Di pantai perawan, katanya, tidak terlalu parah karena masyarakat membangun beton pembatas di pinggir pantai untuk menahan abrasi. Pantai Rengge dan Bintang sengaja tak ada pembatas beton untuk menjaga keindahan. Sebagai upaya menjaga pulau, mereka memilih menanam mangrove sebanyak-banyaknya.
“Mangrove kan akan membuat sendimentasi, sendimentasi membuat daratan, itu membantu mengembalikan pulau yang sudah terkikis,” kata Edi.

Rob pun terjadi di Pulau Pari dan sudah parah. Di Pantai Perawan, misal, panjang rob mencapai 70 meter.
“Dari ini (bibir pantai perawan) sampai sana tuh, gapura. Panjang sekitar 70 meter.”
Meski begitu, rob di Pantai Perawan belum sampai pemukiman warga. Beda di Pantai Bintang. “Di pantai Bintang (banjir rob) sampai ke pemukiman. Sedengkul (tingginya),” kata Edi.
Abrasi maupun rob, katanya, kemungkinan karena beberapa faktor, seperti krisis iklim, pembangunan dan reklamasi di sekitar pulau.
“Abrasi itu ada beberapa faktor, ada faktor karena rob, ada abrasi karena ombak besar. Yang saat ini terjadi ketika itu berbarengan, jadi ada rob ada ombak besar, itu yang membuat abrasi pulau,” katanya.
Banjir rob sangat merugikan masyarakat Pulau Pari. Dia sehari=-hari sebagai nelayan sekaligus pelaku pariwisata, bersama kawan-kawan lain seringkali mengalami kerugian ekonomi karena banjir rob.
Ratusan wisatawan yang akan datang ke Pulau Pari mendadak membatalkan rencana kunjungan karena situasi tidak memungkinkan. Ada yang membatalkan karena khawatir rob.
“Saya mengalami kerugian Rp5.5 juta akibat banjir rob pada November dan Desember 2021,” kata Edi.
Dia juga tak bisa menangkap ikan karena banjir rob. Dia pun harus membersihkan Pulau.

Senada disampaikan warga lain, Arif Pujiyanto. Pulau ini, katanya, sering terkena banjir rob pada malam hari. Banyak anak trauma karena banjir rob terus meningkat sejak 2020.
“Tak sedikit anak-anak di Pulau Pari mengalami ketakutan dan trauma akibat banjir rob. Mereka tak bisa masuk sekolah karena kesehatan fisik dan psikis terganggu.”
Banjir rob yang datang malam hari ini merusak rumahnya secara permanen. Dia harus memperbaiki rumah dan mengeluarkan uang sekitar Rp3 juta untuk memulihkan kerusakan.
Keluarga Arif juga harus membeli lebih banyak air untuk kebutuhan rumah tangga. Air sumur terkontaminasi air laut. Air pun tidak bisa mereka gunakan lagi untuk kebutuhan rumah tangga seperti mandi, maupun mencuci pakaian.
“Kami tak bisa gunakan sumur karena banjir rob merendam selama beberapa hari. Sejak itu, kami harus membeli lebih banyak air dari penyulingan, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari,” katanya.
Dia bilang, tak ada upaya lain selain menanam mangrove sebanyak-banyaknya untuk menyematkan Pulau Pari dari abrasi.
Asmania, Ketua Kelompok Perempuan Pulau Pari, mengatakan, penanaman mangrove terus mereka lakukan. Banyak pihak membantu penyelamatan Pulau Pari, seperti Walhi dan DMC Dompet. Seperti pada 8 Juli lalu, mereka ikut menanam ribuan bibit mangrove di sekitar Pulau Pari.
“Semua yang kami lakukan, semua yang kami perjuangkan disini bukan hanya untuk kami, tapi anak cucu generasi kami berikutnya,” kata Asmania.

Tanam mangrove, perisai pulau
Penanaman mangrove sebagai perisai Pulau Pari mereka lakukan pagi hari. Ratusan orang, dari Walhi, relawan DMC Dompet Duafa dan masyarakat bersama-sama menanam bibit mangrove di pesisir Pantai Rengge.. Pada kesempatan itu, Walhi dan DMC Dompet Duafa juga menandatangani nota kesepahaman kerjasama untuk pengendalian abrasi pesisir Laut Jawa.
Zenzi Suhadi, Direktur Eksekutif Walhi Nasional, mengatakan, lingkungan merupakan hak dan kewajiban setiap orang. Setiap manusia memiliki hak menikmati lingkungan. Sisi lain, manusia juga bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan.
“Karena lingkungan mengalami degradasi akibat aktivitas ekonomi dan sosial manusia, lingkungan tidak bisa mengupayakan haknya di mata hukum,” katanya.
Penanaman mangrove ini, katanya, merupakan tanggung jawab publik terhadap kerusakan yang terjadi. Sekitar empat hektar lahan pesisir Pulau Pari hilang karena abrasi.

Zenzi bilang, sudah saatnya publik tak mengandalkan pemerintah untuk mengatasi masalah kerusakan lingkungan.
“Kita bisa menggantungkan harapan keselamatan bumi dan hak antar generasi itu kepada kesadaran publik secara luas.”
Walhi bersama HEKS, lembaga di Zurich, Swiss mengkalkulasi kehilangan luasan Pulau Pari sebesar 11%, atau 4,6 hektar. Sebelumnya, Pulau Pari tercatat seluas 42 hektar, kini tinggal 41,4 hektar.
Dari kajian dua lembaga itu juga ditemukan, kehidupan nelayan Pulau Pari juga terdampak krisis iklim. Hasil tangkapan ikan nelayan turun drastis, laut makin tidak bersahabat, cuaca mudah berubah. Nelayan kehilangan tangkapan lebih 70%. Jenis ikan laut, seperti kerapu dan cakalang mulai sulit ditemukan diduga karena temperatur laut makin menghangat.
Juperta Panji Utama, Deputi Direktur 1 Program Sosial Budaya Dompet Dhuafa mengatakan bahwa Dompet Duafa berkomitmen menyelamatkan wilayah pesisir di Indonesia dari abarsi, salah satu Pulau Pari.
Panji bilang, mereka juga berencana menggalang donasi untuk menyelamatkan Pulau Pari. Donasi berasal dari para wisatawan yang berkunjung ke Pulau Pari.
“Nanti di pintu masuk Pulau Pari diletakkan plang barcode untuk donasi. wisatawan tinggal scan saja.” (Bersambung)

*****
Menolak Tenggelam, Warga Pulau Pari Resmi Gugat Holcim di Pengadilan Swiss