- Sekitar enam orang dari Masyarakat Adat Sihaporas dibawa orang tak dikenal pada subuh hari, 22 Juli lalu. Siang harinya, ternyata mereka berada di kantor polisi. Satu orang bebas, lima orang masih dalam tahanan jadi tersangka atas dugaan penganiayaan pekerja PT Toba Pulp Lestari (TPL).
- Dini hari, 22 Juli lalu, suasana mencekam terjadi di Dudun Buntu Pangaturan, Desa Sihaporas, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara. Puluhan pria berbaju preman mengendarai mobil, membawa senjata tajam dan pistol, masuk ke rumah peristirahatan Masyarakat Adat Sihaporas. Mereka sedang terlelap.
- Hengky Manalu, Biro Organisasi dan Keanggotaan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak, mengatakan, mendesak, pemerintah aktif menyelesaikan konflik wilayah adat dengan TPL ini. Akar persoalan harusnya diselesaikan. Jangan biarkan masyarakat hidup dalam ketakutan.
- Delima Silalahi, Direktur Program Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPM) Sumut, mengatakan, apa yang menimpa masyarakat adat di Buntu Pangaturan itu bagian dari kelalaian negara menyelesaikan konflik. Masyarakat Adat Sihaporas, sudah lama mengajukan pengakuan hak masyarakat adat, dan sering bentrok dengan perusahaan. Sayangnya, negara seperti tidak berbuat apa apa bahkan, seolah sengaja melakukan pembiaran.
Dini hari, 22 Juli lalu, suasana mencekam terjadi di Dudun Buntu Pangaturan, Desa Sihaporas, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara. Puluhan pria berbaju preman mengendarai mobil, membawa senjata tajam dan pistol, masuk ke rumah peristirahatan Masyarakat Adat Sihaporas. Mereka sedang terlelap.
Nurinda, saksi di lokasi kejadian mengatakan, kedatangan pria asing ke tempat mereka sekitar pukul 3.00 dini hari. Sekitar 12 orang sedang tertidur pulas.
Tiba-tiba terdengar suara pintu ditendang keras. Brakk. “Pintu depan ditendang, pintu samping kan terbuka. Kami bangun, orang itu sudah banyak di dalam,” katanya, Senin (22/7/24).
Orang-orang asing sudah meringsek masuk di rumah, menodongkan pistol ke kepala, leher, dan belati yang dipegang di tangan. Borgol juga dipasang ke tangan orang-orang yang ada di sana.
“Mereka borgol bapak itu. Saya ikut diborgol, orang itu tengkurap dan dipukul pakai kaki atau ditendang sekaligus mengarah pistol ke kepala mereka masing masing,” katanya.
Saat itu, Nur berteriak minta tolong dengan kondisi todongan pistol, dan tangan diborgol ke belakang. Leher, kepala dan punggung dipukul dengan tangan.
Ada kira-kira 30 orang asing berada di dalam rumah, dan di luar juga ada. “Sempat terjadi perlawanan, akhirnya mereka dibawa. Ada yang melarikan diri, namun kepala dan tangannya luka kena belati. Kurang lebih setengah jam ada di dalam rumah,” katanya.
Ada enam orang yang dibawa—belakangan tinggal lima dan dibawa ke kantor polisi— yakni Thomson Ambarita, Jonny Ambarita, Prado Tamba, Dosmar Ambarita dan Gio Ambarita. Mereka ini keturunan Oppu Mamontang Laut Ambarita. ‘Penculikan’ mereka duga ada kaitan konflik lahan berlarut antara Masyarakat Adat Sihaporas dan perusahaan hutan tanaman industri, PT Toba Pulp Lestari (TPL).
Hengky Manalu, Biro Organisasi dan Keanggotaan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak, mengatakan, enam orang yang dibawa masuk kategori penculikan. Enam orang itu dibawa sekelompok orang tidak dikenal mengendarai mobil securiti bertulisakan PT TPL dan truk diesel.
Yang dibawa dengan kondisi tangan terborgol yakni Tomson Ambarita, Jonny Ambarita, Gio Ambarita, Prando Tamba, Hitman Ambarita dan Pak Kwin Ambarita.
“Kemudian Pak Kwin Ambarita dilepas di Selasa (23 Juli) karena kebetulan hanya numpang tidur di rumah itu, tidak tahu persoalan masyarakat adat,” katanya.
Suara tembakan dan diancam
Dua anak Nur berumur delapan dan 10 tahun juga ikut menjadi korban. Mereka menangis bahkan salah satunya diancam disuruh berdiri di dinding rumah, tangan ke belakang badan tanpa diborgol.
“Diam kau di situ, nanti ku matikan kau,” kata anak Nur menirukan suara pria yang mengancamnya.
Nur bilang, ada enam orang yang dibawa. Sebelum mereka pergi, ada satu orang yang tidak dikenal melepaskan tembakan. “Ada suara tembakan di dalam rumah,” katanya.
Usai itu, para pria tidak dikenal itu pergi. Ada dua motor trail berjalan keluar dari mes perusahaan PT Toba Pulp Lestari. Saat itu, api menyala di rumah itu.
“Rumahnya terbakar. Saat itu, hanya tinggal aku dan dua anak ku. Saat saya cek jam di handphone, jam 3.00 lewat,” ucapnya.
Dia sehari-hari tanam jagung, cabai, kopi dan tomat dan lain-lain.
Nur menyebut sebelum kejadian, sejak beberapa bulan terakhir banyak orang asing datang ke ladang mereka. Ada yang berpakaian seragam aparat dan berpakaian biasa.
Lokasi ‘penculikan’ terjadi di rumah yang biasa masyarakat gunakan untuk beristirahat usai berladang.
“Ini tanah leluhur kami. Sejak 1998 kami memperjuangan tanah leluhur. Suami saya generasi kedelapan, tapi leluhur kami kurang lebih 200 tahun tinggal di situ,” katanya.
Hengky menduga, kasus penculikan ini bermuara pada tumpang tindih wilayah adat Sihaporas dengan TPL. Masyarakat menolak dan protes karena wilayah adat pemerintah berikan izin kepada perusahaan.
”Berbagai upaya dilakukan ke pemerintah, seperti Kementerian Kehutanan (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan), tapi yang terjadi 2022-2024, ada juga warga yang ditangkap, dikriminalisasi masyarakat yang berjuang nuntut tanah,” katanya.
Dua bulan sebelum kejadian subuh itu, katanya, ada satu orang mengaku pekerja TPL lalu menghina warga yang berladang. Orang itu, katanya, menyebut tidak punya tanah di Sihaporas sambil memaki leluhurnya.
“Kemungkinan ini berimbas ke situ, karena isu yang kami dapat pekerja TPL ini membuat laporan ke polisi.”
Menurut Hengky, warga tak ada menganiaya orang yang mengaku pekerja TPL itu. Dia terluka karena terjatuh.
“Menurut warga dia terjatuh. Memang sempat terjadi kontak fisik dengan masyarakat. Masyarakat adat ada yang jadi korban, dia itu Nurinda Napitu,” katanya.
Karyawan atau kontraktor TPL itu yang memulai konflik dengan mengacungkan parang kepada warga bahkan menabrak seorang perempuan dengan sepeda motor. “Itu kejadian 14 Mei 2024.”
Hengky mendesak, pemerintah aktif menyelesaikan konflik wilayah adat dengan TPL ini. “Akar persoalan harusnya diselesaikan. Jangan biarkan masyarakat hidup dalam ketakutan.”
Desa Sihaporas, sering didatangi aparat. Beberapa bulan lalu, katanya, ada ratusan aparat datang saat warga protes dengan menutup akses jalan agar perusahaan tidak lagi bekerja di atas tanah itu.
“Akses jalan ditutup dan aparat datang. Akhirnya akses dibuka warga. Mereka sudah sangat lama mulai ‘98 meminta pemerintah menyelesaikan akar persoalan konflik ini. Sampai saat ini tidak ada, justru yang ada itu warga yang ditangkapi.”
Dituduh merusak dan menganiaya
Choky Sentosa Meliala, Kepala Kepolisian Reserse (Kapolres) Kabupaten Simalungun, mengatakan, benar telah menangkap enam orang Masyarakat Sihaporas atas tuduhan kekerasan dan penganiayaan di camp RND TPL Sektor Aek Nauli, Nagori Sihaporas, Kecamatan Pematang Sidamanik.
Versi kepolisian, penangkapan 22 Juli 2024, sekitar pukul 05.00 WIB di area konsesi TPL Sektor Aek Nauli, Sihaporas.
Melalui keterangan tertulis, Kapolres Simalungun merinci, Jonny Ambarita terlibat dua laporan polisi tertanggal 14 Mei 2024 dan 19 Juli 2022 atas tuduhan melakukan tindakan kekerasan secara bersama-sama. Giovani Ambarita juga tuduhan sama terlibat dalam kasus 14 Mei 2024. Begitu juga Thomson Ambarita dituduh serupa untuk kasus 19 Juli 2022.
Kapolres menerangkan, kejadian bermula ketika korban, Rudy Harryanto Panjaitan, bersama dua orang, Jhon Binholt Manalu dan M. Reza Adrian, diserang sekitar 100 orang. Saat itu mereka hendak menyingkirkan kayu yang menghalangi jalan di Camp RND TPL Sektor Aek Nauli.
Versi pelapor mengatakan, para pelaku melempari mereka dengan batu dan membawa kayu yang dililit kawat berduri hingga menyebabkan kerugian Rp100 juta dan luka di kepala.
“Penangkapan dilakukan tim gabungan. Selama proses penangkapan, ada dua orang tersangka melarikan diri akibat situasi yang tidak kondusif,” katanya.
Dia mengimbau, masyarakat mengendalikan diri dan menjaga ketertiban. “Polres Simalungun berkomitmen, memastikan keamanan dan ketertiban serta menindak tegas setiap tindakan kriminal.”
Ghulam Yanuar Lutfi, Kasat Reskrim Polres Simalungun, menambahkan, para tersangka akan diproses sesuai hukum dan memastikan berjalan transparan.
Dia katakan, masyarakat agar tidak mudah terprovokasi informasi tidak benar dan mengedepankan jalur hukum dalam menyelesaikan masalah.
Salomo Sihotang, Corporate Communication Head TPL dikonfirmasi Mongabay mengatakan, saat ini ada banyak informasi menyesatkan beredar di media sosial dan menuduh yang melakukan penjemputan masyarakat adat adalah TPL.
“Kami membantah keras informasi yang menyebutkan perusahaan terkait hal itu,” katanya lewat pesan singkat WhatsApp.
Dia menyebut, perusahaan meminta para pihak menanyakan langsung kepada kepolisian. “Informasi yang dihimpun perusahaan dari pihak kepolisian, kegiatan itu terkait tindak pidana kekerasan yang dialami salah seorang karyawan kontraktor perusahaan. Keluarga korban melaporkan kejadian kepada kepolisian.”
Salomo bilang, TPL menghormati masyarakat adat dan menegaskan kasus ini kriminal murni yang telah ditangani kepolisian. Tidak ada hubungan dengan masyarakat adat manapun.
“Untuk kronologinya mohon dapat ditanyakan kepada pihak kepolisian. Berhubung ini dilaporkan korban secara pribadi.”
Dugaan pelanggaran HAM
Delima Silalahi, Direktur Program Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat (KSPM) Sumut, mengatakan, apa yang menimpa masyarakat adat di Buntu Pangaturan itu bagian dari kelalaian negara menyelesaikan konflik.
Masyarakat Adat Sihaporas, katanya, sudah lama mengajukan pengakuan hak masyarakat adat, dan sering bentrok dengan perusahaan. Sayangnya, negara seperti tidak berbuat apa apa bahkan, seolah sengaja melakukan pembiaran.
“Itu menunjukkan negara makin barbar ya. Saya mengecam tindakan itu, karena bagi saya ini penculikan, dilakukan dinihari, tidak ada surat panggilan dan itu dilakukan perusahaan yang katanya di negara hukum begitu.”
Dia bilang, kejadian ini bagian kelalaian negara atau negara mau menunjukkan keberpihakan kepada TPL. “Menunjukan TPL itu sesuatu yang sangat penting dan mengkhianati masyarakat adatnya sendiri,” katanya.
TPL juga diduga melanggar HAM karena bertindak sewenang-wenang dengan memanfaatkan kekuatan mereka untuk menekan masyarakat adat.
“Menurut saya TPL sangat buruk, pelanggar HAM dan tidak menjunjung HAM. Perusak lingkungan dan pelaku kekerasan.”
Delima geram dengan keadilan di negeri ini. Kalau warga melapor ke polisi seakan tak digubris, berbeda kalau laporan dari perusahaan.
“Pengajuan penyelesaian konflik di KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) sudah dilakukan tapi tidak pernah direspon dengan baik. Jadi begitulah nasib menjadi masyarakat adat di republik ini,” ucapnya.
*******
Masyarakat Sihaporas Tak Pernah Lelah Perjuangkan Tanah Adatnya