- Jakarta terancam tenggelam. Banyak faktor penyebab antara lain, penurunan muka tanah, perubahan iklim sampai beban bangunan. Kini, pesisir Jakarta mulai tergerus, banjir rob warga pesisir rasakan setiap hari. Sisi lain, bangunan-bangunan besar terus bertambah di Jakarta Utara, termasuk kawasan pesisir.
- Penelitian Muhammad Ihsan Syahidan dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta menunjukkan sejak 2014 sampai 2022, lahan terbangun di Jakarta Utara meningkat 9% atau seluas 853,42 hektar.
- Upaya pemerintah cenderung jangka pendek, misal, bangun tanggul. Nirwono Joga, ahli tata kota dari Universitas Trisakti mengatakan, dibandingkan membangun dan merawat tanggul yang mahal, menanam mangrove jauh lebih efektif dan menguntungkan dalam jangka panjang. Hutan pantai dan mangrove yang tumbuh subur akan menjadi pelindung alami dari abrasi dan gelombang laut.
- Walhi melihat ketidaksesuaian tata ruang di Jakarta ini karena politik tata ruang belum berpijak prinsip berkelanjutan dan keadilan lingkungan.
Kartini duduk di depan rumah yang terlihat ‘tenggelam’ sebagian. Tanah sudah melebihi batas bawah pintu rumah. “Sudah ditinggikan, masih banjir, tinggikan lagi, jadi seperti sekarang,” kata Kartini.
Tak jauh dari depan rumahnya ada ‘danau’ yang kalau sore hari air mulai naik. Air pun mulai mengalir dari got ke lahan ‘danau’, kadang menggenangi sampai ke halaman rumah. Pagi hari, surut lagi.
Danau di depan rumah Kartini itu dulu daratan, kini lahan terendam banjir pasang air laut (rob).
Bau amis, got, bau sampah, campur aduk kala memasuki pemukiman. Kulit kerang hijau menumpuk dan berserakan di mana-mana, di tepi rumah, tepi jalan, bak jadi ‘tanah’ tambahan di area itu.
Rumah Kartini ini terletak di Muara Angke, Jakarta Utara, berjarak hanya sekitar 15 kilometer dari Istana Presiden, yang berada di Jakarta Pusat.
Tanah depan rumah dan jalanan pemukiman warga sudah dinaikkan lebih dari satu meter, itu pun masih kerap terendam. Lantai rumah Kartini tak ditinggikan, hingga tampak terendam karena tanah bagian depan lebih tinggi dari bangunan.
“Perasaan udah tinggi bener nih, tapi masih kena [banjir] terus. Tangganya tadinya enam, sekarang tinggal tiga. Semeter ditimbun. Tadinya kramiknya warna ijo, sekarang warna coklat,” katanya Juni tahun lalu. Kondisi tak berubah hingga kini.
Enam tahun sudah dia tinggal di sana. Kartini tak tahu entah sampai kapan bisa bertahan. Bukan persoalan mudah hidup dalam was-was rob, tetapi Kartini dan keluarga tak banyak pilihan. Mau pindah, mencari tempat tinggal baru perlu dana, bukan hal mudah juga. Sementara ini, mereka memilih bertahan, dengan konsekuensi rob mengancam setiap hari.
Tak hanya merendam rumah, kadang banjir rob juga melumpuhkan berbagai aktivitas lain seperti kesulitan pergi bekerja maupun kegiatan belajar mengajar di sekolah.
Perempuan pesisir Jakarta yang lain, Narti, pun alami kondisi tak jauh beda dari Kartini. Dia sudah hampir 20 tahun bersama keluarga pindah ke Muara Angke ini.
Dulu, katanya, banjir tak separah ini. Datang pun hanya pada bulan-bulan tertentu dan tak lama. Saat ini, banjir bisa datang setiap saat. Pada Desember dua tahun lalu, dia nilai paling parah. Rumah dan salonnya terendam.
Segala peralatan rusak karena terendam. Mau meninggikan bangunan salon dan beli peralatan agar bisa mulai usaha, Narti tak punya modal. Rumah untuk tinggal saja mereka tinggikan. Hidup pun makin susah karena sumber penghasilan berkurang. Suaminya jadi nelayan kecil dengan penghasilan tak menentu.
Kartini dan Narti ini, dua di antara ribuan bahkan ratusan ribu warga di pesisir Jakarta yang hidup dalam ketidakpastian. Tempat tinggalnya terancam tenggelam!
Kenaikan permukaan air laut dampak perubahan iklim salah satu penyebab banjir pesisir yang mengancam keberadaan Jakarta.
Menurut Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), kenaikan air laut karena perubahan iklim berkisar antara 0,8-1 meter sampai 2100. Dengan begitu, perkiraan kenaikan muka air laut sekitar satu cm per tahun.
Jurnal Nature Communications, pada Oktober 2019 merilis penelitian yang memperkirakan Jakarta tenggelam pada 2050. Menurut Climate Central pada 2021, pun wilayah Jakarta diperkirakan tenggelam pada 2050 meliputi Jakarta Utara, Jakarta Barat, Jakarta Timur dan Jakarta Pusat. Wilayah-wilayah itu terbentang dari Pantai Indah Kapuk, Ancol, Kalideres, Harmoni, Gambir, Kemayoran, Sunter, Kelapa Gading, Cilincing, Pulogadung sampai Cakung.
Salah urus
Kondisi Jakarta makin berat, tak hanya dampak kenaikan muka air laut, daratan Jakarta pun alami penurunan tiap tahun antara lain karena eksploitasi air tanah berlebihan.
Sisi lain, penyediaan air bersih oleh pemerintah jauh dari memadai. Sampai 2023, penyediaan air baku bersih layak minum di Jakarta sekitar 65,8%. PAM Jaya, sebagai perusahaan daerah pengelola air di Jakarta, punya target pemenuhan 100% pada 2030.
Pembangunan terus menerus termasuk di pesisir Jakarta, juga meningkatkan beban tanah. Tepian laut Jakarta, malah jadi ‘lahan mahal’ untuk bangun pusat-pusat bisnis dan perumahan elit dan itu sebagian di lahan hasil reklamasi.
Bahkan, kompleks perumahan kelas atas itu terus bertambah, memamjang dari pesisir Jakarta sampai ke Tangerang. Teranyar, pemerintah meningkatkan ‘status’ pemukiman rumah mewah itu dengan label proyek strategis nasional (PSN).
Heri Andreas, Peneliti Geodesi Institut Teknologi Bandung, mengatakan, ancaman penurunan tanah di Jakarta sampai pada tahap “mengkhawatirkan.”
Di Indonesia, kenaikan muka air laut tidak signifikan seperti penurunan muka tanah, yaitu, 6 ml-1 cm per tahun, sedang penurunan muka tanah bisa 10 cm per tahun.
Selain penyedotan air tanah, katanya, berbagai penelitian menunjukkan salah satu penyebab penurunan tanah di Jakarta adalah alih fungsi lahan yang makin marak. Saat banyak bangunan baru muncul, mereka menambah tekanan pada tanah di bawahnya. Pada gilirannya, membuat permukaan tanah di ibu kota ini makin rendah.
Faktor lain yang turut berperan adalah pertumbuhan penduduk yang pesat, memicu pembangunan rumah dan infrastruktur baru di hampir setiap sudut kota.
Sasi, dari Dinas Pemukiman dan Perumahan Jakarta pun katakan hal senada. Dia tekankan dua faktor utama, pertama, pengambilan air tanah terus menerus, dan kedua, beban bangunan.
“Kalau di ilmu struktur itu disebut konsolidasi atau penurunan tanah akibat keluarnya air dari pori-pori tanah karena bangunan di atasnya,” katanya, Februari lalu.
Nirwono Joga, ahli tata kota dari Universitas Trisakti menyoroti lebih 40% tanah di wilayah utara Jakarta adalah tanah aluvial, secara alami cenderung turun atau memadat.
Kendati demikian, katanya, proses ini biasa memakan waktu ratusan tahun. Namun, aktivitas manusia seperti pengambilan air tanah berlebihan dan kepadatan bangunan di atasnya mempercepat proses ini hingga penurunan tanah terjadi lebih cepat dan mengkhawatirkan.
“Tanah aluvial itu tanah berlumpur, tanah belum padat dan makin miring. Tanah itu, tidak ada beban saja memadat, apalagi kalau ditambah pengambilan air tanah, gedung-gedung tinggi yang makin banyak, otomatis penurunan jadi lebih cepat lagi,” katanya April lalu.
Dia menekankan keterkaitan pengambilan air tanah dengan sistem penyediaan air minum yang belum terpenuhi di banyak daerah di Jakarta. Tak pelak, sebagian warga masih menggunakan pompa buat sedot air tanah.
“Kalau pompa rumah tidak begitu besar, tapi begitu pompa gedung, pompa kawasan industri, kan nyedot airnya juga besar,” katanya.
Selain menyedot air tanah dalam jumlah besar, bangunan-bangunan ini juga mengganggu keseimbangan laju pengambilan air tanah. Meskipun curah hujan di Jakarta, tergolong tinggi, alih-alih meresap ke dalam tanah sebagai cadangan air saat musim kemarau, hujan yang turun justru terhalang beton gedung dan aspal yang menutupi permukaan tanah.
“Jika kita bicara lubang air tanah, hujan (Jakarta) juga banyak sebenarnya. Terbukti sering banjir kan? Persoalannya, begitu hujan, kalau di atasnya bangunan, air nggak bisa menyerap. Otomatis antara air disedot sama yang kembali masuk ke tanah itu nggak seimbang.”
Seringkali pemerintah bangga dengan sistem drainase yang mampu menyurutkan air banjir dalam waktu singkat. Padahal, katanya, perlu jadi sorotan juga kemana air dibuang.
“Kalau air diserapkan ke tanah, diolah atau ditampung waduk bagus. Kalau air itu dibuang secepat-cepatnya ke laut, berarti kita sama saja bunuh diri ekologis. Kenapa? Karena kita butuh air itu,” kata Nirwono.
Kanal Banjir Timur, misal, langsung mengalirkan air hujan ke laut. Dia nilai keliru karena bertentangan dengan kodrat alam dan berakibat pada kekurangan air di musim kemarau.
“Jangan salahkan pas musim kemarau Jakarta kekurangan air. Pas dikasih air, kita buang. Jadi cara berpikirnya menurut saya harus diubah. Banjir itu kan bukan salah airnya, tapi cara kita mengelola air.”
Kombinasi faktor-faktor itu, katanya, kalau tidak diantisipasi bisa membuat Ancol yang saat ini menjadi garis pantai, bergeser hingga ke Dukuh Atas pada 2050.
Nirwono juga sebutkan lebih 80% tata ruang di Jakarta menyalahi peruntukkan. Melihat sejarah perencanaan tata ruang Jakarta, katanya, ada empat rencana utama yang seharusnya jadi landasan pengembangan kota ini. Yakni, rencana induk Djakarta 1965-1985, rencana umum tata ruang (RUTR) 1985-2005, rencana tata ruang wilayah (RTRW) 2000-2010, dan rencana tata ruang Jakarta (RTRJ) 2010-2030.
Terdapat inkosistensi signifikan di antara rencana-rencana ini. Perubahan drastis terlihat dari 1985 hingga 2000, ada penurunan cukup signifikan dalam hal ruang terbuka hijau (RTH).
Persentase RTH pada master plan pertama tahun 1965 masih 37,2%, mencerminkan komitmen menjaga lingkungan dan kualitas hidup penduduk.
Pada 1985, angka ini turun tajam menjadi 25,85%. Bahkan, lebih mencemaskan pada 2000, persentase RTH mencapai titik terendah, hanya 13,9%. Hal ini berarti terjadi penurunan besar dalam luas area hijau.
Perubahan tata ruang masif di Jakarta, yang digambarkan Nirwono diduga dimotori lobi-lobi pengembang bisnis dan properti serta dugaan praktik korupsi.
Dia contohkan pembangunan Pantai Indah Kapuk (PIK) dan Kelapa Gading. Dulu, katanya, kawasan itu daerah resapan air, bertanda biru dalam Rencana Tata Ruang Jakarta 1985-2005. Dalam Rencana Tata Ruang 2000-2010, berubah, warna kawasan jadi kuning, menandakan area pemukiman.
“Di Jakarta, hampir sebagian besar perubahan tata ruang terjadi dengan kasus sama. Sampai saya kuliah, daerah Kelapa Gading masih berupa rawa-rawa, belum terbangun sama sekali. Begitu Rencana Tata Ruang 2000-2010, berubah jadi kuning.”
Jadi, katanya, kalau bicara rencana tata ruang PIK itu dulu hutan mangrove. “Awalnya di situ nggak boleh (dibangun) tuh. Kemudian pengembang mengajukan izin pada zamannya Sutiyoso (Gubernur Jakarta), karena sudah tahu melanggar, maka rencana tata ruangnya yang diubah.”
Bangunan komersial terus bertambah
Selaras dengan penelitian Muhammad Ihsan Syahidan dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam penelitian itu menunjukkan sejak 2014 sampai 2022, lahan terbangun di Jakarta Utara meningkat 9% atau seluas 853,42 hektar.
“Saat ini, kalau berdasar ground-checking saya kemarin wilayah Jakarta Utara memang didominasi industri, berupa kawasan-kawasan elit, pemukiman elit, mall-mall, hotel, wisata. Kalau di dekat kampung-kampung banyak pabrik, pelabuhan, dan tempat-tempat pelelangan ikan,” ujar Ihsan.
Gedung-gedung tinggi itu, katanya, tentu jadi beban berat yang signifikan mempengaruhi dan memperparah penurunan tanah.
Penelitian lain dari Emeralda Amirul Ariefa, Yudo Prasetyo, dan Andri Suprayogi juga mengungkapkan hal senada. Sepanjang 2016-2019, kawasan terbangun di Kota Jakarta Utara meningkat signifikan seluas 228,23 hektar pertahun.
Wilayah Jakarta Utara, khususnya, merasakan dampak dramatis dari penurunan permukaan tanah ini. Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, tanah di kawasan ini turun hingga 2,5 meter, dengan beberapa bagian tenggelam sekitar 2,5 sentimeter setiap tahun. Ini angka yang lebih tinggi hampir dua kali lipat dari rata-rata penurunan permukaan tanah di kota pesisir besar di seluruh dunia.
Penelitian itu menyebut, bangunan-bangunan ini menyebabkan pemampatan lapisan tanah karena tekanan dari bangunan, perpindahan partikel tanah, dan keluarnya air atau udara dari dalam tanah. Akibatnya, makin berat massa bangunan, tanah akan makin dalam pula tingkat penurunan muka tanah itu.
Mongabay berusaha menghubungi Pemerintah Jakarta untuk mengkonfirmasi soal ini. Dari Atikah Nuraini, Kepala Bappeda Jakarta, lalu, Rahma Yulia, Humas Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Satu Pintu (DPMPSP). Kemudian, Humas Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang dan Retno Sulistyaningrum, Plt Kepala Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Pemukiman Jakarta. Dari semua yang dihubungi, hanya DPRKP merespon.
Retno Sulistyaningrum, Plt Kepala DPRKP bersama Sasi April lalu mengatakan, dalam membangun perumahan atau pemukiman mereka selalu mematuhi ketentuan tata ruang. “Selama kita ikuti ketentuan, harusnya tidak bermasalah, ya. Terutama saat proses pembangunan rusun, kami memperhatikan apakah daerah akan berisiko penurunan tanah atau tidak,” katanya.
Dia jelaskan singkat soal revitalisasi kawasan kumuh di Jakarta sesuai kategori dalam permen 14/2018, yaitu tanah milik dan kumuh berat, direvitalisasi dengan program perbaikan rumah melalui konsolidasi tanah dan dana tanggung jawab sosial perusahaan.
“Kalau ada lokasi kumuh berat, ternyata tanahnya bukan milik mereka dan itu bukan diperuntukan pemukiman, harus relokasi. Misal, daerah itu untuk normalisasi sungai, itu urusannya ke Dinas Sumber Daya Air dulu, kita bangun rusunawa untuk relokasi. Tidak bisa hanya dari DPRKP saja, harus berkolaborasi dengan pemerintah daerah dan pusat,” ujar Retno.
Dia tak mau menyinggung soal pembangunan maupun pengembangan pemukiman skala besar di pesisir Jakarta. Dia sarankan bertanya ke dinas terkait yang lain.
Mongabay juga menghubungi tiga pengembang properti besar di Jakarta Utara. Ada Christy Grasella, Corporate Secretary and Shareholder Relations PT Pantai Indah Dua Tbk dari Agung Sedayu Group, lalu Boni, Head of Public Relation Ciputra Group, dan Cesar M Dela Cruz, Director/Chief Financial Officer Agung Podomoro Land. Sampai berita ini terbit, ketiganya tidak merespon permintaan wawancara.
Bagaimana upaya pembenahan?
Setidaknya tiga hal dapat dilakukan pemerintah, kata Nirwono, pertama, kolaborasi penyediaan air bersih ke seluruh wilayah Jakarta.
Dengan terpenuhinya kebutuhan air bersih, warga tidak lagi bergantung air tanah yang menjadi salah satu penyebab utama penurunan tanah.
“Begitu semua tercukupi oleh air bakunya tadi, pemerintah akan menerapkan zona larangan pengambilan air tanah,” katanya.
Kedua, pemukiman yang berbatasan dengan tanggul laut dan pantai, seperti Kampung Apung, Kampung Akuarium, Kampung Empang dan lain-lain ke rusunawa terdekat. Hal ini, katanya, demi mencegah jatuhnya korban jiwa jika tanggul jebol.
Ketiga, kawasan kosong pasca relokasi tak boleh dibiarkan terbengkalai. Sebaliknya, perlu difungsikan kembali sebagai benteng alami, seperti hutan mangrove atau hutan pantai.
Menurut Nirwono, dibandingkan membangun dan merawat tanggul yang mahal, solusi ini jauh lebih efektif dan menguntungkan dalam jangka panjang. Hutan pantai dan mangrove yang tumbuh subur akan menjadi pelindung alami dari abrasi dan gelombang laut.
“Perawatan tanggul itu sepanjang masa, kalau airnya naik, harus ditinggikan tanggulnya. Artinya, perlu biaya sangat mahal. Kalau dibikin hutan mangrove, 10-20 tahun lagi justru hutan mangrove membesar, memperbanyak diri sendiri. Biaya pemeliharaan lebih murah.”
Dia mengimbau, pemerintah tidak menggunakan kacamata pragmatis proyek dan memikirkan untung-ruginya dalam jangka panjang. Wakil rakyat dan pemerintah daerah harus menyesuaikan rencana tata ruang atas dasar untuk mencegah Jakarta tenggelam pada 2050.
Dia contohkan tata ruang di Singapura yang dapat menyeimbangkan antara nilai ekonomi dan kelestarian lingkungan.
“Dalam membangun tata kota, Singapura menjadikan ekologisnya sebagai nilai ekonomi. Mereka sudah berpikir, kalau itu lingkungannya aman, ruang terbuka hijau bagus, investor akan datang. Pengembang juga akan suka. Kantor-kantor pusat pasti mau tinggal di situ,” katanya.
“Bukan kemudian itu berpikir sok ekologis. Itu justru berpikir pragmatis. Bagaimana nilai ekonomi jadi, justru jadi nilai jualnya.”
Cara pandang ini juga diperkuat dengan regulasi, jadi siapapun yang memotong atau menebang pohon, menggusur ruang terbuka bisa masuk penjara. Sanksi proporsional, pengawasan kuat, peraturan terselenggara dengan tegas.
“Kalau di sini, sanksi penebangan pohon itu nggak ada artinya. Satu pohon diganti 10 pohon. Bayangkan satu pohon besar usia puluhan ratusan tahun digantikan 10 pohon yang tidak ada ketentuan mengenai ukurannya, lokasi penanaman, serta tidak ada lembaga yang mengawasi sanksi ini.”
Parid Ridwanuddin, Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional Walhi melihat ketidaksesuaian tata ruang di Jakarta ini karena politik tata ruang belum berpijak prinsip berkelanjutan dan keadilan lingkungan.
“Di pesisir Jakarta, sejak lama ada pembebanan industri skala besar. Kalau kita lihat sepanjang 35 km pantai Utara Jakarta dari barat sampai timur, kita bisa lihat langsung beban-beban industrinya, ada perumahan, pelabuhan, industri pergudangan, kawasan perikanan nusantara, PLTU, macam-macamlah,” katanya.
Kondisi ini terjadi, Parid duga karena perilaku mencari keuntungan jangka pendek namun kurang memperhatikan jangka panjang dan kepentingan nasional.
Menurut Parid, akar permasalahan ini sangatlah struktural. Pola pembangunan selama ini, katanya, mendorong percepatan bencana, bukan ekonomi, hingga penting evaluasi tata ruang Jakarta.
Bias teknokratis membuat para pemangku kebijakan melihat persoalan dari kacamata helikopter. Kebijakan pun kebanyakan jangka pendek.
Parid contohkan, tanggul ‘Great Garuda’ yang dibangun pemerintah hanya sebatas pain killer, air rob dapat ditanggulangi, namun tidak dapat menghentikan penurunan tanah.
“Itu dia, karena akarnya ga diselesaikan, tata ruang ga dibetulkan, betonisasi bukan solusi permanen.”
Untuk saolusi jangka panjang, katanya, pemerintah perlu mengendalikan pertumbuhan penduduk, menyediakan alternatif sumber air selain air tanah, serta sangat membatasi pemberian izin kepada pengembang pemukiman dan industri untuk mengalihfungsikan lahan.
Dalam revisi tata ruang, penting melibatkan masyarakat karena kalau tidak, proyek-proyek nasional seperti LRT, MRT, kereta cepat, dan reklamasi dapat melanggar peraturan tata ruang.
Negara, katanya, harus bertanggung jawab terhadap orang-orang yang terdampak.
“Mereka korban dari pembangunan, harusnya mereka dapat kompensasi dari negara,” ujar Parid.
*****
Penurunan Laju Muka Tanah Jadi Ancaman Serius untuk DKI Jakarta