- Perwakilan masyarakat dari berbagai daerah di Indonesia, yang wilayahnya ada pembangkit panas bumi, maupun baru akan dibangun, datang ke Jakarta, 17 Juli lalu. Mereka menyampaikan dampak yang terjadi di lapangan dan menyuarakan kekhawatiran ancaman serupa terjadi di proyek yang baru akan dibangun.
- Alfarhat Kasman, dari Devisi Kampanye Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) kepada wartawan mengatakan, proyek panas bumi membuat masyarakat sekitar was-was. Berbagai dampak buruk, katanya, berisiko terjadi ketika ada pembangkit panas bumi. Antara lain, pembangkit geothermal ini rakus air hingga perlu banyak air untuk dalam proses produksinya juga mengancam keselamatan warga.
- Merujuk penjelasan KESDM, pemerintah menargetkan pengembangan panas bumi satu dasawarsa kedepan (2020-2030) mencapai 8.007,7 MW. Dengan kapasitas terpasang saat ini, 2.130,7 MW, masih perlu sekitar 177 pengembangan panas bumi dengan kapasitas sekitar 5.877 MW sampai 2030.
- Melky Nahar, Koordinator Nasional Jatam mengatakan, pengembangan tambang panas bumi selain tak melibatkan warga dalam proses penyusunan, juga terbukti berkali-kali menjadi “ladang kematian” bagi warga maupun pekerja. Masyarakat Indonesia, perlu tahu kalau ekstraksi panas bumi terbukti menyebabkan gempa picuan.
“Geothermal ancam Gede-Pangrango.” “Flores bukan pulau Geothermal. Poco Leok Tolak Eksploitasi Geothermal.” “Wujudkan Reforma Agraria Sejati & Bangun Industri Nasional.” “Selamatkan Wae Sano Dari Geothermal.” “Ilusi Transisi Energi# Geothermal Membunuh Perempuan & Anak-anak.” “Selamatkan Gunung Prakasak, Tolak Geothermal Pandarincang.” “Tolak geothermal di Wapsalit Pulau Buru. Tolak geothermal di Pulau Seram Maluku.”
Begitu tulisan spanduk dan pamflet dari masyarakat yang tergabung dalam Koalisi Nasional Tolak Geothermal saat aksi di Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (Dirjen EBTKE) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM), di Jakarta Pusat, 17 Juli lalu.
Mereka juga aksi depan PT PLN (Persero). Doi beberapa daerah juga serentak aksi serupa.
Gabungan masyarakat ini berasal dari sejumlah wilayah seperti Poco Leok Flores Nusa Tenggara Timur, Padarincang Banten, Suka Tani dan Gunung Putri, Cianjur Jawa Barat, Jailolo Maluku Utara, Pulau Seram dan Buru Maluku, serta Mandaling Natal Sumatera Utara.
“Kami datang jauh-jauh dari Cianjur untuk menyampaikan aspirasi. Kami keberatan geothermal di Gunung Gede. Kami tidak mau Gunung Gede mau jadi tambang panas bumi,” kata Dadang, pemandu wisata di Cianjur.
Selain akan merusak lahan pertanian dan air, namun katanya, warga khawatir kehilangan sumber penghasilan mereka karena wisata pendakian Gunung Gede terancam rusak.
Dadang mengatakan, dari peta perencanaan KESDM, sejumlah kawasan seperti Pacet, Cipanas, dan Cugenang terancam eksploitasi. Kalau itu terjadi, katanya, diperkirakan lahan tereksploitasi sekitar 3.180 hektar. Hal ini akan merugikan warga yang sebagian besar petani.
Kritianus Jaret, perwakilan pemuda Flores Nusa Tenggara Timur juga tegas menolak rencana PLTP di Poco Leok, Flores, Nusa Tenggara Timur. Proyek panas bumi itu, katanya, berpotensi merugikan masyarakat adat sekitar.
Lebih parah lagi, izin pengoperasian proyek panas bumi ini tidak diketahui masyarakat adat di sana. Dari 90% warga di Poco Leok menolak panas bumi ini.
“Selama ini PLN dan pemerintah sudah menggencarkan rencana pembangunan itu termasuk upaya pengadaan lahan yang ditentang warga. Dari 14 kampung adat tegas menolak PLTP Poco Leok,” kata Kristianus.
Sejak 2011, setelah PLTP pertama beroperasi di Flores, perekonomian masyarakat makin menurun.
“Penurunan hasil seperti cengkih, kopi, kemiri. Ini sangat dirasakan warga sejak PLTP itu masuk,” katanya.
Dia bilang, tak hanya bersengketa dengan perusahaan, warga juga berhadapan dengan warga lain karena sengketa lahan.
“PLN sudah berhasil membuat pecah belah di masyarakat. Itu akan berdampak luas ke masyarakat sekitar. Tentu menjadi pemicu konflik horizontal hingga situasi di Poco Leok kini tidak aman,” katanya.
Kristina Rumalatu, perwakilan perempuan Pulau Seram Maluku, kepada Mongabay mengatakan, menolak rencana eksploitasi besar-besaran geothermal di Pulau Seram.
Proyek yang mengatasnamakan energi terbarukan ini, katanya, mengancam ruang hidup masyarakat adat di Pulau Seram. Masyarakat adat, katanya, sangat tergantung alam jadi kalau proyek itu masuk akan menghilangkan ruang hidup masyarakat.
Proyek ini, katanya, juga akan menggangu situs sejarah di sana, seperti hutan dan kampung leluhur yang jadi tempat sakral mereka.
Selain itu, kata Kristina, geothermal sudah beroperasi di Desa Wapsalit Pulau Buru. “Masyarakat sudah tidak nyaman karena setiap hari ada getaran dari dalam tanah seperti gempa ditambah hutan dan tanaman pangan mereka rusak,” katanya.
Alfarhat Kasman, dari Devisi Kampanye Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) kepada wartawan mengatakan, proyek panas bumi membuat masyarakat sekitar was-was. Berbagai dampak buruk, katanya, berisiko terjadi ketika ada pembangkit panas bumi.
Dia contohkan, pembangkit geothermal ini rakus air hingga perlu banyak air untuk dalam proses produksinya.
Saat beroperasi pun, pembangkit ini bisa menimbulkan bahaya bagi warga. Dia contohkan, PLTP Sorik Marapi di Mandaling Natal, Sumatera Utara, setidaknya tujuh warga meninggal dunia dan ratusan dirawat ke rumah sakit karena keracunan gas.
Belum lagi, katanya, dalam pelaksanaan proyek juga tak melibatkan warga. Alasannya, karena proyek panas bumi ini banyak gunakan tenaga di luar manusia atau alat berat.
“Masyarakat yang dipanggil itu untuk kerja kasar, bangunan. Ada juga cleaning service mungkin. Bukan tenaga inti karena proyek ini pakai tenaga ahli. Sisanya, [bagian] produksi oleh mesin. Warga jangan tertipu.”
Dalam aksi ini, koalisi menyerukan beberapa tuntutan.
- Menuntut KESDM segera menghentikan dulu eksplorasi dan operasi dari proyek-proyek penambangan yang tengah berjalan dan cabut seluruh izin tambang panas bumi di seluruh Indonesia.
- Menuntut KESDM segera evaluasi menyeluruh atas seluruh kejahatan industri tambang panas bumi, serta membuka diri audit publik menyeluruh serta penegakan hukum termasuk tanggung-jawab pemulihan kerusakan.
- Menuntut KESDM dan berbagai asosiasi pertambangan termasuk pertambangan panas bumi berhenti melakukan pemasaran sosial dan operasi media untuk menyebar-luaskan citra bahwa tambang panas-bumi untuk pembangkitan listrik adalah baik, rendah karbon, aman bagi lingkungan. Juga menyejahterakan penduduk wilayah yang diduduki dan diganggu operasi proyek tambang panas bumi.
- Menuntut Kapolri dan Panglima TNI menertibkan anggotanya yang menjadi ‘centeng’ industri tambang panas bumi. Serta memberikan sanksi tegas bagi anggota TNI maupun Polri yang selama ini lakukan kekerasan kepada warga penolak panas bumi.
- Mendesak seluruh lembaga keuangan dan bank, mulai dari World Bank, ADB, KfW, serta organisasi-organisasi konservasi internasional agar mengakhiri dukungannya. Juga menghentikan pendanaan pada proyek-poyek panas bumi di Indonesia.
- Membatalkan UU Panas Bumi yang resmi hendak menyesatkan warga Indonesia dengan menyatakan panas bumi untuk pembangkit listrik tidak termasuk industri pertambangan.
Candra, staf EBTKE KESDM yang menemui pendemo tidak banyak berkomentar. Dia berjanji menindaklanjuti tuntutan para pendemo ke atasannya.
“Semua yang dipertimbangkan tadi sudah kami catat dan akan dipertimbangkan sesuai proses dan prosedur dengan meninjau kebijakan. Semua masukan ini kami masukkan kepada pimpinan,” kata Candra.
Klaim solusi padahal,,,
Sebagai catatan, merujuk penjelasan KESDM, pemerintah menargetkan pengembangan panas bumi satu dasawarsa kedepan (2020-2030) mencapai 8.007,7 MW.
Dengan kapasitas terpasang saat ini, 2.130,7 MW, masih perlu sekitar 177 pengembangan panas bumi dengan kapasitas sekitar 5.877 MW sampai 2030.
KESDM pun sudah menghasilkan peta 356 prospek tambang panas bumi di jalur Cincin Api Indonesia yang justru rentan terhadap risiko kebencanaan. Sekitar 64 sedang eksplorasi.
Melky Nahar, Koordinator Nasional Jatam mengatakan, pengembangan tambang panas bumi selain tak melibatkan warga dalam proses penyusunan, juga terbukti berkali-kali menjadi “ladang kematian” bagi warga maupun pekerja.
Masyarakat Indonesia, katanya, perlu tahu kalau ekstraksi panas bumi terbukti menyebabkan gempa picuan. “Bukan pada tingkat [gempa] yang bisa diabaikan bahayanya, bahkan sampai skala kegempaan di atas tiga.”
Jatam, katanya, sudah memperingatkan lewat riset, dan respons cepat saat gempa dengan mempertanyakan kaitan gempa di sekitar daerah eksploitasi panas bumi.
Melky beberkan, kasus seperti PLTP Sorik Marapi, selain mengancam sumber air, lahan persawahan, dan pemukiman penduduk, juga keselamatan warga.
“Di Mataloko, Flores, operasi PT PLN Geothermal memicu tenggelamnya lahan persawahan, mencemari air, munculnya penyakit kulit, dan amblesan tanah di sekitar pemukiman penduduk.”
Di Gunung Gede Pangrango, pemerintah dan PT Daya Mas Geopatra, anak usaha Sinar Mas, terus jalan dan menciptakan konflik sosial antar di masyarakat, dan gunakan tangan aparat negara untuk menakut-nakuti warga.
Perlawanan warga, katanya, hanya untuk memastikan ruang hidup mereka terjaga, seperti, keutuhan air kehidupan dan menjamin keberlanjutan hutan, maupun tanah tani.
Sedang pemerintah, katanya, dengan seluruh kewenangan, justru memberikan jaminan hukum dan segundang insentif bagi korporasi.
Melalui Undang-undang Panas Bumi, pemerintah mengeluarkan panas bumi dari kategori industri tambang.
“Siasat ini bertujuan agar dua-pertiga sasaran tambang panas bumi di kawasan hutan bisa jadi lahan investasi.”
Pemerintah juga memberikan insentif fiskal berupa tax allowance mencakup kegiatan eksploitasi dan eksplorasi. Insentif tax allowance ini antara lain melalui pengurangan penghasilan neto sebesar 30% dari nilai investasi di dalam bentuk investment allowance.
Waktu pengembangan panas bumi yang sebelumnya perlu 10 tahun dipercepat menjadi lima tahun.
Belum lagi, insentif dalam bentuk tax holiday berupa pengurangan PPh badan untuk bidang usaha pembangkit tenaga listrik berbasis energi terbarukan termasuk panas bumi.
Kontrak pengusahaan panas bumi, dengan pemerintah mendapatkan setoran 34% dari penerimaan bersih pengusaha panas bumi juga dapat insentif berupa pajak penghasilan ditanggung pemerintah.
Sementara itu, kata Melky, warga dan ruang hidupnya yang terancam tambang panas bumi, justru berhadapan dengan ancaman kriminalisasi. Dalam UU itu menyebutkan, setiap orang dilarang menghalangi atau merintangi pengusahaan panas bumi yang sudah memegang izin dan bisa terancam pidana.
“Dari kekerasan negara-korporasi dan jaminan hukum serta insentif untuk industri panas bumi, menempatkan rakyat dan lingkungan memikul risiko sosial dan ekologis dari proses pengembangan panas bumi ini.”
*******
Mau Hidup Tenang, Masyarakat Padarincang Tolak Proyek Geothermal