- Ambisi pemerintah mendorong biodiesel mengandalkan sawit berisiko menghasilkan efek domino ke berbagai sektor dari pangan sampai lingkungan hidup.
- Kini, penerapan kebijakan yang sudah memasuki bauran 35% biodiesel sawit (B35) dan dinilai rawan mengganggu setok pangan maupun keran ekspor bahkan, lebih buruk lagi meningkatnya angka deforestasi. Begitu Begitu setidaknya hasil riset terbaru Traction Energy Asia yang rilis baru-baru ini.
- Ardi Adji, Pengajar dan Peneliti Ekonomi Universitas Indonesia mengatakan, perluasan lahan untuk peningkatan pasokan CPO masih bisa dihindari. Kuncinya, ada pada pemberdayaan petani sawit.
- Bahan baku biodiesel sebenarnya tak hanya sawit. Ada berbagai sumber bahan baku lain yang tidak memerlukan lahan bisa dikembangkan. Salah satunya, minyak jelantah melimpah di masyarakat.
Ambisi pemerintah mendorong biodiesel mengandalkan sawit berisiko menghasilkan efek domino ke berbagai sektor dari pangan sampai lingkungan hidup. Penerapan kebijakan yang kini sudah memasuki bauran 35% biodiesel sawit (B35) ini rawan mengganggu setok pangan maupun keran ekspor bahkan, lebih buruk lagi meningkatnya angka deforestasi.
Begitu setidaknya hasil riset terbaru Traction Energy Asia yang rilis baru-baru ini. Riset ini menyebut Indonesia sudah mengalami defisit produksi minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dalam 2024 atau saat penerapan B35.
”Ini berarti total permintaan CPO – untuk pangan, biodiesel, oleokimia, dan ekspor–melebihi produksi CPO dengan luas lahan seperti 2023,” kata Firmansyah, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Diponegoro dalam peluncuran riset, baru-baru ini.
Pria yang juga tim peneliti kajian ini menyatakan, kondisi ini akan makin parah kalau bauran biodiesel makin meninggi ke depan.
Untuk memenuhi pasokan CPO, pembukaan lahan baru kemungkinan jadi cara untuk pemenuhan biodiesel, pangan dan ekspor. Dalam permodelan kajian ini, bakal ada peningkatan lahan sawit 1,74% per tahun.
“Jika lahan sawit meningkat 1,74% per tahun, semua kebijakan bauran biodiesel B30, B35, dan B40 tidak menyebabkan kelebihan permintaan CPO, termasuk untuk ekspor,” katanya.
Meskipun begitu, katanya, perluasan lahan sawit ini tidak akan bisa mengakomodir kebutuhan B100. Kalau pemerintah tetap memaksa, katanya, maka perlu lahan lebih luas atau pengurangan ekspor.
Penambahan lahan sawit, katanya, tentu akan berdampak pada peningkatan deforestasi. “Ini tentu bertentangan dengan niat pemerintah meredam emisi gas rumah kaca,” katanya.
Tidak hanya itu, kebutuhan CPO terhadap pangan pun akan tertekan kebijakan ini. Untuk itu, perlu perhitungan matang menentukan penerapan kebijakan bauran biodiesel B100.
Tommy Pratama, Executive Director Traction Energy Asia menyebut, dampak dari kenaikan bauran CPO biodiesel yang menekan kebutuhan pangan akan dirasakan masyarakat kelas menengah ke bawah. Kalangan ini, katanya, yang akan merasakan kelangkaan minyak goreng di pasaran.
”Sulit bagi masyarakat berpenghasilan rendah membeli minyak goreng,” kata Tommy.
Tahun 2022, terjadi kenaikan harga minyak goreng karena kelangkaan bahan baku. Dari Rp13.000 per kg, lonjakan harga sampai dua kali lipat, kini masih Rp18.000 per kg.
Satu faktor penyebab kenaikan harga minyak goreng adalah kelangkaan CPO untuk pangan. “Kalau harga naik, orang akan sulit mendapatkan minyak goreng yang sekarang satu dari 9 bahan pokok.”
Dia bilang, industri biodiesel saat ini ditopang pertambahan lahan. Emisi dari praktik ini berkelindan dengan emisi dari pabrik kelapa sawit yang menghasilkan gas metana lebih bahaya dari karbon.
“Lalu pembakaran biodiesel ini pun menghasilkan emisi. Semua praktik ini akan membuat beban emisi menjadi makin tinggi,” katanya.

Berdayakan petani
Ardi Adji, Pengajar dan Peneliti Ekonomi Universitas Indonesia mengatakan, perluasan lahan untuk peningkatan pasokan CPO masih bisa dihindari. Kuncinya, ada pada pemberdayaan petani sawit.
Sekitar 40% lahan sawit dimiliki petani kecil. Hanya saja, produksi mereka baru menyentuh sepertiga dari produksi nasional.
”Satu cara menciptakan produksi sampai 60 juta ton per tahun pada 2045 dengan meningkatkan produktivitas petani,” katanya.
Pemerintah, katanya, mungkin telah melihat masalah ini. Sayangnya, belum ada tindakan tepat untuk memperkuat petani kecil.
“Untuk hindari deforestasi dan tingkatkan produktivitas itu butuh dukungan kebijakan. Di sinilah pekerjaan rumah ke depan.”
Bhima Yudhistira, Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (CELIOS) menilai, ada masalah institusi dalam perbaikan ekosistem perkebunan sawit rakyat. Kebijakan biodiesel juga salah satu penyebabnya.
Insentif biodiesel, katanya, hanya dirasakan perusahaan sawit besar. Padahal, dana sawit Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) awalnya tidak untuk insentif biodiesel.
”Dana yang seharusnya buat peningkatan produktivitas petani kecil justru tidak sebanding dengan besaran insentif biodiesel,” kata Bhima.
Insentif biodiesel memang untuk mengurangi keran impor BBM tetapi makin tidak tepat ketika hanya dinikmati industri skala besar.
Dia menyerukan, perbaikan tata kelola dana sawit. Selama ada insentif biodiesel, katanya, produksi sawit akan selalu terdorong untuk mengejar kebutuhan ini. ”Kembali lagi pada deforestasi dan menguntungkan industri besar saja.”

Banyak sumber lain
Bahan baku biodiesel sebenarnya tak hanya sawit. Ada berbagai sumber bahan baku lain yang tidak memerlukan lahan bisa dikembangkan.
Salah satunya, minyak jelantah melimpah di masyarakat. “Penting mulai pikirkan bahan baku lain yang tidak berbasis lahan. Terutama seperti limbah [minyak jelantah] ini banyak dari perkotaan dan rumah tangga,” kata Tommy.
Dia menyebut, sudah ada rencana pengembangan untuk mengonversi minyak jelantah jadi bioavtur. Dilansir dari Kompascom, Universitas Diponegoro tengah mendorong produk komersil terkait.
“Ini langkah maju yang harus diapresiasi. Kita harus jeli lihat bahan lain yang tidak terkait lahan untuk biodiesel,” kata Tommy.
Bhima benarkan, minyak jelantah sudah banyak dipakai untuk bahan bakar bus sekolah di luar negeri. Dengan mendorong terobosan ini, katanya, pemerintah bisa mengurangi kemungkinan deforestasi dari industri sawit.
”Kalau dibilang masalah ada di oktan atau kerusakan mesin, itu hanya teknologi. Bisa diatasi kalau pemerintah serius.”
Selain itu, memanfaatkan bahan baku lain juga bisa jadi cara agar emisi lahan tidak lagi melonjak. Pemerintah, katanya, harus tegas menunjukkan efisiensi bahan bakar fosil lewat biodiesel dengan emisi sebenarnya dari praktik ini.
Bauran B30-B100, bisa jadi solusi palsu pemerintah yang berujung menguntungkan segelintir orang.
“Efisiensi ini tidak serius karena kita buka lahan terus. Kita bisa berkubang di tempat yang sama.”

********
Orang-orang Berpengaruh di Bisnis Biodiesel, Berdampak ke Subsidi?