- Laporan terbaru menunjukkan International Finance Corporation (IFC) secara tidak langsung turut mendanai proyek PLTU captive seperti industri peleburan nikel di Pulau Obi, Maluku Utara.
- Komitmen 2023 untuk menghentikan pendanaan fasilitas batubara baru tidak mencakup PLTU captive, yang berarti bank multilateral dapat turut membiayai PLTU captive yang berkontribusi pada rantai pasokan mobil listrik/EV dan energi terbarukan tanpa secara teknis melanggar komitmen iklim.
- Pembiayaan ekspansi PLTU “captive” dikhawatirkan akan makin meningkatkan kerentanan terhadap perubahan iklim, yang akan mempercepat pemanasan global.
- Kawasan industri di Pulau Obi telah menyumbang lebih dari 15 persen penggunaan batubara Indonesia, meningkat 33 persen hanya dalam satu tahun antara tahun 2021 dan 2022.
Sebuah laporan terbaru mengungkap bahwa lembaga sektor swasta Bank Dunia, International Finance Corporation (IFC), secara tidak langsung turut membiayai setidaknya satu proyek PLTU captive berbasis batubara di Pulau Obi di Indonesia melalui perantara keuangannya yaitu Hana Bank Indonesia.
Padahal, pembiayaan ekspansi PLTU captive ini dikhawatirkan akan makin meningkatkan kerentanan terhadap perubahan iklim, yang akan mempercepat pemanasan global.
IFC awalnya menginvestasikan USD5 juta pada tahun 2007 untuk mendukung Hana Bank Korea dalam mendirikan anak perusahaan di Indonesia. Kemudian, pada tahun 2019, IFC menginvestasikan USD15,36 juta lagi untuk meningkatkan kepemilikan sahamnya di Hana Bank Indonesia.
Pada bulan April 2022, Hana Bank Indonesia, bersama dengan bank-bank lain seperti DBS Singapura dan UOB Singapura, memberikan total pinjaman berjangka sebesar USD530 juta kepada PT Halmahera Jaya Feronikel (HJF), anak perusahaan produsen nikel, Harita Nickel.
Adapun pinjaman ini digunakan untuk melunasi utang perusahaan dan membangun tahap pertama pabrik peleburan nikel HJF di Pulau Obi, yang dipasok dari enam unit PLTU captive yang masing-masing berkapasitas 150 MW.
Ini berarti bahwa IFC secara tidak langsung membiayai pabrik peleburan dan unit PLTU captive, demikian menurut laporan yang baru-baru ini diterbitkan oleh Recourse, Trend Asia dan Inclusive Development International.
Untuk mengolah nikel, sering kali industri menggunakan PLTU batubara alih-alih menggunakan sumber energi terbarukan, seperti tenaga surya dan angin. Meski demikian, seorang Juru Bicara IFC menyebut Hana Bank Indonesia mengatakan hal ini tidak berarti secara otomatis mereka akan membiayai PLTU, meski telah membiayai proyek industri peleburan nikel.
Namun, karena pengaturan blok pembiayaan yang tidak dibuat terpisah, pengembang dapat menggunakan dana yang dialokasikan untuk peleburan untuk membiayai unit batubara. Sehingga hasilnya sama. Yaitu, pinjaman dari IFC memungkinkan pengembang untuk membangun peleburan sekaligus unit PLTU batubaranya, menurut laporan tersebut.
“Saat ini, Grup Bank Dunia tidak menyadari risiko yang ditimbulkan oleh PLTU captive bagi manusia dan planet ini,” kata Daniel Willis, Juru Kampanye Keuangan di Recourse.
“Ini jadi ironi besar, pembiayaan produksi untuk transisi energi terbarukan, tetapi bank pembangunan multilateral juga membiayai ekspansi PLTU captive yang merusak iklim.”
Perantara keuangan IFC lainnya, OCBC NISP, anak perusahaan dari bank komersial Singapura OCBC di Indonesia, juga telah mendanai proyek penyulingan nikel bertenaga batubara terpisah di Pulau Obi, di wilayah Halmahera Selatan, provinsi Maluku Utara.
Pada tahun 2020, IFC melakukan investasi utang sebesar USD200 juta dalam program obligasi keberlanjutan OCBC NISP, yang terdiri dari obligasi hijau dan gender, yang bertujuan untuk memberi pinjaman kepada proyek-proyek iklim dan UMKM.
Namun, meskipun dana IFC sendiri tidak secara khusus mendukung proyek pengolahan nikel, tetapi investasi tersebut tetap membebaskan dana bagi OCBC NISP untuk berinvestasi di tempat lain dalam portofolio iklimnya, termasuk di pabrik peleburan, demikian disampaikan pada laporan tersebut.
Adanya Celah Kebijakan
Seperti banyak MBD lain yang didanai publik, Bank Dunia berkomitmen untuk menghentikan pendanaan proyek pembangkit listrik tenaga batubara dan mengalihkan dananya ke energi terbarukan dalam upaya mengatasi perubahan iklim.
Bank Dunia dan MDB lainnya seperti Bank Pembangunan Asia (ADB) dan Bank Investasi Infrastruktur Asia (AIIB) juga menerbitkan rencana bersama pada bulan Juni 2023 yang menyetop pendanaan pertambangan batubara maupun PLTU agar selaras dengan tujuan Perjanjian Iklim Paris, yaitu membatasi kenaikan suhu global hingga 1,5°C.
Namun, komitmen bersama ini tidak lebih jauh mencakup unit batubara bagi keperluan industri. Seperti tertera pada dokumen yang sama, MDB menyatakan ‘pembuatan komponen untuk energi terbarukan dianggap selaras dengan kepentingan universal.”
Celah ini memungkinkan MDB seperti Bank Dunia tetap dapat membiayai PLTU batubara yang berkontribusi pada rantai pasokan mobil listrik tanpa secara teknis melanggar komitmen iklimnya.
Hal ini selanjutnya yang dapat menjadi sumber bencana bagi upaya global menghentikan penggunaan batubara, yang menjadi sumber kenaikan suhu global terbesar, sebut David Pred, Direktur Eksekutif Inclusive Development International.
“Tenaga listrik tenaga batubara tetaplah tenaga batubara, apa pun kegunaannya, dan tetaplah menimbulkan dampak bagi manusia dan lingkungan yang sama,” katanya.
Apa itu PLTU Captive?
Dalam beberapa tahun terakhir, para investor di Indonesia telah mengembangkan PLTU ‘captive’ yang bertujuan untuk mendukung proses industri seperti peleburan logam atau produksi semen tanpa harus memasok listrik ke jaringan listrik.
Menurut data Global Energy Monitor, Indonesia akan meningkatkan kapasitas PLTU batubaranya lebih dari dua kali lipat dari 14,2 gigawatt menjadi 32,7 GW jika rencana perluasan pengembang publik dan swasta saat ini dilaksanakan.
Jadi, meski pemerintah telah berkomitmen membatasi emisi batubara dan mengurangi kapasitas batubara yang terhubung ke jaringan listrik dari 40,6 GW pada tahun 2030 menjadi 24,6 GW pada tahun 2045, namun penggunaan batubara di PLTU Captive diperkirakan akan tetap meningkat hingga 2045, sebut laporan tersebut.
Kawasan industri seperti di Pulau Obi sendiri telah menyumbang lebih dari 15 persen penggunaan batubara Indonesia, meningkat 33 persen hanya dalam satu tahun antara tahun 2021 dan 2022.
Perusahaan ini pun telah mendapatkan izin dari pemerintah untuk membangun PLTU meski telah ada moratorium pembangkit listrik berbasis batubara baru yang diumumkan pemerintah pada tahun 2021.
Mengacu peraturan tahun 2022 yang dikeluarkan oleh Presiden Joko Widodo, moratorium batubara memungkinkan pembangunan PLTU captive baru selama itu digunakan untuk memasok listrik ke industri yang akan meningkatkan nilai tambah sumber daya alam seperti pengolahan nikel.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga telah mengkategorikan proyek berbasis batubara yang berkontribusi pada industri transisi rendah karbon, seperti pemrosesan mineral yang digunakan untuk produksi mobil listrik/EV dan energi terbarukan, sebagai bagian proyek investasi berkelanjutan.
Novita Indri, juru kampanye energi di Trend Asia menyebut hal ini harusnya dihindarkan, untuk memenuhi tujuan iklim Perjanjian Paris.
“Proses transisi energi yang masih menyisakan ruang bagi penggunaan batubara tidaklah tepat atau adil,” katanya. “Bertambahnya penggunaan batubara hanya akan membawa kita ke ambang kegagalan pencapaian tujuan Perjanjian Paris, dan memperburuk kerusakan dan penderitaan masyarakat yang tinggal di sekitar proyek.”
Berita ini dilaporkan oleh tim Mongabay Global dan di publikasikan perdana di sini pada tanggal 16 Juli 2024. Diterjemahkan oleh Akita Verselita.
***
Foto spanduk: Pembangkit listrik tenaga batu bara di belakang sekolah di Pulau Obi. Foto: Esa Setiawan/Trend Asia.
Kala Kawasan Industri Nikel Pulau Obi Bertumpu pada Energi Batubara [1]