- Indonesia menjadi pemilik keanekaragaman hayati terbesar di dunia. Salah satunya, dengan adanya Segitiga Karang dunia yang ada di wilayah perairan Timur Indonesia. Kekayaan itu mencakup terumbu karang yang menjadi tempat bergantung ikan untuk bertumbuh
- Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), luas ekosistem terumbu karang di Indonesia mencapai 2,53 juta hektare (ha) pada 2021. Dari jumlah tersebut, terdapat 270,16 ha yang merupakan kawasan konservasi
- Besarnya peran Indonesia pada Segitiga Karang Dunia, kemudian dijadikan salah satu pertimbangan untuk melaksanakan konservasi melalui skema pengalihan utang dengan Amerika Serikat. Kesepakatan itu sudah ditandatangani pada 3 Juli oleh kedua negara dan para pihak terkait
- Area yang menjadi fokus dari kegiatan ini adalah di perairan di kawasan Sunda Kecil, Banda, dan Bentang Laut Kepala Burung. Prioritasnya termasuk melestarikan spesies yang terancam atau endemik secara global yang bergantung pada ekosistem terumbu karang sebagai habitat kritis
Awal Juli 2024, Pemerintah Indonesia bersepakat dengan Amerika Serikat untuk melakukan pengalihan utang untuk perlindungan alam. Kesepakatan itu disahkan dalam sebuah perjanjian bersama yang ditandatangani oleh kedua negara bersama organisasi konservasi.
Perjanjian tersebut disepakati untuk mengalihkan utang senilai USD35 juta menjadi investasi bagi konservasi terumbu karang di Indonesia. Kesepakatan tersebut akan berjalan selama sembilan tahun ke depan atau maksimal hingga 2028.
Rencananya, konservasi terumbu karang akan dilaksanakan di kawasan perairan Bentang Laut Sunda yang memiliki 48 kawasan konservasi perairan dengan luas mencapai 5,6 juta hektare. Upaya tersebut diharapkan bisa melindungi terumbu karang dengan potensi seluas 106 ribu ha.
Kemudian, perjanjian juga mencakup konservasi serupa di area Laut Banda dengan 47 kawasan konservasi perairan seluas 6,3 juta ha dan potensial bisa melindungi terumbu karang dengan luas mencapai 701 ribu ha.
Terakhir, konservasi terumbu karang disepakati untuk dilaksanakan di wilayah perairan sekitar Kepala Burung yang memiliki 17 kawasan konservasi perairan dengan luas 5,1 juta ha. Melalui konservasi, ada potensi terumbu karang bisa terlindungi seluas 253 ribu ha.
Akan tetapi, perjanjian mengalihkan utang untuk perlindungan alam yang sudah disepakati itu, mendapat kritikan dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI). Perjanjian itu dinilai tidak akan memberikan pengurangan utang yang substansial.
“Debt swap juga tidak akan menciptakan ruang fiskal yang cukup bagi negara-negara di belahan dunia selatan untuk mengatasi tantangan pembangunan dan iklim,” ungkap Manajer Kampanye Pesisir, Laut, dan Pulau-pulau Kecil Eksekutif Nasional WALHI Parid Ridwanuddin belum lama ini.
Baca : Memuliakan Terumbu Karang dari Surga Terakhir

Mengutip laporan dari Eurodad berjudul ‘Miracle or Mirage? Are Debt Swaps Really a Silver Bullet’, dia menyebut kalau pengalihan utang tidak akan bisa menutupi cacat yang besar, yakni hilangnya kemauan politik (political will), serta komitmen negara-negara utara dan korporasi multinasional untuk menurunkan emisi, sekaligus mendukung negara-negara selatan dalam menghadapi krisis iklim.
Negara utara yang dimaksud, tidak lain adalah kawasan di Amerika Utara, Eropa Barat, dan negara-negara maju di Asia Timur. Sementara, yang dimaksud dengan negara-negara selatan adalah Afrika, Amerika Latin, dan negara-negara berkembang di Asia, termasuk Timur Tengah.
Di lain sisi, dia mengatakan kalau negara-negara utara sudah membuat negara-negara di selatan harus bergantung pada utang. Sebabnya, karena negara-negara di utara sudah melanggengkan tata kelola ekonomi neo-kolonial yang membuat negara-negara di selatan terjebak dalam kondisi tersebut.
Situasi yang harus dialami negara-negara di selatan itu, disebutkan dalam laporan Eurodad. Sedikitnya, ada 136 negara yang mengalami kondisi tersebut menjelang akhir 2023 lalu, dan dianggap berada dalam situasi utang yang kritis.
Tetapi, di saat yang sama, ruang fiskal telah berkurang di negara-negara yang mengalami kondisi itu. Akibatnya, banyak pihak, termasuk pemerintah, badan-badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan beberapa lembaga swadaya masyarakat (LSM) internasional mencari jalan pintas untuk mengatasinya.
Cara yang banyak dipilih untuk menjadi jalan pintas itu, adalah menunjuk pengalihan utang sebagai solusi inovatif untuk mengatasi masalah utang negara, sekaligus menghasilkan sumber daya untuk Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) atau aksi mengatasi krisis iklim.
Atas nama tersebut, tidak mengherankan jika pertukaran utang semakin mendapat perhatian di forum-forum pembangunan dan iklim internasional. Meski bukan hal yang baru, namun pilihan tersebut semakin berkembang karena ada embel-embel untuk perlindungan alam pada kata pengalihan utang.
Baca juga : Terumbu Karang di Kepulauan Seribu Terancam Punah

Merujuk pada laporan tersebut, kesepakatan pengalihan utang untuk perlindungan alam sudah menjadi pengalaman yang pahit bagi empat negara yang melaksanakannya. Ada Barbados, Belize, Ekuador, dan Gabon yang sudah melaksanakan dengan fokus pada konservasi laut.
Keempat negara tersebut mendapat sebutan masa depan dari pengalihan utang untuk perlindungan alam yang kemudian mendapatkan perhatian luas dari dunia. Tetapi, keempatnya justru merasakan pengalaman yang pahit dan memicu kekhawatiran.
Hal tersebut bisa terjadi, karena pelaksanaan pengalihan utang untuk perlindungan alam di empat negara tersebut berjalan tanpa transparansi, biaya transaksi yang tinggi, keraguan tentang kepemilikan negara, serta partisipasi masyarakat dan masyarakat sipil.
Berdasarkan laporan Eurodad, ada sejumlah kritik atas kesepakatan pengalihan utang yang dilakukan Indonesia saat ini. Parid Ridwanuddin merincinya seperti di bawah ini.
Pertama, debt swap cenderung merupakan instrumen yang lambat, kompleks, dan mahal. Kebijakan tersebut juga cenderung berbiaya transaksi yang tinggi, terutama dalam kaitannya dengan jumlah yang terlibat. Itu mencakup kompleksitas proses, jumlah agen yang terlibat, lama periode negosiasi dan implementasi, serta penggandaan biaya transaksi dan manajemen.
Selain itu, saat jumlah pengalihan utang yang ditangani sudah dinaikkan jumlahnya, biaya transaksi juga ternyata tidak berkurang sama sekali. Itu dialami pada kesepakatan pengalihan utang untuk perlindungan alam yang terjadi saat ini.
Kedua, debt swap dinilai kurang transparan dan akuntabel dan itu menjadi sesuatu yang konstan. Sebagian besar penerapan pengalihan utang untuk perlindungan alam berjalan baru-baru ini, terdapat jumlah, kualitas, dan kelengkapan informasi yang tersedia tidak memadai.
Baca juga : Penyesalan yang Menggerakkan Konservasi Terumbu Karang di Pandanan

Ketiga, partisipasi masyarakat masih kurang saat para pihak terkait memutuskan tentang kesepakatan pengalihan utang, termasuk untuk perlindungan alam. Walau terkadang proses untuk debt swap melibatkan partisipasi warga negara, masyarakat sipil, atau entitas lokal lainnya dari negara pemberi pinjaman dan peminjam, namun ternyata partisipasi tidak selalu terjadi.
Namun walau partisipasi kemudian terjadi, kualitasnya tetap dipertanyakan, karena banyak kasus yang nyaris tidak lebih dari sekadar latihan pengisian centang kotak. Hal lain yang menjadi perhatian adalah kurangnya pemantauan, akuntabilitas, dan evaluasi yang sistematis terhadap dampak dari debt swap.
Saat nature debt swap dilaksanakan di masa lalu, banyak laporan yang menyebut tidak adanya keterlibatan masyarakat adat dan komunitas lokal, bahkan mengarah pada pelanggaran hak-hak mereka. Itu menyebabkan masyarakat mengalami pengucilan, penolakan akses terhadap tanah dan sumber daya tradisional, penggusuran, ekstraksi pengetahuan, dan pelanggaran hak asasi manusia.
Keempat, risiko terjadinya pencucian hijau atau greenwashing yang tidak lain adalah akal-akalan pemerintah yang mengatasnamakan pengelolaan laut demi keberlanjutan. Kesepakatan nature debt swap dinilai akan membuka pintu untuk melakukan greenwashing.
Atas dasar itu, laporan Eurodad itu menyebut bahwa hibah bersyarat iklim, yaitu hibah yang ditujukan untuk proyek atau tujuan iklim, dinilai lebih efisien dibandingkan dengan debt for nature swap. Hal itu, karena panjangnya waktu, kerumitan, dan tingginya biaya transaksi yang dibutuhkan dalam operasi ini.
Baca juga : Kini Ada Demplot Restorasi Terumbu Karang Terapung di Kawasan Konservasi Nusa Penida

Kegagalan
Fakta lain disebutkan Parid Ridwanuddin tentang proyek restorasi dan konservasi yang telah dijalankan dalam kurun waktu 30 tahun pada periode 1990-2020. Selama itu, proyek tidak berhasil memulihkan terumbu karang di Indonesia, dan pemulihan desa-desa pesisir di Kawasan segitiga terumbu karang.
“Artinya, jika mau melanjutkan proyek restorasi dan konservasi terumbu karang dalam sembilan tahun ke depan dengan cara yang sama selama ini, maka akan mengulang kegagalan yang sama,” jelasnya.
Pernyataan dia merujuk pada pernyataan Ahli Ekologi Terumbu Karang dari IPB University Tries Blandine Razak dalam jurnal Marine Policy. Bersama sejumlah ilmuwan, Tries menyebut bahwa sejak 1990 hingga 2020 sudah ada 533 proyek konservasi terumbu karang yang menyebar di 29 provinsi.
Ratusan proyek ini telah menenggelamkan sekitar 120 ribu unit terumbu buatan dan 53 ribu rak transplantasi karang. Ada sekitar 1 juta potongan karang transplantasi yang ditempelkan pada unit-unit tersebut. Proyek tersebut menasbihkan Indonesia sebagai negara pemilik restorasi terumbu karang terbanyak di dunia.
Ilmuwan dari Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK) itu menyebut bahwa mayoritas (sebanyak 205 proyek) restorasi terumbu karang merupakan inisiatif pemerintah. Sementara, sisanya merupakan bagian dari kegiatan perusahaan, universitas, dan LSM.
“Namun, dalam kesimpulan risetnya, ia menyebut bahwa 84 persen proyek restorasi karang Indonesia tak terpantau, bahkan ada yang hancur berantakan,” terang Parid Ridwanuddin.
Data lainnya ada dalam dokumen bertajuk Profil Kerentanan Perubahan Iklim Kawasan Segitiga Karang Indonesia yang diterbitkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada 2021. Berdasarkan dokumen tersebut, terumbu karang Indonesia mencapai luas total luas 50.875 km2, namun 93 persen atau sekitar 39.538 km2 berstatus terancam.
Masih dalam dokumen yang sama, status ekosistem terumbu karang di Indonesia sebanyak 33.82 persen berada dalam kategori buruk, 37.38 persen dalam kategori sedang, 22.38 persen dalam kategori baik, dan 6.42 persen dalam kategori sangat baik.
Baca juga : Cerita Amir, Pengebom Ikan yang Jadi Pelestari Terumbu Karang

Selain itu, dokumen yang sama menyebutkan jika menggunakan skenario kenaikan temperatur maksimum sebesar 2 derajat celcius (ºC), maka setengah dari ekosistem terumbu karang di Indonesia hancur pada 2030. Sementara, wilayah di kawasan Segitiga Karang Indonesia yang termasuk dalam kelas kerentanan tinggi hingga sangat tinggi ada di perairan Papua, Papua Barat, dan Papua Barat Daya.
Tak hanya itu, Parid juga menggarisbawahi agenda konservasi terumbu karang dalam sembilan tahun ke depan, harus berhadapan dengan kontradiksi peraturan perundangan. Pertama adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja yang mengizinkan perubahan kawasan inti konservasi menjadi kawasan eksploitasi, termasuk juga UU No 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
Lalu, ada juga Peraturan Pemerintah No 27 Tahun 2021 tentang Penyelenggaran Bidang Kelautan dan Perikanan, khususnya Pasal 3 sampai 7 yang menyatakan zona inti pada kawasan Konservasi Nasional boleh diubah untuk kepentingan proyek strategis nasional.
Dengan demikian, UU Cipta Kerja dan PP 27/2021 menjelaskan bahwa kawasan konservasi terumbu karang akan dengan mudah bisa diubah untuk berbagai kepentingan proyek strategis nasional, yang didominasi oleh kepentingan ekstraktif dan eksploitatif.
Kemudian, kontradiksi lainnya adalah sebaran proyek reklamasi yang telah, sedang, dan akan dibangun di Indonesia. Saat ini, pada 28 dokumen Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K), diproyeksikan hingga 2040 nanti akan ada proyek reklamasi sedikitnya seluas 3.527.120,17 ha dan 63.763,03 ha proyek tambang pasir laut yang akan dilaksanakan oleh Pemerintah.
“Proyek reklamasi terbukti menghancurkan kawasan terumbu karang,” tegasnya.
Sejalan dengan itu, proyek pertambangan pasir laut yang berjalan saat ini juga akan menghancurkan ekosistem terumbu karang. Pada titik inilah, PP No.26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut harus dicabut.

Komitmen Konservasi Laut
Tentang kesepakatan pengalihan utang untuk perlindungan alam pada terumbu karang di Indonesia, Kuasa Usaha ad Interim (KUAI) Kedutaan Besar Amerika Serikat untuk Indonesia Michael Kleine menyebut bahwa itu menjadi simbol dari kekuatan hubungan bilateral antara kedua negara.
Dengan menghapus utang dan mengalokasikan dananya kembali ke Indonesia, melalui program pengalihan utang untuk perlindungan alam, AS melakukan langkah konkret untuk melindungi terumbu karang Indonesia yang sangat berharga dan mendukung pembangunan yang berkelanjutan.
Sementara, Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Victor Gustaaf Manoppo mengatakan kalau kesepakatan tersebut menjadi bagian dari komitmen Indonesia untuk menjaga terumbu karang dan ekosistem laut yang sehat sebagai bagian dari kebijakan pembangunan nasional.
“Kesepakatan ini membantu memperkuat gagasan bahwa laut yang sehat merupakan kepentingan global dan tanggung jawab bersama. Ini tidak hanya menguntungkan perairan Indonesia dan masyarakat setempat, tetapi juga masyarakat global,” ujar dia.
Selain Kedubes AS dan KKP, penandatangan kesepakatan juga melibatkan Dirjen Pengelolaan Anggaran Keuangan dan Risiko Kementerian Keuangan, Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN), Yayasan Konservasi Cakrawala Indonesia (YKCI), Conservation International, dan The Nature Conservancy.
Agar dana yang dihasilkan dari program pengalihan utang untuk perlindungan alam bisa dikelola dengan baik, sebuah komite pengawas yang terdiri dari perwakilan pemerintah Indonesia dan AS, mitra pertukaran LSM, dan organisasi masyarakat sipil lainnya akan berperan sebagai pengelola.
Adapun, area fokus dari kegiatan ini adalah di perairan di kawasan Sunda Kecil, Banda, dan Bentang Laut Kepala Burung. Prioritasnya termasuk melestarikan spesies yang terancam atau endemik secara global yang bergantung pada ekosistem terumbu karang sebagai habitat kritis.
Lalu, melindungi ekosistem terumbu karang yang terancam atau rentan dengan nilai konservasi tinggi; mendorong pemanfaatan keanekaragaman hayati terumbu karang secara berkelanjutan; dan mengurangi ancaman atau meningkatkan konektivitas antar kawasan terumbu karang.
Selain itu, bertujuan untuk menciptakan kawasan lindung baru jika diperlukan; dan memberikan kontribusi langsung terhadap peningkatan pengelolaan kawasan lindung publik, swasta, kota, atau komunal yang ada, serta target konservasinya. (***)
The Big Build: Upaya Restorasi Terumbu Karang Terbesar Dunia di Bontosua, Pangkep