- Mangrove sangat penting bagi masyarakat Suku Bajo di Desa Torosiaje, Kecamatan Popayato, Kabupaten Pohuwato, Gorontalo. Hutan mangrove merupakan sumber kebutuhan pangan dan bahan obat tradisional mereka.
- Hutan mangrove juga menjadi sabuk hijau yang melindungi Desa Torosiaje dari musim angin kencang atau badai, juga tempat untuk mencari ikan. Selain itu, ada ritual berkaitan menjaga kampung dan warga desa yang dilakukan di hutan mangrove.
- Dalam bahasa lokal, jenis ganganga [Sesuvium portulacastrum] dan dungong [Heritieria littoralis] yang diambil bagian akar, batang, dan daun dijadikan sebagai obat penurun panas dan panas dalam. Selain itu, daunnya juga dimanfaatkan sebagai bedak bagi perempuan.
- Untuk menjaga mangrove di Torosiaje tidak rusak, warga yang tergabung dalam Kelompok Bangkau Mukkar, melakukan patroli dan pemantauan berkala. Bahkan, mereka mencatat setiap kali melihat satwa yang ada di hutan tersebut.
Setiap 9 Agustus, PBB [Perserikatan Bangsa-Bangsa] memperingatinya sebagai Hari Masyarakat Adat Sedunia. Diperkirakan, terdapat 476 juta masyarakat adat di dunia yang hidup tersebar di 90 negara.
Di Indonesia, masyarakat adat tidak hanya terhubung dengan hutan dan daratan. Namun, di pesisir dan pulau-pulau kecil, juga banyak ditinggali masyarakat adat dan masyarakat lokal.
Mereka memiliki relasi dengan alam, salah satunya adalah hutan mangrove. Selain memiliki fungsi ekologis, hutan mangrove juga merupakan tempat memenuhi kebutuhan pangan dan sumber bahan obat tradisional.
Fungsi-fungsi ini dapat ditemui di Desa Torosiaje, Kecamatan Popayato, Kabupaten Pohuwato, Gorontalo, yang dihuni oleh mayoritas Suku Bajo. Hutan mangrove telah menjadi sabuk hijau yang melindungi Desa Torosiaje dari musim angin kencang atau badai, juga tempat untuk mencari ikan. Selain itu, ada ritual berkaitan menjaga kampung dan warga desa yang dilakukan di hutan mangrove.
Baca: Ritual Tolak Bala Suku Bajo Torosiaje: Kearifan Lokal Menolak Bencana
Menurut Jakson Sompah, Ketua Adat Desa Torosiaje, masyarakat Bajo sudah lama memanfaatkan hutan mangrove sebagai bahan obat alternatif untuk mengobati anggota keluarga yang sakit.
“Ada banyak jenis mangrove di hutan mangrove kami yang setiap jenis memiliki nama-nama lokal dari bahasa Bajo,” ungkap Jakson yang pernah menjabat Kepala Desa Torosiaje, awal Agustus 2024.
Jenis-jenis tersebut memiliki fungsi berbeda. Misalkan, dalam bahasa lokal jenis ganganga [Sesuvium portulacastrum] dan dungong [Heritieria littoralis] diambil bagian akar, batang, dan daunnya sebagai obat penurun panas dan panas dalam. Selain itu, daunnya juga dimanfaatkan sebagai bedak bagi perempuan.
“Sementara jenis Rhizophora stylosa dan Rhizophora apiculata, berfungsi sebagai pewarna alami jaring. Jenis lainnya, ada yang dijadikan sebagai olahan kue, sirup, dodol, hingga kerupuk,” ujarnya.
Untuk menjaga mangrove di desa mereka tidak rusak, Jakson dan beberapa warga yang tergabung dalam Kelompok Bangkau Mukkar, melakukan patroli dan pemantauan berkala. Bahkan, mereka mencatat setiap kali melihat satwa yang ada di hutan tersebut.
“Kampung Torosiaje sudah ada sejak 1901. Jadi, sumber daya alam seperti hutan mangrove harus dijaga untuk sekarang dan akan datang,” terangnya.
Baca: Teluk Tomini Kehilangan Mangrove Akibat Alih Fungsi Lahan
Penelitian manfaat mangrove
Pemanfaatan mangrove sebagai bahan obat tradisional juga dilakukan oleh masyarakat pesisir di Papua. Penelitian Mahmud dan Wahyudi [Fakultas Kehutanan, Universitas Papua] berjudul “Pemanfaatan Vegetasi Mangrove sebagai Obat-obatan Tradisional pada Lima Suku di Papua”, menjelaskan bahwa Suku Mandender di Biak, Sough di Bintuni, Inanwaran di Sorong Selatan, Mandori di Numfor, dan Suku Ambay di Manokwari, memanfaatkan mangrove sebagai tanaman obat secara turun temurun.
Berdasarkan riset ini, terdapat tujuh jenis dari lima famili mangrove yang telah dimanfaatkan oleh lima suku di pesisir pantai Papua tersebut, sebagai obat tradisional untuk berbagai gejala penyakit. Sebut saja kudis, malaria, gatal-gatal, sakit gigi, obat nyamuk, pestisida alami, dan penambah stamina [stimulan].
“Mangrove juga dimanfaatkan sebagai obat untuk membersihkan kandungan, merangsang balita untuk cepat pintar berbicara, serta penguat tubuh,” jelas laporan tersebut.
Seperti halnya Suku Bajo di Torosiaje, bagian mangrove yang dimanfaatkan beragam, mulai akar, kulit, daun, dan buah. Pengetahuan tradisional pemanfaatan vegetasi mangrove sebagai obat tradisional tersebut, diperoleh dari pengetahuan turun-temurun dan uji coba.
Baca juga: Kebun Raya Mangrove Surabaya ini Satu-satunya di Indonesia
Penelitian lain tentang potensi daun mangrove sebagai antidiabetes menunjukkan bahwa jenis Rhizopora mucronate memiliki kandungan senyawa alkaloid, flavonoid, tannin dan fenolik.
Saat uji laboratorium, diketahui ekstrak metanol daun Rhizopora mucronate memiliki persentase penurunan kadar glukosa darah lebih besar.
“Kandungan senyawa alkaloid, flavonoid, tannin dan fenolik pada mangrove jenis ini berpotensi sebagai antidiabetes,” tulis peneliti dari Universitas Mulawarman Samarinda.
Isitilah mangrove secara umum digunakan juga untuk menunjuk habitat. Dalam beberapa hal, mangrove digunakan untuk merujuk jenis tumbuhan, termasuk jenis-jenis tumbuhan yang terdapat di pinggiran mangrove seperti formasi Barringtonia dan Pes-caprae.
Indonesia memiliki sekitar 202 jenis tumbuhan mangrove, meliputi 89 jenis pohon, 44 jenis herba tanah, 44 jenis epifit, 19 jenis pemanjat, 5 jenis palma, dan 1 jenis paku.
Dari 202 jenis tersebut, 43 jenis [diantaranya 33 jenis pohon dan beberapa jenis perdu] ditemukan sebagai mangrove sejati [true mangrove]. Di seluruh dunia, berdasarkan penelitian Saenger, dkk [1983] ada sebanyak 60 jenis tumbuhan mangrove sejati. Artinya, berdasarkan Buku Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia, negara kita memiliki keragaman jenis mangrove yang tinggi.