- Hari ini, 9 Agustus, merupakan Hari Masyarakat Adat Internasional. Peringatan tahun ini, PBB tetapkan tema,“Protecting the Rights of Indigenous Peoples in Voluntary Isolation and Initial Contact.” Itu jadi tema besar karena perlindungan hak masyarakat adat jadi masalah di dunia, termasuk di Indonesia.
- Di Indonesia, masyarakat adat yang berlokasi dekat ibukota Jakarta, sampai yang jauh pun, seperti di Halmahera, Maluku Utara mengalami ancaman ruang hidup. Hak pengakuan dan perlindungan masyarakat adat minim, bahkan seakan tak ada.
- Novenia Ambeua, tokoh perempuan adat Tobelo di Halmahera Timur, Maluku Utara, mengatakan, negara menganggap masyarakat adat di Halmahera, yang hidup di hutan-hutan tak pernah ada hingga dengan mudah wilayah-wilayah adat diserahkan kepada investor. Masyarakat adat, hanya jadi tempat menanggung derita dari segala dampak yang muncul, seperti kerusakan lingkungan, pencemaran air, hutan gundul, hingga perkebunan rusak akibat pertambangan.
- Rukka Sombolinggi, Sekjen AMAN mengatakan, selama 10 tahun kepemimpinan Jokowi sebagai masa terkelam masyarakat adat. Harapan sempat muncul di awal kepemimpinan Jokowi dalam Nawacita, tetapi justru terus tergerus menjelang masa akhir jabatan presiden nomor tujuh Indonesia ini.
“Kita gak minta apa-apa dari pemerintah. Kita mau hidup tenang, yang penting jangan diganggu,” kata Eha Suhaeni, tokoh perempuan adat Padarincang, di Kampung Batuceper, Desa Citasuk, Padarincang, di Serang, Banten.
Kini, dia dan Masyarakat Adat Padarincang masih dalam perasaan was-was karena di wilayah adat mereka masuk proyek pembangunan pembangkit listrik panas bumi (PLTPs).
Belasan tahun sudah mereka terus bertahan agar PLTPb tak masuk dalam ruang hidup mereka di Padarincang. Dia khawatir lahan pertanian, maupun perkebunan mereka bakal terganggu.
Belum lagi, dari melihat tragedi tambang panas bumi di daerah lain. Salah satu, seperti di PLTPb Sorik Marapi, Sumatera Utara, masyarakat jadi korban gas beracun sampai meninggal dunia.
Dari masyarakat adat yang berlokasi dekat ibukota Jakarta, sampai yang jauh pun, seperti di Halmahera, Maluku Utara sampai Papua, juga mengalami ancaman ruang hidup. Pengakuan dan perlindungan masyarakat adat minim.
Novenia Ambeua, tokoh perempuan adat Tobelo di Halmahera, Maluku Utara, mengatakan, perlindungan Orang Tobelo sangat minim dan hampir tidak ada dari negara. “Justru pemerintah lebih pro investasi daripada masyarakat adat,” katanya.
Wilayah hidup Orang Tobelo Dalam di Hutan Halmahera, tergerus industri ekstraktif skala besar seperti pertambangan nikel yang muncul beserta kawasan industrinya.
Hutan Ake Jira, misal, sudah jadi konsesi perusahaan tambang nikel.
Dia ingat pengalaman pada 2020 ketika berdemo menghalangi pembuatan jalan perusahaan di Ake Jira. Masyarakat tak ingin hutan mereka jadi jalan perusahaan. Aksi mereka mendapat penjagaan TNI-Polri. Bagi aparat negara, perlindungan kepada perusahaan ini perlu karena masuk proyek strategis nasional.
“Kalau begitu, torang sebagai tuan tanah, sebagai masyarakat ini dianggap apa? Apakah torang tidak memiliki hak yang sama? Karena dorang disana alat vital negara, terus kita masyarakat adat, yang punya hak ulayat tidak dianggap oleh negara, hanya perusahaan yang dilindungi?”
Dalam kondisi ini, hak masyarakat adat benar-benar tak dianggap. Ketika masyarakat adat tak ingin wilayah adat terganggu malah terancam jerat hukum, mereka dituntut meminta maaf kepada perusahaan.
“Ini kan aneh. Bukannya perusahaan yang rampas wilayah kami, kenapa masyarakat harus ajukan permohonan maaf supaya kasus ini tidak dilanjutkan?”
Negara, katanya, menganggap masyarakat adat di Halmahera, yang hidup di hutan-hutan tak pernah ada. “Hingga seenak saja torang pe wilayah-wilayah ini diserahkan kepada investor tambang.”
Masyarakat adat, katanya, hanya jadi tempat menanggung derita dari segala dampak yang muncul. “Torang rasa, masyarakat adat disini cuma jadi tumbal, yang menerima segala dampak. Dampak kerusakan lingkungan, pencemaran air, hutan gundul, hingga perkebunan rusak akibat pertambangan.”
Langkah serius apa yang harus negara lakukan agar hak-hak masyarakat adat terlindungi? “Intinya regulasi. Memberikan kepastian regulasi bagi masyarakat adat,” katanya.
Masyarakat adat di nusantara ini sejak lama menantikan UU khusus yang bisa memberikan pengakuan dan perlindungan bagi masyarakat adat. Rancangan UU Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat, sudah susun sejak era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, hingga dua periode Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak juga ada kejelasan.
Era Jokowi, dia nilai tak ada niat mengesahkan RUU Masyarakat Adat jadi undang-udang. “Tuntutan masyarakat adat sampai saat ini adalah itu, kepastian regulasi. Sahkan RUU Masyarakat Adat.”
Sekarang, urusan masyarakat adat terpecah-pecah di berbagai lembaga.
“Sekarang, tidak ada kepastian hukum baik Undang-undang maupun peraturan daerah, wilayah-wilayah masyarakat adat termasuk di kawasan hutan terus dibongkar.”
Dia tekankan, pemenuhan hak masyarakat adat bukan dengan memberikan sumbangan tetapi kepastian hukum ada perlindungan.
“Kalau tara kepastian hukum, Masyarakat Adat Tobelo Dalam pe wilayah-wilayah akan terus dibongkar. Masyarakat adat tersingkir dari ruang hidupnya.”
Masyarakat adat dari Papua pun memandang sama. Lidia Mentansan, juru bicara Lembaga Musyawarah Adat Malamoi Perwakilan Raja Ampat menilai, masih sedikit wilayah adat di kabupaten dan kota di Papua yang sudah memiliki peraturan daerah pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat.
Untuk wilayah Domberai, Kabupaten Sorong dan Sorong Selatan, sudah punya perda pengakuan masyarakat adat. Di Raja Ampat, sudah ada draf perda tetapi belum ada pengesahan.
Proses ini lambat, katanya, terkendala di Dewan DPRD yang kurang paham tentang perda pengakuan dan perlindungan masyarakat adat.
“Kalau mereka paham tentang hak dasar kita, harus ada hukum untuk melindungi komunitas masyarakat adat dengan wilayah adatnya.”
Meskipun belum ada perda, katanya, tak berarti negara serta merta tak mengakui hak masyarakat adat.
“Negara ada di wilayah hukum adat hingga harus menghargai aturan disitu. Walaupun belum ada perda, tapi pemerintah harus melindungi hak-hak dasar kita di dalam pemerintah provinsi maupun kabupaten.”
Lidia mendesak, pemerintah serius mendorong perda-perda di setiap provinsi dan kabupaten kota untuk pengakuan masyarakat adat.
“Supaya hak dasar masyarakat adat bisa dilindungi negara dan oleh masyarakat adat itu sendiri.”
Di tengah kekosongan perda pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat, pemerintah pusat banyak mencanangkan proyek ‘pembangunan’ di Papua.
Dorthea, periset Yayasan Pusaka Bentala Rakyat menyatakan, ada perbedaan sangat menonjol antara pemerintah dan masyarakat dalam melihat pembangunan. Pemerintah, katanya, melihat orang Papua kurang secara ekonomi hingga adakan proyek pembangunan yang sebenarnya bertentangan dengan konsep pembangunan menurut masyarakat adat.
“Pandangan selalu mengedepankan investasi skala besar dan melihat tanah Papua semata-mata hanya komoditas.”
Ujung-ujungnya, makin banyak izin skala besar diberikan pemerintah kepada korporasi sejajar dengan makin sedikit pengakuan hak wilayah masyarakat adat.
“Ke depan mungkin masih seperti itu.”
Oktober ini, Jokowi akan turun tahta, dan naik Prabowo Subianto sebagai presiden.
Jelang masa akhir jabatan, Jokowi mencanangkan proyek strategis nasioal (PSN) lagi di Papua, dengan proyek perkebunan tebu dan bioetanol sekitar 2 juta hektar di Merauke. Alasannya, pemenuhan gula dan produksi bioetanol.
Proyek ini menjadi ancaman baru bagi masyarakat adat di Merauke. Dua perusahaan swasta yang sudah mendapat izin, kini bergerak cepat masuk ke masyarakat. Perusahaan-perusahaan ini bergerak memberikan kompensasi kepada masyarakat yang dia nilai kecil.
Walau berlabel proyek ‘pembangunan,’ katanya, pemerintah tidak memperhatikan kebutuhan masyarakat. “Kalau dihitung lagi berapa yang hutan bisa sediakan bagi masyarakat adat sepanjang hidup dengan kompensasi yang mereka dapat dari perusahaan, sangat sangat tidak sebanding.”
Indonesia, katanya, juga belum meratifikasi ILO 160 tentang Masyarakat Hukum Adat di Negara-negara Merdeka. Dengan begitu, katanya, sulit memberikan kedaulatan penuh kepada masyarakat untuk mengelola wilayah adat mereka sendiri.
UU Otonomi khusus Papua, yang seharusnya memberikan keleluasaan kepada masyarakat mengatur wilayah adatnya, juga tak pemerintah jalankan.
“Saya berharap pemerintah harus memberikan kedaulatan penuh, mengakui hak-hak masyarakat adat di Papua, serta cabut izin-izin yang merusak,” kata Dorthea.
Pandangan masyarakat adat dari Tano Batak, Sumatera Utara, pun tak jauh beda. Jhontoni Tarihoran, Ketua Pengurus Harian Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak, mengatakan, pengakuan dan perlindungan masyarakat adat di Sumut terbilang minim.
Komunitas adat yang mendapat pengakuan dan perlindungan baru beberapa, seperti, Komunitas Pandumaan-Sipituhuta di Humbang Hasundutan melalui Peraturan Daerah (Perda) No. 03/2019.
Lalu di Tapanuli Utara, lewat Perda No. 04/2021, ada sembilan komunitas adat yaitu, Tornauli Aek Godang, Hutaginjang, Nagasaribu Onan Harbangan, Pansurbatu, Bona Ni Dolok, Sitolu Ompu, Kenegerian Lumbantoruan, Kenegerian Janji Angkola, Simardangiang
Kabupaten Toba juga sudah ada Perda No. 01/2020, tetapi tak ada penetapan komunitas adat.
“Sampai saat ini yang bergabung di AMAN Wilayah Tano Batak mencapai 63 komunitas adat,” katanya.
Perda, katanya, syarat paling krusial agar masyarakat adat mendapat pengakuan. “Masih sulit mendorong perda di tingkat provinsi dan kabupaten. Secara politik kepala daerah dan legislatif belum tentu berpihak ke masyarakat adat, mungkin condong ke investasi. Ditambah lagi Undang-undang belum juga disahkan.”
Soal RUU, katanya, hingga menjelang akhir jabatan Jokowi seperti tidak ada harapan akan ada pengesahan. Padahal, itu sudah jadi janji politiknya lewat Nawacita sekaligus utang.
“Dari awal nawacita sudah jelas, dia akan mengesahkan UU Masyarakat Adat, atau ada satu kebijakan yang mengakui, melindungi hak-hak masyarakat adat, tapi di akhir jabatan ini tidak ada tanda-tanda,” katanya.
Istilahnya, kata Tarihoran, nawacita masih di ‘langit’. “Padahal, sudah disuarakan puluhan tahun oleh masyarakat adat untuk pengesahan RUU Masyarakat Adat,” katanya.
Nasib masyarakat adat makin runyam
Bagaimana kondisi masyarakat adat di nusantara ini secara umum? Rukka Sombolinggi, Sekjen AMAN mengatakan, selama 10 tahun kepemimpinan Jokowi sebagai masa terkelam masyarakat adat.
Dia bilang, harapan sempat muncul di awal kepemimpinan Jokowi dalam Nawacita, tetapi justru terus tergerus menjelang masa akhir jabatan presiden nomor tujuh Indonesia ini.
Ada beberapa faktor yang membuat hidup masyarakat adat jadi makin susah, katanya, antara lain, lahir UU yang kontraproduktif dengan pengakuan dan perlindungan masyarakat adat. Dia sebut, mulai dari UU Cipta Kerja, ampai terbaru revisi UU Konservasi yang menghilangkan semangat padiatapa bagi penetapan wilayah konservasi baru.
“Banyak wilayah konservasi yang beririsan dengan wilayah masyarakat adat,” ucap Rukka saat dihubungi lewat telepon.
Dia juga mengutip studi pada 2022 oleh International Institute for Sustainable Development (IISD). Dalam studi ini menyebutkan, 80% keanekaragaman hayati tersisa di dunia berada di hutan dengan masyarakat adat sebagai penjaganya.
Jadi, ‘semangat palsu’ konservasi justru akan merenggut masyarakat adat dari ruang hidup mereka. Semangat palsu ini juga terdapat dalam perdagangan karbon maupun transisi energi yang menyasar wilayah-wilayah adat di era Jokowi.
Di Maluku Utara, saja, kata Rukka, dari data laporan Transparency International Indonesia (TII) terdapat 2,6 juta hektar konsesi tambang dari keseluruhan 3,2 juta hektar provinsi itu. Beberapa masuk ke dalam wilayah adat O Hangana Manyawa. “Era Jokowi, kepunahan masyarakat adat terjadi atas nama iklim.”
Catatan AMAN, ada 11 juta wilayah adat terampas untuk berbagai proyek selama 10 tahun kepemimpinan Jokowi. Perampasan ini tidak berbanding lurus dengan pengembalian hutan adat oleh pemerintah.
Sejauh ini, kata Rukka, dari 30 juta hektar hutan adat tercatat, baru 250.000-an hektar penetapan. Penyerahan itu pun di awal pemerintahan Jokowi. “Lalu sang presiden menghilang sepanjang periode kepemimpinannya, justru menghabisi lahan-lahan masyarakat adat.”
Kalau pemerintah tak sungguh-sungguh memberikan pengakuan dan perlindungan masyarakat adat, katanya, nasib mereka akan makin terpuruk.
Kasmita Widodo, Kepala Badan Registrasi Wilayah Adat, Kasmita Widodo menyebut tiga hal yang jadi sorotan. Pertama, tidak jalan janji politik terkait perlindungan adat.
“Salah satunya Undang-undang Masyarakat Adat yang dulu dijanjikan oleh Jokowi [tak jalan[,” katanya.
Implikasinya, tidak ada pengakuan signifikan wilayah adat. Besaran pengukuhan hutan adat masih jauh dari apa yang sudah terregistrasi BRWA.
Kedua, kepemimpinan yang tak jelas untuk pengakuan dan perlindungan masyarakat adat di level nasional menular ke daerah.
Menurut dia, produk-produk hukum pengakuan masyarakat adat di daerah lahir dari gerilya komunitas adat dan masyarakat sipil.
Hal ini pun dilakukan dengan berbelit-belit karena nomenklatur tersebar di berbagai kementerian. “Untuk dapat pengakuan butuh perda, lalu urusan hutan adat ada di KLHK, tanah ulayat di Kementerian ATR/BPN, wilayah pesisir di Kementerian Kelautan dan Perikanan. Masing-masing tahap beda dokumen yang perlu kami siapkan,” kata Dodo, sapaan akrabnya.
Ketiga, kebijakan pemerintah kontraproduktif dengan pengakuan dan perlindungan masyarakat adat. Menurut dia, marak proyek dan bisnis berbasis lahan membuat pengakuan sulit diberikan pada masyarakat adat.
Jokowi, katanya, menghindari pengakuan terhadap masyarakat adat karena bisa mengganggu aktivitas investasi dan proyek-proyek yang diusung. “Tidak perlu ahli politik, kita sudah bisa baca masalahnya di sini.”
Karena itu, Dodo tidak heran banyak kasus kriminalisasi dan konflik agraria bertebaran di penjuru negeri karena tidak ada pengakuan bagi masyarakat adat. Wilayah yang sudah memiliki pengakuan pun tidak aman dari perampasan.
Dia contohkan di Malinau. Wilayah masyarakat adat sudah mendapat pengakuan terancam proyek bendungan untuk menyokong pembangkit listrik tenaga air (PLTA) Mentarang.
“Yang sudah ada pengakuan saja bisa diambil. Apalagi yang belum ada pengakuan. Proyek berbasis lahan era Jokowi ini sangat mengancam keberadaan masyarakat adat.”
*****
Ketika Perlindungan Masyarakat Adat Minim, Hutan Belum Ada buat Rakyat