- Banjir bandang setinggi satu sampai dua meter pada penghujung Juli lalu di Halmahera, Maluku Utara, memicu aksi protes dari berbagai kalangan. Mereka menyebut penyebab utama bencana karena operasi pertambangan terutama nikel dengan kawasan-kawasan industrinya. Banjir melumpuhkan dan mengisolasi banyak desa di Halmahera Tengah dan halmahera Timur.
- Jatam lakukan penelitian di Halmahera. Jatam menyebut, banjir itu sebagian dampak dari aktivitas tambang yang mengepung provinsi itu. Dalam laporan berjudul Bencana yang Diundang yang baru rilis Juli lalu, Jatam menyebutkan, ada 127 izin usaha pertambangan (IUP) seluas 655.581,43 hektar dan 12 titik smelter di Malut. Sebanyak 62 IUP itu antara lain tambang nikel seluas 239.737,35 hektar tersebar di Halmahera Timur, Tengah dan Selatan.
- Eksploitasi tambang nikel itu menyebabkan deforestasi meluas di Halmahera. Data GFW mencatat, 2001-2023, Halmahera Tengah kehilangan 27.900 hektar tutupan pohon. Halmahera Timur telah kehilangan 56.300 hektar tutupan pohon dan di Halmahera Selatan 79.000 hektar.
- Melky Nahar, Koordinator Jatam Nasional mengatakan, ruang hidup masyarakat Halmahera kian terhimpit karena aktivitas tambang dan kawasan industri. Hasil produksi dan tangkapan nelayan sudah tidak bisa memenuhi kebutuhan pangan, seperti yang menimpa masyarakat pesisir Kecamatan Weda Tengah dan Weda Utara.
Keranda mayat bertutup kain hitam berukuran 2×3 di depan pagar Kantor PT Weda Bay Industrial Park (IWIP), Kuningan, Jakarta Selatan, pagi itu. “Indonesia Dirty Nickel: Untungkan Pebisnis, Miskinkan Warga.” Begitu bunyi spanduk yang terpampang di sana.
Aksi ini solidaritas yang melibatkan berbagai elemen antara lain, Mahasiswa Halmahera Maluku Utara bersama Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Solidaritas Mahasiswa Melanesia, Enter Nusantara, Front Mahasiswa Nasional (FMN) dan Serikat Pemuda Nusa Tenggara Timur (SP-NTT).
“PT Weda Bay Industrial Park (IWIP) harus bertanggung jawab atas banjir bandang di sejumlah desa di Halmahera Tengah. IWIP harus bertanggung jawab atas berbagai masalah sosial di Halmahera Tengah dan Timur serta masalah penyempitan ruang hidup masyarakat adat di Maluku Utara”, kata Thomas Madilis, Koordinator Aksi Selamatkan Halmahera dalam orasinya awal Agustus lalu.
Banjir di Halmahera, katanya, karena aktivitas tambang, kawasan industri nikel IWIP dan puluhan sub kontraktor di Halmahera Tengah.
Selama ini, kata Thomas, pembongkaran hutan massif oleh perusahaan tambang nikel di Halmahera Tengah dan Timur mengakibatkan kedua daerah jadi langganan banjir.
Terparah akhir juli lalu, katanya, berturut-turut banjir bandang menerjang Weda Tengah dan meluas ke beberapa desa di Weda Utara.
Christina Rumahlatu, perwakilan Solidaritas Mahasiswa Melanesia dalam orasi sedih bercampur marah atas bencana banjir di Halmahera.
Masyarakat di Halmahera, terancam kehilangan identitas karena rekayasa ekonomi terbungkus proyek strategis nasional (PSN). Dampak buruk PSN ini, katanya, pengerukan dan pembabatan hutan habis-habisan.
“Saya mencurigai IWIP ini jangan-jangan mau mengusir kami dari tanah kami sendiri. Kenapa IWIP mau merusak hutan kami? apa salah petani kami? apa dosa nelayan kami?”
Alfarhat Kasman, Juru Kampanye Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) mengatakan, aksi itu bentuk protes dan kekecewaan masyarakat atas banjir di Halmahera Tengah dan Timur, 21-24 Juli lalu.
Banjir setinggi hingga dua meter itu melumpuhkan dan mengisolasi banyak desa, seperti Lelilef Woebulan, Lukulamo, sampai daerah Transmigran Kobe seperti Woekob, Woejerana, dan Kulo Jaya di Weda Tengah.
“Banjir terus meluas ke Sagea hingga Transmigran Waleh di Weda Utara, Halmahera Tengah, yang menyebabkan 1.670 jiwa terpaksa mengungsi,” kata Alfarhat.
Di Halmahera Timur, katanya, juga merendam setidaknya 12 desa. Selain banjir, longsor terjadi di beberapa ruas jalan lintas Buli-Subaim, Buli-Maba Tengah, dan di sepanjang Jalan Uni-Uni, Halmahera Timur.
Di Halmahera Tengah, longsor memutus akses Jalan Trans Pulau Halmahera yang menghubungkan Kelurahan Payahe-Oba di Kota Tidore Kepulauan dengan Weda.
Riset Jatam ungkap berbagai masalah
Sebelum itu, Jatam lakukan penelitian di Halmahera. Jatam menyebut, banjir itu sebagian dampak dari aktivitas tambang yang mengepung provinsi itu.
Dalam laporan berjudul Bencana yang Diundang yang baru rilis Juli lalu, Jatam menyebutkan, ada 127 izin usaha pertambangan (IUP) seluas 655.581,43 hektar dan 12 titik smelter di Malut. Sebanyak 62 IUP itu antara lain tambang nikel seluas 239.737,35 hektar tersebar di Halmahera Timur, Tengah dan Selatan.
Aktivitas tambang mulai dari pembukaan lahan, penambangan, hingga peleburan hasil tambang di smelter menyebabkan penderitaan yang ditanggung masyarakat Maluku Utara.
Tak hanya banjir, tambang juga menyebabkan kemiskinan, masalah kesehatan, pencemaran air dan masyarakat kehilangan pangan. Laporan ini menguatkan, alih-alih mensejahterakan, tambang justru membuat masyarakat sengsara.
Data Badan Pusat Statistik (BPS), kemiskinan di Malut pada 2023 mencapai 6,46% atau sekitar 82.000 warga provinsi ini dalam garis kemiskinan.
“Perubahan yang terjadi tidak berdampak pada kesejahteraan masyarakat seperti selama ini diklaim Jokowi (presiden), apalagi soal ambisinya hilirisasi nikel,” kata Melky Nahar, Koordinator Jatam Nasional saat memaparkan laporan di Jakarta Juli lalu.
Tambang, katanya, jadi mendorong laju deforestasi di Malut. Analisis Global Forest Watch menyebutkan, kurun 20 tahun terakhir (2001-2021), Malut kehilangan 268.000 hektar tutupan pohon setara penurunan 8,7%, atau 206 metrik ton emisi karbondioksida.
Ekspansi perusahaan tambang tak hanya terjadi di darat, juga di perairan dan laut. Di daratan, tambang menyebabkan kerusakan mulai dari pembukaan lahan atau deforestasi, pengerukan bumi, hingga peleburan hasil tambang.
Kerusakan di darat itu pun, katanya, menyebabkan masyarakat tak lagi menghasilkan pangan mandiri. Lahan telah dikavling perusahaan dan hutan jadi areal tambang. Belum lagi, penguasaan daerah aliran sungai dan laut menyebabkan masyarakat tak bisa beraktivitas di kawasan itu.
“Jadi, aktivitas tambang dan kawasan industri di Halmahera tidak dibatasi darat saja, pesisir dan laut, itu ruang hidup bagi nelayan.”
Melky bilang, perusahaan IUP terluas PT Weda Bay Nickel (WBN) 45.065 hektar tersebar di Halmahera Timur, Tengah dan Selatan. Timah dipasok ke smelter PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) di Kecamatan Weda Tengah, Halmahera Tengah.
IWIP merupakan kawasan industri terpadu yang berfokus pada nikel, termasuk pertambangan, pengolah bijih, kilang, dan
produksi baja tahan karat.
Perusahaan ini juga menyediakan ruang bagi penyewa untuk mengolah feronikel, ferrokrom, baja tahan karat, nikel untuk baterai kendaraan listrik, dan pabrik hidrometalurgi.
Selain IWIP, ada tujuh smelter lain di Malut yakni, PT Mega Surya Pertiwi, PT Wanatiara Persada, PT Aneka Tambang, PT Fajar Bhakti Lintas Nusantara, PT Tekindo Energi, PT First Pacific Mining, dan PT Halmahera Persada Lygend.
IWIP beroperasi sejak Agustus 2018 dan jadi proyek strategis nasional (PSN), dan masuk kategori obyek vital nasional.
Lantaran status ini, katanya, IWIP mendapat perlakuan khusus, termasuk percepatan pembebasan lahan dan jaminan terbebas hambatan politik. Hal ini pun menyebabkan eskalasi konflik lahan antara pengembang proyek dan masyarakat lokal/adat, dan kerusakan lingkungan parah.
“Halmahera sebetulnya nyaris tidak punya tempat aman untuk survive (bertahan) [untuk] memenuhi kebutuhan hidup,” kata Melky.
Saat ini, konsesi IWIP sudah terpakai 4.027,67 hektar. Belakang IWIP berencana memperluas kawasan industri 11.489,33 hektar.
Sebelum ada kawasan industri IWIP, katanya, masyarakat Halmahera mengandalkan alam dari meramu, berburu, maupun bertani, melaut, atau menjalani keduanya.
“Pemenuhan pangan mereka mandiri, mengasikan duit dari alam. Sekarang berubah drastis, cengkih, kakao sudah hampir lenyap total. Warga sudah kolaps, tidak mampu lagi memenuhi pangan secara mandiri.”
Pasokan pangan, katanya, terganggu setahun pasca IWIP beroperasi. Tanaman rusak, sebagian warga alih mata pencarian. “Ada yang andalkan kerja di proyek infrastruktur desa, kuli bangunan, ada yang justru mengkavling lahan,” kata Melky.
Eksploitasi tambang nikel itu menyebabkan deforestasi meluas di Halmahera. Data GFW mencatat, 2001-2023, Halmahera Tengah kehilangan 27.900 hektar tutupan pohon. Halmahera Timur telah kehilangan 56.300 hektar tutupan pohon dan di Halmahera Selatan 79.000 hektar.
Bukaan lahan tambang oleh WBN, misal, 2011-2024 tercatat sudah 6.474,46 hektar. Untuk seluruh Halmahera Tengah, bukaan lahan untuk tambang 21.098,24 hektar.
Laju deforestasi itu pun memicu bencana longsor dan banjir. Setidaknya, sejak 2020-2024 terjadi 12 kali banjir besar dengan ketinggian bervariasi hingga dua meter di sekitar kawasan industri IWIP. Banjir pun merusak fasilitas dan menyebabkan warga meninggal.
“Banjir ini sebetulnya kalau kita lihat data tak hanya merendam pemukiman tapi merusak ekosistem segala macam,” kata Melky.
“Banjir merendam pemukiman, sekolah dan mencemari sumur warga, beban ini ditanggung warga, banjir berulang tidak ada upaya penegakkan hukum,” tambah Melky.
Warga yang tinggal di lingkaran area tambang seperti di Halmahera Tengah juga kesulitan mengakses air bersih karena sumber air tercemar.
Jatam pun uji sampel di sejumlah sungai di Halmahera pada Juni 2024. Hasilnya, kandungan nikel total di Sungai Ake Doma mencapai 4,55 mg/L, Sungai Wosia 4,37 mg/L, dan Sungai Kobe 4,84 mg/L. Kadar ini melawati batas maksimum cemaran air sungai menurut Peraturan Pemerintah nomor 22 tahun 2022 yakni 0,5 mg/L.
“Banyak warga ngeluh, rasa air berubah, bau. Hal mudah ukur kualitas air dengan warna dan rasa kalau bau dan berwarna ada yang berubah berarti airnya sudah tercemar,” jelas Melky.
Sebelum ada IWIP, katanya, warga mengandalkan sungai-sungai untuk memenuhi kebutuhan air mereka.
Warga Desa Lelilef Kecamatan, Weda Tengah, Kabupaten Halmahera Tengah harus menggali untuk memperoleh air. Namun, air yang diperoleh asin, kendati tak ada pilihan lain karena keterbatasan ekonomi.
Bagi warga yang secara ekonomi mampu, untuk dapat memperoleh air bersih harus mengeluarkan uang membeli air Rp 15.000 per galon.
“Jadi Halmahera menuju kebangkrutan, air tercemar, mereka terpaksa mengandalkan air galon. Untuk konteks air tadi hampir seluruh warga beralih ke air galon atau isi ulang per galon Rp10.000-Rp15.000. Sebelum IWIP beroperasi mereka memperoleh air alam gratis.”
Sejumlah sungai juga diprivatisasi untuk memenuhi kebutuhan industri seperti sungai Sagea dan Kobe. Warga pun tidak bisa mengakses sungai.
Melky mengatakan, akses air warga bisa makin terbatas menyusul rencana IWIP memperluas pelabuhan untuk menaikkan kapasitas bongkar muat 550.000 DWT ke 1.100.000 DWT, untuk kapasitas 1.650.000 DWT.
IWIP juga memperluas bandara sepanjang 2.500 meter gunakan slag dan Faba sebagai material reklamasi, dengan area seluas 30 hektar.
Perluasan operasi IWIP juga mendorong ekstraksi air baku dari Sungai Sagea sebesar 15.000 m3/hari. Yang sudah berlangsung ekstraksi air 12.000 m3 perhari dari Sungai Kobe, Sake, dan Sungai Wosia.
Perampasan air untuk melayani operasi IWIP, katanya, akan naik jadi 27.000 m3 per hari.
Sebagai perbandingan, kebutuhan air untuk seluruh penduduk Halmahera Tengah pada 2023 untuk sekitar 96.977 orang adalah 10.667,47 m3/hari dengan angka konsumsi 110 L/orang/hari.
Masyarakat juga mengalami masalah kesehatan. Tren Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) meningkat setiap tahun. Di Puskesmas Lelilef. Satu contoh, dengan pelayanan mencakup Desa Kobe, Kulo Jaya, Lelilef Sawai, Lelilef Woebulan, Sawai Itepo, Woejerana, Woekob, dan Desa Lukulamo, kurun 2020, penderita hanya 434, naik jadi 1100 orang pada 2023.
Begitu pula di Puskesmas Sagea angka penderita ISPA terus mengalami peningkatan. Di 2019 penderita ISPA 282 dalam 2023 1.050 kasus.
ISPA, kata Melky, ditengarai dampak PLTU. PLTU beroperasi untuk proses peleburan bahan tambang dan pengoperasian di IWIP. Saat ini, kapasitas PLTU eksisting 6.560 MW dengan rencana penambahan 760 MW, total kapasitas 7.320 MW.
Melky mengatakan, ruang hidup masyarakat Halmahera kian terhimpit karena aktivitas tambang dan kawasan industri. Hasil produksi dan tangkapan nelayan sudah tidak bisa memenuhi kebutuhan pangan, seperti yang menimpa masyarakat pesisir Kecamatan Weda Tengah dan Weda Utara.
“Karena sebagian sudah tidak melaut, mereka beralih ke buruh tambang. Karena IWIP melarang memancing ikan. Pasokan ikan dari sini disuplai dari wilayah lain,” katanya.
Kehadiran perusahaan tambang itu justru mengubah lanskap kawasan. Tutupan mangrove dan lamun maupun terumbu karang membuat ekosistem laut terganggu.
Nyaris ricuh
Hari itu, unjuk rasa ini sempat diwarnai adu mulut antara petugas keamanan IWIP dengan peserta aksi yang mencoba menerobos masuk ke depan Kantor IWIP. Massa kesal karena hampir satu jam berorasi di depan pagar, tidak dihiraukan IWIP. Mereka pun langsung menerobos dan menggeruduk pintu utama Kantor IWIP.
Massa menempelkan lumpur tanah ‘nikel’ pada sejumlah dinding, lantai, hingga jendela Kantor IWIP.
Rosyid, perwakilan IWIP berjanji tuntutan dari para pendemo ditindaklanjuti kepada para pimpinan mereka. IWIP juga akui banjir di Halmahera Tengah karena aktivitas pertambangan nikel.
Staf Divisi Humas ini bilang, IWIP telah berkoordinasi untuk penanganan pasca banjir dengan pengerukan sisa-sisa material lumpur di kali atau sungai. Termasuk di permukiman warga.
IWIP, juga menerima sejumlah poin permintaan dari Penjabat Gubernur Maluku Utara untuk menyelesaikan masalah banjir bandang di Halmahera Tengah.
“Kami dari perwakilan IWIP meminta maaf atas banjir yang terjadi di Halmahera,” kata Rosyid.
Usai aksi di Kantor IWIP, para pengunjuk rasa juga mendatangi Kantor Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), di Manggala Bhakti, Jakarta.
Tuntutan sama juga disampaikan Solidaritas Masyarakat Sipil kepada Menteri Siti Nurbaya agar bertanggung jawab atas banjir di Halmahera Tengah. Banjir terjadi diduga karena sebagian besar hutan di Halmahera Tengah gundul dan rusak karena ekstraksi tambang nikel.
Solidaritas Masyarakat Sipil Peduli Halmahera ini meminta pertanggungjawaban KLHK atas kerusakan ekologis yang mengakibatkan banjir bandang di sana.
Veronika Latbual Nurlatu, perwakilan perempuan Buru Selatan Maluku yang ikut bersolidaritas menyampaikan, kendaraan listrik jadi trend digadang-gadang sebagai energi bersih dan rendah karbon malah jadi penyebab kerusakan lingkungan. Dia bilang, solusi rendah karbon ternyata masalah serius bagi masyarakat Halmahera.
“Hutan dibabat habis tanpa memikirkan keberlanjutan hidup masyarakat adat di Halmahera. Sungai-sungai tercemar karena limbah sedimentasi penambangan nikel adalah dosa yang diwariskan kepada generasi penerus di Halmahera,” ujar Nurlatu.
*******
Banjir Landa Kawasan Industri Nikel Weda, Walhi: Aktivitas Tambang Jadi Penyebabnya