- Delapan orang nelayan Natuna akhirnya kembali ke tanah air setelah ditangkap patroli laut Malaysia April lalu karena diduga melanggar daerah perbatasan.
- Setelah menjalani proses hukum hingga pengadilan hampir 5 bulan, akhirnya nelayan dibebaskan karena tidak terbukti melanggar perbatasan.
- Walhi Indonesia menilai pemerintah Malaysia harus minta maaf, nelayan menjadi korban permasalahan geopolitik perbatasan. Apalagi mengabaikan kesepakatan perbatasan perairan yang pernah dibentuk dua negara.
- Pemprov Kepri mendata sudah 52 nelayan yang ditangkap dituduh melanggar perbatasan Malaysia sejak 2020 lalu. Tidak hanya sosialisasi, pemerintah akan jalin kerjasama industri perikanan dengan Malaysia agar kejadian sama tidak terulang lagi.
Delapan nelayan Natuna yang ditangkap Malaysia April 2024 akhirnya kembali ke tanah air, Sabtu (10/8/24). Meskipun sempat menjalankan masa tahanan hampir 5 bulan di Malaysia, nelayan tradisional ini diputuskan tidak bersalah.
Konsulat Jenderal Republik Indonesia (Kuching) menyebutkan, Mahkamah Sesyen Malaysia di Kuching, Serawak, memutuskan membebaskan delapan nelayan Natuna dari dakwaan memasuki perairan Malaysia tanpa izin.
Keputusan ini setelah jabatan Maritim Negeri Serawak, Agensi Penguatkuasaan Maritim Malaysia (APMM) melalui Jaksa Penuntut Umum (DPP) menyampaikan bahwa mereka tidak ingin melanjutkan dakwaan kepada para nelayan. “Karena tidak ditemukan bukti-bukti yang kuat,” kata Raden Sigit Witjaksono, Konsul Jenderal RI di Kuching dalam siaran pers yang diterima Mongabay, Rabu, (17/07/ 24).
Hakim memutuskan, para nelayan dibebaskan dari segala tuduhan dan diserahkan kepada Indonesia diwakili KJRI di Kuching. “Karena tidak ditemukan bukti ikan tangkapan dalam perahu mereka, dakwaan kemudian diubah menjadi memasuki perairan Malaysia tanpa izin,” katanya.
Sejak pengadilan memutuskan bebas, akhirnya 10 Agustus delapan nelayan dijemput Kapal Bakamla KN Tanjung Datuk. Termasuk, membawa kembali tiga kapal nelayan. Mereka sampai di Natuna Minggu (11/8/24).
Baca : Pemerintah Indonesia Diminta Bebaskan Nelayan Natuna yang Ditangkap Malaysia
Kesepakatan Perbatasan Laut
Kepala Zona Bakamla Barat di Batam Laksamana Pertama (Laksma) Bambang Trijanto mengatakan, salah satu alasan Malaysia membebaskan nelayan Natuna karena sudah ada perjanjian antara kedua negara yang disebut “The Common Guidelines.” Dalam perjanjian itu ada poin bahwa kedua negara sepakat tidak memproses hukum nelayan tradisional yang diduga melakukan pencurian ikan di perbatasan.
Bambang menegaskan, di lokasi nelayan Natuna ditangkap tidak ada lagi tumpah tindih wilayah perbatasan atau daerah abu-abu. “Di titik kejadian itu tidak ada lagi sengketa, itu sudah clear,” katanya.
Indonesia, katanya, sudah pernah menerapkan perjanjian tersebut. Nelayan Malaysia tradisional yang kedapatan mencuri ikan di perairan Indonesia juga dibebaskan. “Ketika itu hanya tiga bulan kita proses, setelah itu dilepaskan, jadi perjanjian itu sudah win win solution,” kata Bambang. Dia bilang, lebih banyak kapal Malaysia yang ditangkap adalah kapal besar.
Terkait lamanya proses penahanan di Malaysia, katanya, penanganan hukum setiap negara berbeda-beda, sehingga delapan nelayan tradisional itu ditahan terlebih dahulu sebelum putus bebas.
Dia tak menampik, masih banyak aparat penegak hukum tidak paham aturan ini, apalagi soal ada perjanjian tidak memproses hukum nelayan tradisional yang ditangkap di laut. “Kita akan terus sosialisasi.”
Tidak hanya rugi dimasa tahanan nelayan, Bambang juga mengatakan, proses penjemputan butuh waktu sehingga pemulangan juga lama. “Saya lebih cenderung mengusulkan ada pertemuan lagi, untuk sosialisasi ini ke semua pihak penegak hukum kedua negara,” katanya.
Disisi lain, katanya, nelayan harus memahami titik koordinat daerah perbatasan agar tidak ditangkap aparat APMM Malaysia.
Baca juga : Nelayan Natuna Disidangkan di Malaysia, Diplomasi Maritim RI Dinilai Lemah
Malaysia Dituntut Permintaan Maaf
Menurut Manajer Pesisir dan Laut Walhi Nasional Parid Ridwanuddin, Pemerintah Malaysia harus meminta maaf kepada nelayan Natuna dan mengganti rugi apa yang hilang selama proses hukum berlangsung. “Berapa banyak biaya ekonomi nelayan yang hilang karena tidak bisa melaut,” katanya.
Ia meminta pemerintah Malaysia tidak bisa semena-mena menangkap nelayan di wilayah perairan yang bukan milik mereka. Apalagi sebagian besar nelayan merupakan tulang punggung keluarga.
“Kalaupun nelayan masuk perairan Malaysia, nelayan tidak bisa ditangkap karena batas laut itu imaginer tidak seperti di darat ada pagar pembatasnya,” katanya.
Penegak hukum diperbatasan harus persuasif, apalagi ada kesepakatan yang disusun Malaysia dan Indonesia, bahwa boleh dilakukan penangkapan di perbatasan jika pelaku kejahatan perdagangan orang atau penyelundupan narkoba. “Itu harus menjadi pegangan,” katanya.
Ia juga mengatakan pemerintah tidak seharusnya menunggu selama ini agar nelayan dibebaskan. Menurutnya seharusnya dilakukan diplomasi langsung setelah kejadian awal terjadi. “Tidak berlarut-larut beberapa bulan seperti ini, kalau lama seperti ini nelayan jadi korban,” katanya.
Kedepan, lanjutnya, menjadi PR bagi pemerintah untuk menjadikan nelayan perbatasan sebagai kelompok masyarakat yang punga fungsi geopolitik Indonesia. “Tidak bisa disamakan dengan nelayan yang bukan di perbatasan,” katanya.
Pemerintah harus mendukung secara ekonomi, ataupun alat tangkap, dan serta pendidikan khusus geopolitik untuk nelayan Natuna. “Mereka harus menjadi ujung tombak penjaga kedaulatan, tidak sama wilayah perairan dalam, nelayan menjadi penjaga kedaulatan terdepan,” katanya.
Baca juga : Divonis 6 Bulan Penjara di Malaysia, KJRI Minta Pemda Perhatikan Nelayan Natuna
Sosialisasi sebagai Solusi Jangka Panjang
Sedangkan Kepala Badan Pengelola Perbatasan Daerah (BPPD) Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) Doli Boniara tidak memperkarakan soal posisi penangkapan nelayan apakah melanggar atau tidak. Namun, menurutnya yang lebih penting menciptakan solusi agar kejadian tidak terulang.
“Meskipun ada kesepakatan (antar negara) tetapi ada pemahaman yang berbeda-beda, makanya kita dorong sosialisasi,” katanya.
Bahasa hukum memang tidak terbukti nelayan tersebut melanggar batas wilayah kata Doli. Tetapi kalau seperti itu logikanya Malaysia melanggar saat menangkap nelayan Natuna karena masuk wilayah Indonesia. “Kalau saya tidak berpikir seperti itu, saya tidak mengatakan, bahwa mereka tidak bersalah, saya berpikir ini sudah kejadian. Kita berterimakasih kepada Malaysia tidak ngotot. Dari surat KKP sudah jelas semua (bahwa nelayan tidak masuk wilayah perairan Malaysia), nelayan harusnya tidak bersalah, Jangan sampai ke pengadilan. Ini kan sampai pengadilan. Kita sudah bayar pengacara dan lain-lain,” katanya.
Beberapa saat setelah kejadian, KKP memang sempat mengirim surat kepada APMM Malaysia, menegaskan bahwa analisa mereka nelayan tidak masuk ke Malaysia saat ditangkap. Namun, kasus delapan orang nelayan ini tetap masuk meja sidang.
Jalin Kerjasama Industri Perikanan
Doli melihat konteksnya, saat ini harus dijalin kerjasama yang lebih kuat antar negara. Melalui Pengurus Kamar Dagang Indonesia (Kadin) pusat sudah berkomunikasi dengan Sarawak Economic Development Corporation (SEDC) untuk bekerjasama dalam industri perikanan.
Saat ini SEDC membutuhkan 1,000 ton ikan dalam sebulan. Direncanakan kebutuhan itu akan dipenuhi nelayan dari Kepri khususnya Natuna, dengan catatan nelayan Serawak ataupun Natuna bebas melaut di perbatasan. “Kita juga akan mencoba, SEDC punya kapal, apakah nanti kru kapalnya adalah orang Natuna, tetapi melaut di perbatasan,” katanya.
Saat ini SEDC akan datang ke Kepri atau Natuna melihat industri ikan di Natuna, setelah itu akan dilanjutkan dengan MoU. “Artinya kita saling membutuhkan, ini bisa jadi cara menghindari tindakan tangkap menangkap, kalau konsep ini berjalan, Insya Allah nelayan ditangkap akan berkurang,” katanya.
Doli memastikan kalau tidak ada solusi dari hulu, kejadian serupa akan terus terjadi. “Kalau ditanya akan terjadi lagi (nelayan ditangkap Malaysia) akan terjadi lagi,” katanya.
Saat ini sosialisasi terus diberikan kepada nelayan terkait perbatasan, termasuk pemerintah sedang menyediakan pekerjaan alternatif untuk nelayan seperti budidaya ikan.
Setidaknya menurut Data Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kepulauan Riau yang dibagikan Doli, sejak 2020 hingga 2024 sudah 52 orang nelayan Kepulauan Riau yang melintas batas ke Malaysia. Dua diantaranya masih menjalani hukuman. Lebih banyak terjadi pada tahun 2024 yaitu 27 kasus. (***)
Nasib Nelayan Natuna: Terusir Dari Laut Sendiri, Ditangkap di Laut Malaysia