- Setiap tahun, bermunculan informasi tentang nasib buruk awak kapal perikanan (AKP) Indonesia di atas kapal perikanan, baik di kapal ikan asing (KIA), namun kapal ikan Indonesia (KII)
- Di antara informasi yang beredar, hampir semuanya menjelaskan tentang ketidakjelasan nasib AKP untuk mendapatkan perlindungan penuh dari Pemerintah Indonesia saat sedang bekerja di atas kapal perikanan
- Tak heran, buruknya nasib AKP membuat mereka kesulitan untuk melindungi diri dan meningkatkan level kesejahteraan. Mereka juga tak jarang menjadi korban kekerasan dan kelicikan dari oknum di atas kapal
- Contoh konkretnya adalah peristiwa terbaru kematian enam orang AKP anak buah kapal (ABK) Kapal Motor (KM) Sri Mariana yang diketahui berasal dari Sibolga, Sumatera Utara. Kapal tersebut sedang ada di Selat Sunda, saat dilakukan operasi penyelamatan
Kesejahteraan dan keamanan masih menjadi permasalahan yang dialami awak kapal perikanan (AKP), baik yang bekerja di kapal ikan asing (KIA), maupun di kapal ikan Indonesia (KII). Profesi tersebut sampai sekarang masih belum mendapatkan kejelasan status berupa perlindungan dari Pemerintah Indonesia.
Bukti masih minimnya perlindungan kepada AKP, adalah kematian enam orang AKP yang bekerja sebagai anak buah kapal (ABK) pada Kapal Motor (KM) Sri Mariana. Kematian tersebut terjadi saat kapal sedang berlayar di tengah laut di perairan Selat Sunda.
Kepolisian Daerah (Polda) Banten yang memproses laporan adanya AKP meninggal dunia, kemudian melakukan inspeksi ke atas kapal. Hasilnya, tak hanya menemukan enam orang yang sudah meninggal dunia, namun juga ada 14 orang ABK dari total 36 orang dalam kondisi sakit.
Perlindungan yang sangat minim, bahkan hampir tidak ada itu, diduga kuat menjadi penyebab terjadinya kematian dan sakit pada AKP. Mereka semua, mengalami kondisi kerja yang tidak layak, dan memenuhi prinsip kesehatan di atas kapal perikanan.
Para AKP tersebut, terindikasi terkena penyakit leptospirosis yang bisa menyebabkan gangguan hati, gangguan pernapasan, hingga meningitis. Gejalanya, bisa terjadi flu, bengkak di kaki dan tangan, dan atau kulit menjadi kuning.
Manajer Hak Asasi Manusia (HAM) DFW Indonesia Miftachul Choir mengatakan kalau penemuan enam mayat AKP di atas kapal perikanan, sudah mencerminkan adanya kebobrokan pada perlindungan terhadap mereka.
“Itu kian membuktikan kerentanan dan minimnya perlindungan terhadap pekerja di kapal perikanan,” ungkapnya melalui pernyataan resmi yang dirilis Minggu (7/8/2024).
Bukti tidak adanya perlindungan, berdasarkan hasil pemeriksaan kondisi kapal dan otopsi oleh Kementerian Kesehatan. Hasilnya, kapal terindikasi memiliki sanitasi dan higienitas yang buruk, bahkan ditemukan adanya tanda-tanda kehidupan tikus di atas kapal.
Menurut Miftachul, penyakit leptospirosis akan muncul jika manusia berkontak langsung dengan hewan yang membawa bakteri tersebut melalui makanan, minuman, atau kulit hewan. Penyakit tersebut adalah bakteri lestopira yang menyebar melalui urine dan darah hewan yang terinfeksi. “Khususnya tikus, sapi, anjing, dan babi,” sebutnya.
Mengutip hasil penelitian yang dilakukan oleh Wasinski dan Dutkiewicz pada 2013, dia mengatakan kalau penyebaran leptospira bisa lebih cepat jika terjadi perpindahan orang dalam jumlah besar. Atau, terjadi peningkatan curah hujan dengan cepat.
Baca : Kisah Para AKP yang Masih Terjebak di Kapal Perikanan Tiongkok
Kejadian Terus Berulang
Tak hanya fakta tersebut, Miftachul Choir menjelaskan bahwa kejadian yang menimpa KM Sri Mariana tersebut menjadi gambaran lebih luas tentang industri perikanan tangkap. Bahwa kejadian itu terulang untuk kesekian kalinya.
Bahkan, sejak 2019 National Fishers Center (NFC) DFW Indonesia sudah menerima 140 aduan dari 393 korban yang mengalami permasalahan terkait keselamatan kerja. Namun naas, dari laporan tersebut, sebanyak 17,9 persen tidak mendapatkan jaminan sosial, meski Perjanjian Kerja Laut (PKL) mewajibkannya.
“Ini kian menunjukkan bahwa pemilik usaha enggan bertanggung jawab atas risiko yang terjadi, mulai dari keberangkatan hingga kepulangan,” jelasnya.
Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan DFW Indonesia, standar hidup layak untuk pekerja pada kapal perikanan Indonesia masih sangat jauh. Hal itu terindikasi dari ketiadaan fasilitas sanitasi, investasi hewan di atas kapal, atau konsumsi pekerja.
Lemahnya perlindungan di atas kapal perikanan Indonesia, menjadi bentuk konsekuensi karena Pemerintah Indonesia tidak kunjung melakukan ratifikasi Konvensi ILO 188 (K-188) tentang Pekerjaan dalam Penangkapan Ikan.
Konvensi yang diterbitkan Organisasi Buruh Internasional Perserikatan Bangsa-bangsa (ILO) tersebut secara khusus mengatur standar pelindungan bagi para pekerja di sektor kelautan. ILO mengesahkan konvensi tersebut pada 14 Juni 2007 di Jenewa, Swiss.
Menurut Miftachul Choir, melaksanakan ratifikasi berarti akan memberikan tanggung jawab kepada pemilik kapal atas kondisi kerja yang layak. Termasuk, dengan memberikan fasilitas dan sumber daya untuk akomodasi dan sarana kesehatan di atas kapal.
Lebih rinci, dia menjelaskan tentang pasal 25-28 K-188 yang berisi mandat kepada pemilik kapal untuk menyediakan ruang yang cukup terhadap AKP, fentilisasi, penghangat dan pendingin ruangan, serta akses terhadap fasilitas sanitasi.
Kemudian, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) pun kemudian menerbitkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 33 Tahun 2021 tentang Log Book Penangkapan Ikan, Pemantauan Di Atas Kapal Penangkap Ikan Dan Kapal Pengangkut Ikan, Inspeksi, Pengujian, Dan Penandaan Kapal Perikanan, Serta Tata Kelola Pengawakan Kapal Perikanan.
Merujuk pada aturan tersebut, KKP akan menerbitkan Sertifikat Kelaikan Kapal Perikanan (SKKP) kepada kapal jika sudah memenuhi persyaratan kelaikan kapal perikanan. Sertifikat juga akan terbit, jika pemeriksaan yang dilakukan atas kesejahteraan awak kapal perikanan juga memenuhi standar layak.
“Itu meliputi fasilitas mencuci, bak mandi atau pancuran air, kamar mandi dan wastafel, ruang makan, dan perlengkapan keselamatan AKP,” ujarnya.
Baca juga : Tanpa Perlindungan Penuh, Nasib Awak Kapal Perikanan Semakin Terpuruk
Namun sayang, Miftachul Choir menyebut kalau SKKP masih belum menjadi kewajiban pemilik kapal untuk melakukan operasi penangkapan ikan. Juga, SKKP tidak terintegrasi dengan Standar Laik Operasi (SLO) yang diterbitkan oleh KKP merujuk kepada sesuai Permen KP Nomor 23 Tahun 2021 tentang Standar Laik Operasi dan Sistem Pemantauan Kapal Perikanan.
SLO sendiri adalah surat keterangan yang menyatakan bahwa kapal perikanan telah memenuhi persyaratan administrasi dan kelayakan teknis untuk melakukan kegiatan perikanan. Sebelum SLO terbit, nakhoda, pemilik kapal perikanan, operator kapal perikanan, atau penanggung jawab perusahaan perikanan yang akan melakukan kegiatan perikanan harus melaporkan rencana keberangkatan kapal perikanan kepada pengawas perikanan.
Belum adanya status wajib pada SKKP untuk kapal perikanan Indonesia, dan ketiadaan integrasi dengan SLO, membuat kapal perikanan yang masih memiliki kondisi kesehatan, sanitasi, dan kondisi tinggal yang buruk, diperbolehkan untuk tetap berangkat berlayar untuk menangkap ikan.
“Hal itu karena tidak adanya pengecekan secara menyeluruh,” tuturnya.
Kewajiban Inspeksi
Tanpa ada kewajiban untuk memeriksa fasilitas kesehatan dan sanitasi setiap keberangkatan, Miftachul menyebut kalau kondisi kapal perikanan hanya dapat diketahui melalui inspeksi pengawas kapal perikanan yang dilakukan oleh KKP dan Kementerian Ketenagakerjaan. Cara itu dilakukan di Bitung, Sulawesi Utara, dan Jakarta pada Juli dan Agustus 2024.
Namun demikian, dia mengingatkan walau inspeksi bersama bisa dilakukan kapan saja dan di mana saja, upaya tersebut nyatanya tidak berlangsung sepanjang tahun. Tetapi, inspeksi bersama hanya sesekali dilakukan dan juga belum ada regulasi yang mengatur secara permanen tentang kewajiban melaksanakan inspeksi kapal perikanan.
Fakta-fakta di atas sudah seharusnya menjadi perhatian khusus bagi Pemerintah Indonesia, karena mulai 1 Januari 2025 akan menjalankan kebijakan prioritas KKP bernama Penangkapan Ikan Terukur (PIT) berbasis kuota yang menjadi bagian dari program besar ekonomi biru.
Selain itu, Pemerintah juga dinilai perlu untuk memberikan perhatian khusus kepada AKP sebagai pihak yang paling bekerja keras untuk bekerja di atas kapal perikanan, dan melakukan penangkapan ikan di dengan kondisi di bawah tekanan, serta kondisi kerja yang buruk.
Agar nasib AKP bisa mendapatkan perhatian dan lebih baik, DFW Indonesia mendorong pemerintah untuk menuntut pertanggungjawaban pemilik KM Sri Mariana atas meninggalnya enam AKP selama melakukan operasi penangkapan.
Kemudian, melakukan investigasi terhadap KM Sri Mariana, nakhoda, dan pemilik kapal untuk menemukan akar permasalahan dari meninggalnya enam orang AKP; mewajibkan inspeksi Kesehatan sebelum beroperasi dan mengintegrasikannya ke dalam SLO.
Lalu, DFW Indonesia juga mendorong pemerintah untuk bisa melakukan percepatan proses proses ratifikasi Konvensi ILO K-188; dan melakukan inspeksi kapal perikanan di seluruh pelabuhan perikanan di Indonesia.
Baca juga : Nasib Buruk Awak Kapal Perikanan di Kapal Perikanan Asing
Desakan Ratifikasi Konvensi ILO K-188
Tahun lalu, Greenpeace Indonesia menerbitkan desakan ratifikasi kepada Pemerintah. Dua pihak yang paling berwenang untuk melaksanakannya, adalah Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) dan Kementerian Luar Negeri (Kemenlu).
Kedua lembaga negara itu ditunjuk, karena mereka sudah menerima mandat dari Negara untuk melaksanakan tata kelola kelautan dan perikanan, serta perlindungan pekerja perikanan, baik lokal dan migran Indonesia.
Peran K-188 dinilai sangat besar untuk memberikan perlindungan ketenagakerjaan selama ini kosong pada bidang perikanan di Indonesia. Namun, sejauh ini aturan tersebut masih dikecualikan dalam konvensi ketenagakerjaan atau maritime labour convention (MLC) 2006.
Juru Kampanye Laut Greenpeace Asia Tenggara Arifsyah Nasution saat itu mengatakan bahwa proses ratifikasi tidak bisa dilakukan buru-buru, namun dilakukan secara bertahap oleh pemerintah dengan proses yang jelas dan tegas.
Sikap itu muncul, karena merujuk pada pengalaman MLC 2006, di mana sudah dilakukan ratifikasi K-188, namun mengecualikan perlindungan pekerja migran Indonesia pelaut perikanan (PMI PP). Ratifikasi dilakukan saat itu dengan berfokus pada pekerja kapal niaga, belum kepada pekerja kapal perikanan.
Inspeksi KM Sri Mariana
Diketahui, KM Sri Mariana memiliki 36 anak AKP, dengan enam orang meninggal dunia dan 14 orang ditemukan sakit. Mereka mendapat perawatan isolasi di Rumah Sakit Krakatau Medika, Cilegon, Banten. Kapal itu berlayar dari Sibolga, Sumatera Utara ke Samudra Hindia sejak Oktober 2023 hingga Juli 2024.
Selain Polda Banten melalui Tim Patroli Direktorat Kepolisian Perairan, Balai Kekarantinaan Kesehatan Pelabuhan Kelas I Banten juga bertindak dengan melakukan disinfeksi kapal tersebut, untuk mengantisipasi leptospirosis.
Namun, Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Biro Humas dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi merespon kejadian tersebut dengan pernyataan bahwa nelayan memang menjadi salah satu kelompok yang rentan terkena leptospirosis.
Melalui keterangan resminya, dia menyebutkan bahwa ada obat yang bisa menyembuhkan penyakit tersebut. Namun, jika tidak dilakukan pengobatan, maka leptospirosis bisa menyebabkan kerusakan pada hati dan menyebabkan kematian.
Setelah Polda Banten menemukan enam orang meninggal dunia dan 16 orang AKP dalam kondisi sakit, KKP kemudian menggelar inspeksi bersama aspek ketenagakerjaan pada kapal perikanan. Inspeksi tersebut menelusuri sistem perekrutan AKP, fasilitas akomodasi dan peralatan keselamatan kerja di kapal perikanan, hingga sistem pengupahan.
Direktur Kapal Perikanan dan Alat Penangkapan Ikan KKP Mochamad Idnillah mengatakan kalau kegiatan inspeksi menggunakan panduan dan daftar periksa yang diadaptasi dari panduan pengawasan ketenagakerjaan yang dikembangkan KKP bersama para pihak terkait. “Untuk meningkatkan kepatuhan pelaku usaha,” ungkapnya.
Baca juga : Hasil Survei: Nasib Pekerja Kapal Perikanan Masih Menyedihkan
Katanya, inspeksi menjadi upaya untuk mendorong dan mempromosikan kondisi kerja yang layak pada kapal perikanan, sekaligus sebagai implementasi dari kesepakatan bersama antara Menteri Kelautan dan Perikanan dengan Menteri Ketenagakerjaan RI yang ditandatangani pada 2022 lalu.
Kegiatan inspeksi yang dilakukan tersebut, mencakup aspek yang menjadi isu strategis untuk memastikan keberhasilan program PIT yang sedang dipersiapkan untuk diimplementasikan secara penuh per 1 Januari 2025. Tegasnya, agar para pelaku usaha bisa memenuhi standar ketenagakerjaan.
Selain KKP, kegiatan inspeksi bersama itu juga dilakukan oleh Kemnaker RI, ILO, dan DFW Indonesia. Menurut Asisten Khusus Menteri KP Bidang Publikasi Program PIT Abdi Suhufan, inspeksi untuk memastikan perlindungan penuh dan kesejahteraan tenaga kerja.
Kemudian, inspeksi juga menjadi bentuk komitmen pemerintah di dunia internasional untuk memastikan bahwa produk perikanan tangkap dari Indonesia adalah terbebas dari kegiatan perbudakan. Selain, tentu saja terbebas dari kegiatan penangkapan ikan ilegal, tidak dilaporkan, dan melanggar regulasi (IUUF).
Walau kegiatan inspeksi bersama menjadi sesuatu yang positif, namun dia menyebut kalau itu adalah kegiatan pertama yang dilakukan pada level nasional. Inspeksi itu diliaksanakan di Pelabuhan Perikanan Samudera (PPS) Nizam Zachman, Rabu (7/8/2024), dan Pelabuhan Perikanan Muara Angke, Jakarta, Kamis (8/8/2024) yang menjadi pusat pendaratan dan distribusi ikan nasional.
“Hampir dua ribuan kapal ada di sini, kita akan benahi dan nantinya bisa menjadi contoh bagi pelabuhan perikanan lainnya di Indonesia. Sebelumnya di tingkat lokal, pemerintah daerah Sulawesi Utara dan Jawa Tengah pernah menginisiasi kegiatan serupa,” jelasnya.
Diketahui, program PIT menitikberatkan pada tiga aspek, yaitu ekonomi, ekologi, dan sosial. Kondisi kerja yang layak pada kapal perikanan menjadi bagian dari pemenuhan aspek sosial dalam program tersebut.
Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono pada berbagai kesempatan sering menegaskan komitmennya dalam memberikan perlindungan dan meningkatkan kualitas tenaga kerja di industri perikanan.
Katanya, PKL menjadi kewajiban yang mutlak dimiliki oleh semua AKP, setiap proses perekrutan tenaga kerja AKP juga tidak boleh asal dilaksanakan. Selain itu, peningkatan kompetensi harus dilakukan untuk memutus rantai perbudakan di kapal perikanan. (***)