- Ikan tuna merupakan komoditas bernilai ekonomi tinggi dalam industri perikanan global, salah satunya Indonesia. Tercatat, Indonesia merupakan salah satu negara penghasil tuna terbesar di dunia, dengan jumlah produksi rata-rata 1,49 juta per tahun dan menyumbang hampir 18 persen untuk kebutuhan tuna dunia.
- Para nelayan menghadapi berbagai tantangan dalam menangkap ikan tuna di lautan lepas, seperti perizinan kapal dan perikanan, waktu berlayar yang sampai 8 bulan, hingga kondisi psikologis para awak kapal karena lamanya berlayar
- Tantangan lainnya adalah kondisi ganasnya lautan dan aktifnya bergeraknya ikan tuna antar samudera sehinga para nelayan kerap kali khawatir kebablasan menangkap ikan jenis pelagis itu hingga ke perairan negara tetangga.
- Menyadari betapa beratnya profesi awak kapal perikanan yang bekerja di lautan membuat banyak pihak berupaya memberikan perlindungan kepada mereka.
Duduk mengenakan topi terbalik, lelaki berkumis tebal itu matanya terus awas memperhatikan sejumlah awak kapal perikanan yang sedang bekerja mengangkat ikan-ikan tuna berukuran jumbo dari palka ke geladak kapal.
Sesekali sosok berpenampilan sederhana itu berdiri membantu memindahkan ikan-ikan yang ukurannya hampir sebanding dengan orang dewasa yang diangkat menggunakan alat katrol.
Dari geladak kapal berukuran 100 GT, para awak kapal perikanan lain terlihat saling gotong royong menggotong ikan tuna beku itu menuju ke kendaraan pick up.
Sebelum akhirnya, ikan bernilai ekonomi tinggi itu diangkut menuju ke pabrik penyimpanan ikan yang jaraknya tidak jauh dari tempat pendaratan kapal perikanan di Pelabuhan Perikanan Samudra Nizam Zachman, Penjaringan, Jakarta Utara, Jakarta.
“Kami menangkap ikan terutama tuna. Untuk mencari ikan tuna ini jauh berlayar sampai ke lintang 9 bujur timur, bawahnya 90. Kalau dilihat di peta itu posisinya di perairan sampai selatan Srilanka,” terang Romli Hamzah (50), salah satu kapten kapal perikanan, saat ditemui pertengahan Juli 2024 lalu.
Pria berkulit sawo matang itu tidak tahu persis di zona Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) berapa ia menangkap ikan bernama latin Thunnini ini.
Meski begitu, ia mengaku dalam menangkap ikan tuna ini tidak bisa sembarangan, harus ada izin ke pemerintah. Bahkan setiap aktivitas dan pergerakan kapal yang dikemudikannya selalu dipantau menggunakan sistem pemantauan kapal perikanan.
“Alat pemantaunya mati saja kena denda. Tak hanya kapal, ikan tuna yang kami tangkap setiap harinya juga harus dilaporkan,” imbuh Romli yang mengomandoi 14 anak buah kapal selama melaut itu.
Sedangkan di laut, waktu yang digunakan untuk menangkap ikan tuna ini juga tidak sebentar, minimal 8 bulan.
Baca : Masih Besarkah Potensi Perikanan Tuna di Indonesia?
Berprinsip sabar dan bijaksana
Bagi pria yang sudah kenyang dengan asam garam kehidupan di laut ini, tidak mudah menjadi pemimpin di atas kapal selama berbulan-bulan berlayar di lautan. Selain bermental tangguh, sikap bijaksana dan sabar juga harus melekat pada dirinya.
Sebab, tidak jarang ia harus mendamaikan sesama awak kapal perikanan yang kadang-kadang saling bersitegang di atas kapal. Ia juga sadar betul bila satu tim itu harus kompak melewati perjalanan hidup yang penuh perjuangan di laut. Apalagi mereka juga sama-sama jauh dari keluarga.
“Untuk menangani ini ya saya bilang bahwa kita ini satu saudara, satu kandung di kapal. Akademi pelayaran belum tentu bisa seperti ini,” candanya. “Saya SD saja tidak lulus. Ada kemauan, ada pengalaman. Ada nasib, ada kepercayaan dari perusahaan,” lanjut Romli yang bekerja untuk perusahaan Kilat Maju Jaya.
Tidak hanya itu, sebagai pemimpin di atas kapal, pria yang pernah tenggelam di laut ini juga mengaku harus memiliki keahlian membetulkan mesin kapal.
Keahlian itu wajib dimiliki, sebab di laut tidak ada bengkel untuk memperbaiki kapal-kapal perikanan yang mengalami kerusakan mesin.
Terlebih, dalam menangkap ikan tuna yang menghabiskan waktu hingga berbulan-bulan itu, ia dan tim seringkali harus menghadapi ombak besar yang disertai angin kencang.
Walaupun sudah dibekali dengan perangkat global positioning system (GPS) dan fish finder, dirinya mengaku masih was-was bila menangkap ikan tuna kebablasan hingga ke perairan negara tetangga. Sebab, ikan tuna merupakan jenis ikan pelagis yang aktif bergerak antar lautan dan samudera.
“Di lautan lepas, yang nelangsa itu ketika kondisi sakit. Jauh dari obat, jauh dari darat. Paling-paling ya pakai obat warungan,” timpal Andi (30), awak kapal perikanan lainnya. Meski begitu, Andi bersyukur karena perusahaan tempat ia dan kru kapal lain berkerja sudah memperhatikan nasib mereka dengan mendaftarkan asuransi nelayan.
Baca juga : Bisakah Perikanan Tuna, Cakalang, dan Tongkol Dikelola dengan Berkelanjutan?
Jaminan perlindungan
Menyadari betapa beratnya profesi nelayan yang bekerja di lautan seperti Romli dan Andi, membuat banyak pihak berupaya memberikan perlindungan terhadap awak kapal perikanan. Para pejuang keluarga itu, harus bisa bekerja di atas kapal perikanan dengan mendapatkan keamanan dan kenyamanan.
Mochamad Idnillah, Direktur Kapal Perikanan dan Alat Penangkapan Ikan Kementerian Perikanan dan Kelautan (KKP) mengatakan, untuk memastikan kondisi kerja awak kapal perikanan yang layak, dirinya bersama sejumlah pihak telah melakukan pemeriksaan kapal perikanan di pelabuhan yang dibangun sejak tahun 1980 itu.
Pengawasan yang dilakukan melingkupi sistem perekrutan awak kapal perikanan, fasilitas akomodasi, peralatan keselamatan kerja di kapal perikanan, dan juga sistem pengupahan.
Untuk meningkatkan kepatuhan pelaku usaha, jelas Idnillah, inspeksi dilakukan dengan menggunakan panduan dan daftar periksa yang diadaptasi dari panduan pengawasan ketenagakerjaan lembaganya dan Kementerian Ketenagakerjaan.
Idnillah bilang, langkah ini dilakukan juga sebagai upaya untuk mendorong dan mempromosikan kondisi kerja yang layak di kapal perikanan.
“Aspek yang diinspeksi ini merupakan isu strategis untuk memastikan keberhasilan program penangkapan ikan terukur yang sedang dipersiapkan untuk diimplementasi secara penuh per 1 Januari 2025,” tandasnya, melalui keterangannya di Jakarta, Jum’at (09/08/2024).
Baca juga : Nelayan Tuna Gorontalo di Tengah Krisis Iklim dan Himpitan Regulasi
Komoditas Bernilai Ekspor Tinggi
Ikan tuna merupakan komoditas bernilai ekonomi tinggi dalam industri perikanan global, salah satunya Indonesia. Tercatat, Indonesia merupakan salah satu negara penghasil tuna terbesar di dunia, dengan jumlah produksi rata-rata 1,49 juta per tahun dan menyumbang hampir 18 persen untuk kebutuhan tuna dunia.
Berdasarkan data dari KKP, volume ekspor sepanjang 2023 terkumpul 213.181.833 kilogram dengan nilai sebesar USD891.899.446. Jika dihitung dengan persentase, maka volume ekspor dari Indonesia berkontribusi 17,57 persen terhadap ekspor tuna tahunan dunia.
“Jadi ini sangat signifikan dan pangsa produksi kita (sekitar) 18 persen terhadap produksi tuna dunia, jadi luar biasa. Adapun, produksi tuna dunia sendiri sekitar 8,3 juta ton per tahunnya,” terang Direktur Pengelolaan Sumber Daya Ikan KKP Ridwan Mulyana, belum lama ini.
Selama ini Indonesia, menghadapi tantangan keberlanjutan akibat penangkapan tuna dari alam yang berlebihan.
Pemerintah Indonesia mengeluarkan rencana pengaturan pengurangan tangkapan tuna tahunan sebesar 10 persen sebagai upaya mempertahankan masa depan perikanan. Hal ini mencermati makin berkurangnya populasi tuna cakalang (Katsuwonus pelamis) dan tuna sirip kuning (Thunnus albacares) yang terjadi.
Di dalam dokumen strategi yang dikeluarkan, secara bertahap Indonesia akan mengurangi volume tangkapan tuna sebesar 10 persen dari tingkat tahun 2021 selama tiga tahun. Rencana implementasi akan dilakukan paling lambat tahun 2026, sebagai bagian kebijakan perikanan berbasis kuota dan zonasi.
Dokumen ini memperluas strategi penangkapan ikan sementara yang telah diterapkan sejak tahun 2018, mencakup, peraturan pengendalian penangkapan ikan dan pemantauan ikan cakalang, sirip kuning, dan tuna mata besar (Thunnus obesus) di wilayah pengelolaan perikanan Indonesia (WPP-RI).
Selain itu, pemerintah menerapkan harvest strategy merupakan inisiatif untuk mencapai manfaat sosial dan ekonomi berkelanjutan dari penangkapan ikan tuna di perairan Indonesia. Tujuan pengelolaannya, memastikan keberlanjutan sumberdaya madidihang (yellowfin tuna), tuna mata besar (bigeye tuna) dan cakalang (skipjack tuna)
Sebagai upaya mewujudkan harvest strategy, Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menjadikan penangkapan ikan terukur (PIT) sebagai satu dari tiga program utama pembangunan perikanan. Kebijakan PIT sendiri akan diberlakukan pada 1 Januari 2025 mendatang. (***)
Upaya Benahi Tata Kelola Perikanan Tuna Lestari di Indonesia