- Nelayan dari seluruh provinsi di Pulau Sulawesi berkumpul di Makassar untuk menjaring masukan dari berbagai pihak, untuk memberikan masukan pada Rencana Pengelolaan Perikanan Gurita yang sedang disusun oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
- Salah satu masalah yang dihadapi nelayan adalah ketergantungan pada ponggawa atau juragan pengepul yang membuat mereka tidak mandiri dengan posisi tawar yang lemah.
- Nelayan gurita di sejumlah daerah telah menerapkan buka-tutup sementara namun terkendala pada lemahnya pengawasannya.
- Nelayan juga mengeluhkan meski telah memiliki kartu nelayan (Kusuka) namun tidak bisa mengakses fasilitas yang dijanjikan, seperti subsidi BBM, asuransi nelayan, dsb.
Nelayan kecil demersal menghadapi banyak tantangan, baik dari kebijakan, tantangan lingkungan, konflik hingga pemasaran. Harus ada upaya menguatkan nelayan, baik dengan pembentukan koperasi dan KUB, pengetatan pengawasan, serta kebijakan pemerintah yang mendukung eksistensi nelayan.
Dalam pertemuan nelayan yang dilaksanakan oleh Sustainable Fisheries Partnership (SFP) di Makassar, Sulawesi Selatan ini, minggu lalu terungkap berbagai permasalahan yang dihadapi nelayan demersal, baik yang diungkap nelayan maupun dari lembaga-lembaga yang selama ini mendampingi nelayan.
Erwin, nelayan dari Pulau Langkai, Kota Makassar, Sulsel, yang juga merupakan ketua Forum Komunikasi Nelayan Kakap dan Kerapu Indonesia (Forkom Narasi), bercerita bahwa salah satu masalah utama yang dihadapi nelayan adalah ketergantungan yang besar kepada juragan atau ponggawa sehingga kadang terjerat utang sehingga posisi tawarnya menjadi lemah. Selain itu, panjangnya mata rantai pasar membuat harga yang diterima nelayan sangat kecil.
“Kami berharap bisa menjual langsung ke kawasan agar dapat harga bagus. Tapi ini susah karena masih banyak nelayan yang ada tunggakan utang pada juragan sehingga tak bisa jual ikan ke tempat lain dengan harga yang lebih bagus.”
Selama ini peran ponggawa atau pengepul ikan lokal memang sangat besar karena ketidakhadiran pemerintah ketika nelayan butuh bantuan yang mendesak. Ponggawa bisa membantu nelayan kapan pun, meskipun ada konsekuensi keterikatan nelayan kepada para ponggawa yang sangat besar.
Salah satu solusi masalah ini, menurut Erwin adalah dengan membentuk koperasi. Koperasi bisa menjadi solusi dengan mengambil peran membantu pelunasan utang nelayan, meski itu harus bertahap.
“Kita melakukan pendekatan ke ponggawa, harus diselesaikan semua tunggakan di ponggawa. Koperasi bisa fasilitasi bagaimana supaya satu persatu utang nelayan bisa dituntaskan, mungkin tidak bisa sekaligus, namun bertahap,” katanya.
Baca : Komite Pengelolaan Perikanan Tangkap Demersal Berkelanjutan Sulsel Terbentuk. Apa Perannya?
Permasalahan Perikanan Gurita
Masalah lain disampaikan oleh Ansar, nelayan dari Kepulauan Selayar, Sulsel. Ia adalah nelayan gurita bersama kelompoknya yang difasilitasi oleh Yayasan Alam Indah Lestari (Lini) telah melakukan program buka-tutup sementara selama 3 bulan.
“Kita sudah bikin program buka-tutup sementara, namun ada masalah di pengawas. Meski kita ada pokmaswas, namun pengawasan hanya bisa dilakukan di siang hari, sementara malam hari susah, sementara nelayan luar ini masuk malam menyelam ambil gurita. Belum lagi lokasi buka-tutup yang jauh dari perkampungan, bahkan ada anggota kelompok sendiri yang nakal panen duluan.”
Ia juga mengeluhkan masalah harga gurita yang murah karena mata rantai pasar gurita yang panjang, dari pengepul kecil, ke pengepul besar di kabupaten, lalu pengepul lebih besar di Makassar.
“Kami berharap nelayan yang tidak punya tunggakan utang di ponggawa bagaimana bisa langsung jual gurita ke Makassar supaya harga bisa naik sedikit.”
Keluhan sama disampaikan Husain Onte, nelayan dari Torosiaje, Gorontalo. Meskipun mereka sudah ada kelompok nelayan gurita, namun mereka kesulitan berkonsolidasi, apalagi dengan nelayan yang bukan anggota kelompok.
“Susah mengatur nelayan, yang diatur dalam kelompok hanya 25 orang, sementara nelayan yang bukan anggota jauh lebih banyak, jadi agak susah. Kita bisa jaga siang hari, tetapi mereka biasa bergerak di malam hari.”
Ia juga menyoroti perilaku nelayan yang hanya produktif ketika harga gurita bagus sementara ketika harga turun aktivitas mereka berkurang, yang berdampak pada konsistensi produktivitas mereka dalam melaut.
Baca juga : Sukses Tingkatkan Produksi Gurita, Nelayan Selayar Kembali Buka-Tutup Kawasan
Pembatasan Nelayan Kecil
Daeng Tasa, nelayan kakap-kerapu dari Galesong, Kabupaten Takalar, mengeluhkan adanya pembatasan bagi nelayan kecil yang hanya bisa melaut di bawah 12 mil. Sementara populasi ikan di bawah 12 mil di daerahnya semakin sedikit dampak adanya tambang pasir laut beberapa tahun silam.
“Kalau aturan ini ditegakkan maka tak ada lagi nelayan yang bisa menyekolahkan anaknya. Nanti kita melaut di jarak 20 mil-27 mil baru bisa dapat hasil. Itu pun harus kita tempuh dengan kondisi angin kencang karena tak ada pilihan lain. Tambah susah sumber penghasilan. Nanti mau makan apa?” katanya.
Risandi Daeng Sitaba, koordinator program Yayasan Lini untuk Banggai Kepulauan, bercerita tentang ruang gerak nelayan di Desa Kalumbatan, Kabupaten Banggai Kepulauan, Sulawesi Tengah semakin terbatas dan harus bersaing dengan nelayan purse seine.
“Di Banggai Kepulauan dan Banggai Laut mereka bersaing dengan nelayan purse seine, ini tidak masuk akal. Zona tangkap purse seine ini sudah masuk ke wilayah saya ukur pakai GPS berada di 9 mil. Kalau dilihat dari aturan itu melanggar sangat dekat dengan wilayah tangkap nelayan kecil. Ini sudah dilaporkan ke DKP (dinas kelautan dan perikanan), tapi selalu jawaban akan segera ditindaklanjuti dan belum ada tindaklanjut sampai sekarang.”
Di Desa Kalumbatan, dengan ruang tangkap nelayan gurita yang sempit justru padat dengan aktivitas nelayan.
“Lokasi tangkap gurita di Kalumbatan itu sempit, kecil, terus dari zona inti ke penangkapan gurita, ikan pelagis dan demersal itu ada ribuan nelayan. Bisa dibayangkan mereka saling dorong-dorong ketika melaut, begitu padatnya sementara lokasi terbatas.”
Dengan situasi ini, lanjutnya, maka potensi konflik yang ada.
“Di situ ada nelayan demersal, kompresor dan bahkan bom ikan. Ini harus dicarikan solusi sebelum ada konflik terbuka antar nelayan. Harus ada pembatasan penggunaan kompresor juga.”
Selain itu, nelayan merasakan memancing gurita sudah jauh, memancing ikan kecil-kecil, dan harga jual harga yang murah.
“Kondisi ini kalau dibiarkan terus maka nelayan di Kalumbatan bukan nelayan lagi, sudah jadi buruh jual batu dari laut.”
Baca juga : Tangkapan Turun Drastis, Nelayan Tuna Maluku Desak Pemerintah Revisi Aturan Melaut Dibawah 12 Mil
Sulitnya Akses Fasilitas Nelayan
Andi Anugrah Putra, Selayar Program Coordinator Yayasan Lini, mengeluhkan masih susahnya akses masyarakat untuk mendapatkan fasilitas yang dijanjikan oleh penyuluh maupun dinas terkait Kartu Pelaku Utama Sektor Kelautan dan Perikanan (Kusuka) di Kabupaten Kepulauan Selayar.
“Kami sudah fasilitasi 38 nelayan di Desa Kahu-kahu untuk dapat Kusuka. Secara teori sudah diinfokan oleh penyuluh dan dinas apa manfaat kartu kusuka ada manfaat Kusuka seperti BBM gratis dan asuransi, namun nelayan merasa tidak mendapat akses untuk mendapatkannya. Tak ada penjelasan pada prosesnya, sehingga nelayan mengeluh bahwa ada kartu tapi tidak tahu cara akses fasilitas itu.”
Menurut Irham Rapy, Co Management Cordinator SFP, kegiatan ini menjaring masukan dari berbagai pihak, maka menjadi krusial bagi nelayan demersal (kakap, kerapu dan gurita) berpartisipasi dalam memberikan masukan pada Rencana Pengelolaan Perikanan Gurita yang sedang disusun oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
“Pertemuan ini juga bertujuan untuk menyediakan media untuk saling berbagi cerita dan pengalaman antara nelayan kakap kerapu dengan nelayan gurita di Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara dan Gorontalo mengenai permasalahan dan pembelajaran yang dihadapi di masing-masing area, serta membangun kesepahaman antara anggota Forkom Narasi mengenai pentingnya berjejaring antar nelayan.”
Pada pertemuan ini para nelayan sepakat membentuk jejaring bersama yang dinamakan ‘Jaringan Nelayan Demersal Nasional’, yang diketuai oleh Erwin, nelayan dari Makassar.
Baca juga : Kolaborasi untuk Pengelolaan Perikanan Tangkap Demersal Berkelanjutan di Sulsel
Pembentukan Komite Perikanan Demersal
Sebelumnya, Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Provinsi Sulawesi Selatan bersama Sustainable Fisheries Partnership Foundation (SFPF), meluncurkan Komite Pengelolaan Perikanan Tangkap Demersal Berkelanjutan Sulawesi Selatan, pada Juli 2024 lalu.
Kepala DKP Sulsel Ilyas mengatakan peluncuran komite ini merupakan upaya nyata dalam mendukung Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Sulsel 2025-2045 tentang pembangunan ekonomi biru di Sulsel.
“Upaya ini untuk menjaga keberlanjutan sumberdaya perikanan Sulsel dalam jangka panjang, serta dapat meningkatkan ekonomi dan taraf hidup nelayan tradisional Sulsel,” tambahnya.
Pembentukan komite itu menandai inisiatif strategis menuju perbaikan praktik pengelolaan. Bertujuan agar perikanan yang berkelanjutan di Sulsel bisa dikelola secara kolaboratif, di mana semua unsur-unsur yang berkepentingan di dalam pengelolaan perikanan ini ikut jadi bagiannya, seperti nelayan, pemerintah sebagai pengambil kebijakan, industri, dan mitra-mitra pendamping.
Sebelumnya, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sedang menyusun Rencana Pengelolaan Perikanan (RPP) Gurita untuk mendorong perbaikan tata kelola perikanan gurita sehingga tercipta praktik pengelolaan perikanan berkelanjutan.
Salah satu langkah yang ditempuh adalah dengan menggelar Lokakarya Penyusunan Isu Prioritas, Tujuan dan Sasaran Rencana Pengelolaan Perikanan (RPP) Gurita oleh Dirtjen Perikanan Tangkap (DJPT) KKP bersama Yayasan Pesisir Lestari (YPL), Marine Stewardship Council (MSC) dan Sustainable Fisheries Partnership (SFP) pada November 2023 lalu.
“Kami berharap dari dokumen RPP ini dapat mempertahankan dan memastikan keberlanjutan usaha perikanan gurita, baik dari segi sumber daya, ekologi, dan sosial-ekonomi, dan dapat merintis langkah-langkah positif untuk pengelolaan perikanan gurita yang lebih baik di masa mendatang,” kata Aris Budiarto, Kapokja Pemantauan dan Analisis Pengelolaan dan Alokasi SDI DJPT KKP dalam acara itu dikutip dari Antaranews. (***)
Kajian Seksama Penting untuk Keberlanjutan Perikanan Demersal Indonesia