- Masyarakat adat di Pulau Bangka, punya beragam kisah luar biasa bagaimana mereka melawan penjajah. Terutama, para dukun yang meng-ampak tanah sehingga Belanda batal melakukan penambangan.
- Hutan lebat yang dulunya mendominasi Pulau Bangka, juga difungsikan juga oleh masyarakat adat sebagai benteng atau tempat bergerilya melawan penjajah. Sebagian besar hutan ini merupakan wilayah larangan dan masih bertahan hingga sekarang.
- Bagi masyarakat adat dan masyarakat dunia, hutan berstatus juga sebagai pelindung. Kelestarian wilayah ini, menjamin keamanan beragam makhluk hidup dari ancaman bencana iklim yang meluas.
- Ironinya, sebagian besar masyarakat adat masih bergulat dengan konflik karena tanah adat mereka menjadi target pembangunan dan industri ektsraktif. Hal ini diiringi dengan target ambisius pemerintah dunia untuk mewujudkan transisi energi.
Jauh sebelum Indonesia merdeka, banyak kisah perjuangan luar biasa masyarakat adat di Nusantara melawan penjajah. Mereka berjuang dengan cara mereka sendiri.
Di Pulau Bangka, Atok Saem, Ketua Adat di Desa Serdang, Kabupaten Bangka Selatan, mengisahkan bagaimana para dukun melakukan ampak atau menghilangkan kadar timah di kampung mereka.
Saat itu, tersebar informasi akan ada orang Belanda melakukan penambangan timah di Desa Serdang. Lalu, para dukun bersepakat untuk meng-ampak tanah tersebut dengan menanam sebuah pohon.
“Saat Belanda datang ke lokasi, mereka tidak menemukan timah. Alhasil, mereka pulang dan membatalkan niat untuk menambang. Hingga saat ini, Desa Serdang masih terhindar dari aktivitas penambangan timah,” kata Atok Saem [84], kepada Mongabay Indonesia, awal 2024 lalu.
Di pesisir timur Pulau Bangka, kisah perlawanan datang dari wilayah Tanjung Berikat. Di masa perang kemerdekaan, Tanjung Berikat merupakan lokasi perang yang menyebabkan kekalahan pihak Belanda.
“Malam hari, terdengar suara puluhan meriam dari bukit yang menyerang kapal-kapal Belanda. Saat itu, diperkirakan ada ratusan orang ikut berperang,” kata Atok Supri, tokoh masyarakat di Dusun Tanjung Berikat.
“Banyak kapal hancur dan tentara Belanda mati karena perlawanan masyarakat” katanya.
Selain itu, hutan lebat yang dahulu masih mendominasi Pulau Bangka, sering dijadikan masyarakat lokal sebagai tempat gerilya melawan Belanda. Sebagian besar hutan tersebut merupakan wilayah larangan, biasanya berwujud sebuah bukit dan masih bertahan hingga sekarang.
Baca: Resam dan Wik Peledes, Tumbuhan Istimewa Suku Mapur
Atok Sukar, Ketua Adat Suku Mapur di Dusun Pejem, menceritakan tentang hutan tersisa Suku Mapur, yaitu hutan larangan Bukit Tabun yang dulunya tempat persembunyian Suku Mapur.
Hingga saat ini, masih tersisa sekitar tujuh rumah milik Suku Mapur yang menetap di sekitar hutan larangan Bukit Tabun.
“Banyak keluarga kami [Suku Mapur] bersembunyi di kawasan hutan larangan. Hutan menjaga kami sepanjang waktu, bahkan dari Belanda. Alam dan leluhur menjaga kami dari berbagai ancaman,” katanya.
Di Teluk Kelabat [bagian utara Pulau Bangka], hamparan hutan mangrove yang rapat dan menjulang tinggi, menjadi benteng bagi masyarakat sekitar untuk bersembunyi dari Belanda yang datang dari arah laut.
“Dulu, hutan bakau di sini tinggi dan lebat, menutupi pemukiman dari pandangan kapal-kapal Belanda yang datang dari arah laut. Bahkan, masyarakat yang tinggal di sekitar Gunung Maras, memilih turun menuju Teluk Kelabat untuk berlindung,” kata Mang Yon, tokoh masyarakat di Desa Pusuk, Teluk Kelabat Dalam.
Rukka Sombolinggi, Sekretaris Jenderal Aliansi Masyarakat Adat Nusantara [AMAN], pernah menceritakan sosok kakeknya yang meninggal sebagai veteran.
“Buku-buku sejarah mungkin tidak sebutkan soal masyarakat adat yang ikut perang mengusir kolonialisme, namun ada ratusan ribu yang mati,” katanya, dikutip dari The Conversation.
Baca: Nujuh Jerami dan Upaya Pengakuan Wilayah Adat Suku Mapur di Air Abik
Hutan sebagai pelindung masyarakat adat
Bagi masyarakat adat bahkan masyarakat dunia, hutan masih berstatus sebagai pelindung. Bukan untuk menghindari para penjajah [kolonialisme], tetapi menjaga kita dari berbagai ancaman bencana iklim yang kian meluas.
“Masih seperti dulu, tidak ada yang berubah. Hutan melindungi kami dari kekeringan, longsor, hingga penyakit,” kata Asih Harmoko, Ketua Lembaga Adat Suku Mapur di Dusun Air Abik.
Dijelaskan dalam penelitian O’Bryan dan kolega [2021], sekitar 24 persen karbon global yang tersimpan di atas tanah di hutan tropis dunia [54,5 juta metrik ton karbon (MtC)], diperkirakan dikelola masyarakat adat dan komunitas lokal.
Masyarakat adat juga memiliki hak penguasaan atas sedikitnya 38 juta km2 lahan di 87 negara, atau wilayah yang secara politik berbeda di semua benua berpenghuni, menurut pemetaan geospasial yang dilakukan Garnett dan kolega [2018].
Luasan ini setara dengan seperempat tanah bumi. Ini termasuk 40 persen dari semua kawasan lindung daratan dan lanskap yang utuh secara ekologis [misalnya, hutan primer boreal dan tropis, sabana, dan rawa].
“Hasil kami menambah bukti yang berkembang bahwa mengakui hak masyarakat adat atas tanah, pembagian manfaat, dan lembaga sangat penting untuk memenuhi tujuan konservasi lokal dan global,” tulis penelitian tersebut.
Masih riset yang sama, tanah masyarakat adat juga menjadi tempat perlindungan bagi 71 persen spesies primata. Dengan kata lain, kepunahan massal primata dapat dicegah, jika kita menghormati dan mendukung keanekaragaman hayati dan upaya masyarakat adat untuk mempertahankan bahasa mereka, ikatan budaya, dan simbolik dengan tanah dan perairan mereka.
“Masyarakat adat harus didukung dalam upaya mereka melindungi tanah dari tuntutan yang tidak berkelanjutan dari perusahaan multinasional, negara konsumen, dan pemerintah nasional yang lebih menyukai keuntungan ekonomi jangka pendek ketimbang hak asasi manusia, keanekaragaman hayati, dan kesehatan lingkungan,” lanjutnya.
Baca juga: Berharap Negara Kembalikan “Jantung” Suku Mapur
Hutan masyarakat adat jadi target indutri ekstraktif
Ironinya, saat ini, masyarakat adat dan tanah mereka, seolah tidak pernah lepas dari ancaman kolonialisme karena terus menjadi target pembangunan dan industri ekstraktif.
Penelitian Scheidel dan kolega [2023] yang menganalisis 3.081 konflik lingkungan atas proyek-proyek pembangunan di seluruh dunia, berhasil memberikan gambaran sangat mengkhawatirkan tentang dampak pembangunan ekstraktif dan industri terhadap masyarakat adat di seluruh dunia.
Masyarakat adat terkena dampak, sekitar 34 persen dari semua konflik lingkungan yang terdokumentasi. Lebih dari tiga perempat dari konflik ini, disebabkan oleh pertambangan, bahan bakar fosil, proyek bendungan, serta sektor pertanian, kehutanan, perikanan, dan peternakan [AFFL].
Hilangnya bentang alam [56 persen kasus], hilangnya mata pencaharian [52 persen], dan perampasan tanah [50 persen] dilaporkan paling sering terjadi secara global dan secara signifikan lebih sering terjadi di sektor AFFL.
“Beban yang dihasilkan membahayakan hak-hak masyarakat adat dan menghambat terwujudnya keadilan lingkungan global,” tulis penelitian tersebut.
Selain itu, target transisi energi global yang ambisus turut mengancam kehidupan masyarakat adat, menurut penelitian Owen dan kolega [2023]. Perkiraan saat ini, setidaknya 30 jenis mineral dan logam transisi energi [ETM/Energy Transition Minerals and Metals] membentuk basis material untuk transisi energi.
Analisis penelitian tersebut mengungkapkan, lebih dari separuh [54 persen] basis sumber daya ETM [5.097 proyek ETM] terletak di atau dekat tanah masyarakat adat dan petani.
“Berdasarkan temuan ini, lebih dari sepertiga proyek ETM di atau dekat tanah masyarakat adat atau petani menghadapi risiko air, konflik [lokal dan nasional] dan kondisi ketahanan pangan yang suboptimal [rendah],” tulis penelitian tersebut.
Di Indonesia, ancaman dari industri ekstraktif terhadap masyarakat adat terus bergulir. AMAN mencatat, sepanjang 2023 terdapat sekitar 2.578.073 hektar wilayah adat yang dirampas atas nama investasi.
Perampasan ini disertasi tindakan kekerasan dan kriminalisasi yang menyebabkan 247 orang korban dan kurang lebih 100 rumah masyarakat adat dihancurkan karena dianggap mendiami kawasan konservasi negara.
Terus berjuang
Sebagai informasi, hingga tahun 2023, Pemerintah Indonesia telah menetapkan sekitar 244.195 hektar hutan adat yang tersebar di 18 provinsi. Namun, pada tahun yang sama, Badan Registrasi Wilayah Adat [BRWA] telah meregistrasi 1.336 peta wilayah adat dengan luas mencapai sekitar 26,9 juta hektar.
Dengan kata lain, sebagian besar masyarakat adat, khususnya di Indonesia, masih terus berjuang menghadapi kolonialisme baru. Mereka menanti penetapan hutan mereka, agar bisa “merdeka” di tanah mereka sendiri.
Selamat Hari Kemerdekaan Indonesia ke-79. Merdeka!
Referensi:
Garnett, S. T., Burgess, N. D., Fa, J. E., Fernández-Llamazares, Á., Molnár, Z., Robinson, C. J., Watson, J. E. M., Zander, K. K., Austin, B., Brondizio, E. S., Collier, N. F., Duncan, T., Ellis, E., Geyle, H., Jackson, M. V., Jonas, H., Malmer, P., McGowan, B., Sivongxay, A., & Leiper, I. (2018). A spatial overview of the global importance of Indigenous lands for conservation. Nature Sustainability, 1(7), 369–374. https://doi.org/10.1038/s41893-018-0100-6
O’Bryan, C. J., Garnett, S. T., Fa, J. E., Leiper, I., Rehbein, J. A., Fernández‐Llamazares, Á., Jackson, M. V, Jonas, H. D., Brondizio, E. S., & Burgess, N. D. (2021). The importance of Indigenous Peoples’ lands for the conservation of terrestrial mammals. Conservation Biology, 35(3), 1002–1008.
Owen, J. R., Kemp, D., Lechner, A. M., Harris, J., Zhang, R., & Lèbre, É. (2023). Energy transition minerals and their intersection with land-connected peoples. Nature Sustainability, 6(2), 203–211. https://doi.org/10.1038/s41893-022-00994-6
Scheidel, A., Fernández-Llamazares, Á., Bara, A. H., Bene, D. Del, David-Chavez, D. M., Fanari, E., Garba, I., Hanaček, K., Liu, J., Martínez-Alier, J., Navas, G., Reyes-García, V., Roy, B., Temper, L., Aye Thiri, M., Tran, D., Walter, M., & Whyte, K. P. (2023). Global impacts of extractive and industrial development projects on Indigenous Peoples’ lifeways, lands, and rights. Science Advances, 9(23), eade9557. https://doi.org/10.1126/sciadv.ade9557