- Ratusan hektar lahan pertanian di Desa Hapalah tak bisa lagi ditanami karena terendam sejak belasan tahun lalu. Masyarakat menyatakan, lahan pertanian mulai terendam setelah ada pembangunan kanal perusahaan sawit.
- Masyarakat menolak kehadiran perusahaan sawit di daerah yang sebagian berupa rawa gambut itu. Masyarakat khawatir kehilangan rawa gambut yang selama ini jadi tempat bergantung hidup. Rawa gambut atau yang biasa disebut hapau oleh masyarakat lokal punya nilai ekonomis. Selain sebagai lahan pertanian, masyarakat juga memanfaatkan untuk menanam rumbia, beternak bebek, mencari ikan, juga memanen purun.
- Kegigihan masyarakat Hapalah menolak sawit bisa dibilang berhasil. Pada 2013, Pemerintah Tabalong menyebut, tak ada lagi hak guna usaha (HGU) di Hapalah. Pemerintah gantikan dengan agenda percetakan sawah. Kanal dibuat lagi saat proyek cetak sawah. Proyek gagal. Masalah bertambah.
- Walhi Kalimantan Selatan nyatakan, ekosistem rawa gambut di Desa Hapalah terganggu karena saluran pembuangan air dari kanal yang dibuka perusahaan perkebunan sawit dan proyek cetak sawah yang gagal.
“Hari ini sepi. Hanya ada beberapa pesanan pemasangan lambang seragam permak celana,” kata Rahim, penjahit pakaian di pinggir Jalan Jafri Zam-Zam, Kelurahan Kuin Cerucuk, Banjarmasin Barat, Kalimantan Selatan.
Dia punya kios kecil, berukuran 2×3 meter di tepian jalan itu.
Pria 41 tahun ini pandai menjahit sejak muda. Dia pernah kursus di kampungnya. Rahim berasal dari Desa Hapalah, Kecamatan Banua Lawas, Tabalong, Kalsel.
Dari menjahit di Banjarmasin, dia biasa dapat uang Rp70.000-Rp80.000 sehari. “(Pendapatan) tidak menentu. Tapi lumayan daripada di kampung,” katanya.
Rahim merantau meninggalkan anak dan istri demi mendapatkan penghasilan lebih baik. Di kampung, katanya, sulit mencari pekerjaan. Apalagi dia hanya tamatan sekolah dasar (SD).
“Sebenarnya pengin sih menetap di kampung. Tapi tidak ada yang dikerjakan,” katanya.
“Mau menjahit di sana pun rasanya tidak tega meminta (ongkos) kepada warga kampung.”
Kehidupan warga di kampungnya serba susah. Masyarakat hidup pas-pasan.
Rahim bukan satu-satunya yang merantau. Ada banyak warga Hapalah meninggalkan kampung halaman bekerja di luar daerah. Kebanyakan jadi penjahit, sebagian jadi buruh perusahaan atau pekerja rumah tangga.
Data pemerintah desa setempat, pendapatan per kapita tiap keluarga masyarakat Hapalah Rp1,2 juta perbulan. Dinas Sosial Tabalong mencatat, persentase warga miskin di Hapalah sampai 50% lebih!
Pada 2022, misal, warga miskin di desa ini mencapai 717 jiwa, pada 2023 naik jadi 737 jiwa, dari penduduk sekitar 1.159 jiwa.
“Banyaknya warga prasejahtera di Hapalah bisa diasumsikan karena minimnya lapangan pekerjaan di sekitar desa. Dipengaruhi pula oleh masyarakat yang umumnya terbiasa bertani hingga sukar mencari pekerjaan lain,” kata Rusmadi, Kepala Dinsos Tabalong.
Mulai terendam
Menurut Rahim, kehidupan di Hapalah jadi sulit ketika 200 hektar lahan pertanian tak lagi bisa tergarap. Belasan tahun sudah, lahan pertanian masyarakat Hapalah terendam air.
“Termasuk sepetak lahan saya dan saudara yang diwariskan orang tua,” katanya.
Air yang merendam sawah itu datang dari kanal pembuangan yang dibangun perusahaan sawit pada 2010. Kondisi tambah parah ketika ada kegagalan proyek cetak sawah pada 2017 yang digagas Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Tabalong.
Kini, masyarakat di desa seluas 3.417 hektar itu, hanya bisa bertani di lahan sisa 369 hektar.
Mistani biasa disapa Fisik Imis, Tokoh Masyarakat Hapalah, benarkan kalau banyak pemuda Hapalah merantau.
Dulu, katanya, ketika lahan pertanian tak rusak, masyarakat bisa hidup lebih baik dari bertani. Setelah perusahaan sawit masuk ke Banua Lawas, termasuk Hapalah, cerita berubah.
Perusahaan sawit, PT Cakung Permata Nusa II (CPN), anak usaha PT Astra Agro Lestari Tbk ini mengantongi izin pada 2008 dari Bupati Tabalong, Rachman Ramsyi. Mereka dapat izin seluas 9.501 hektar di Banua Lawas, meliputi Desa Hapalah, Bangkiling, Bangkiling Raya, Habau, Habau Hulu, dan Talan.
Konsesi seluas itu, juga mencakup sawah warga.
Belum lagi, katanya, Banua Lawas adalah wilayah yang didominasi rawa gambut. Sekitar 58,92% atau 8.885 hektar dari 15.080 hektar luas kecamatan merupakan gambut. Konsesi perusahaan seluas 7.654 hektar berada di lahan gambut Banua Lawas.
Mayoritas masyarakat menolak kehadiran perkebunan sawit. Mereka khawatir kehilangan rawa gambut yang selama ini jadi tempat bergantung hidup.
Rawa gambut atau yang biasa disebut hapau oleh masyarakat lokal punya nilai ekonomis. Selain sebagai lahan pertanian, kata Imis, masyarakat Banua Lawas juga memanfaatkan untuk menanam rumbia, beternak bebek, mencari ikan, juga memanen purun.
Belum lagi, katanya, kehadiran perusahaan minim sosialisasi dan informasi dari awal. “Hampir 90% masyarakat menolak,” katanya.
Imis, salah satu yang tak mau sawit masuk dan berupaya menjaga kampung.
Lewat dampingan pegiat lingkungan di Kalimantan Selatan, Imis dan masyarakat menolak kehadiran perusahaan beberapa kali berunjuk rasa ke pemerintah daerah.
Masyarakat bersepakat dan menggalang tanda tangan penolakan terhadap perkebunan sawit pada 12 Oktober 2008.
Aksi Imis kala itu berbuah ancaman. “Saya sempat dua kali didatangi preman (suruhan) perusahaan. Alhamdulillah, tidak apa-apa,” katanya.
Perusahaan sudah sempat menebangi pohon di konsesi mereka. Juga, bikin kanal pembuangan air pada 2010, yang berbuntut hingga kini, lahan pertanian warga Hapalah dan sekitar kebanjiran.
“Ada kurang lebih 200 hektar sawah kami terendam. Sampai sekarang tidak bisa dihumai (ditanami) lagi,” keluhnya sembari menjelaskan tak hanya di Hapalah, kiriman air turut merendam sawah beberapa desa di Kecamatan Haur Gading, Kabupaten Hulu Sungai Utara (HSU).
Padahal, katanya, dulu, hasil panen masyarakat melimpah, bisa sampai Rp2 miliar.
“Itu hasil hitung-hitungan kami waktu panen. Ketika harga beras belum mahal seperti sekarang,” katanya.
Kegigihan Imis dan warga menolak sawit bisa dibilang berhasil. Pada 2013, Pemerintah Tabalong menyebut, tak ada lagi hak guna usaha (HGU) di Hapalah. Pemerintah gantikan dengan agenda percetakan sawah.
“Namun pencabutan izin [perusahaan] masih simpang siur kebenarannya sampai sekarang,” katanya.
Sebenarnya, asa masyarakat Hapalah sempat tumbuh kembali ketika pemkab menggagas cetak sawah seluas 150 hektar pada 2017. Proyek ini dikerjakan di atas lahan pertanian yang terendam air seluas 110 hektar.
Kenyataan jauh dari angan. Cetak sawah gagal karena kurang memperhitungkan kondisi alam dan enggan mendengarkan aspirasi warga.
Dia contohkan, soal pembuatan sekat kanal, pendapat warga tak banyak terakomodir.
“Padahal yang mengetahui persis kondisi lapangan adalah warga. Mereka telah behuma puluhan tahun. Bahkan sejak nenek moyang mereka,” katanya.
Pembuatan kanal pengairan oleh perusahaan dan proyek cetak sawah gagal, Imis nilai, telah mengganggu ekosistem rawa gambut Hapalah.
Selain banjir di sawah, lahan-lahan di Hapalah juga mudah terbakar kalau musim kemarau tiba.
“Hampir tiap tahun pasti terbakar,” katanya.
Sekat kanal rusak
Pada 2018, Tim Restorasi Gambut Daerah (TRGD) Kalsel membangun sekat kanal di Desa Bangkiling dan Bangkiling Raya yang bersebelahan dengan Hapalah.
Sekat kanal dibuat untuk mengatur tata air di lahan rawa gambut supaya meminimalisir banjir dan mengantisipasi kebakaran.
Upaya ini tak juga memulihkan lahan pertanian Hapalah. “Kalau cuma dibikin sekat kanal, tapi lahan yang di sini (Hapalah) tidak dinormalisasi, ya percuma,” kata Imis.
Belakangan, sekat kanal itu rusak. Letaknya yang jauh di ujung desa membuat warga kesulitan merawatnya.
Upaya Imis tak berhenti. Pada 2019, dia dan beberapa warga desa berunjuk rasa ke Pemerintah Kalsel. Dinas Pertanian berjanji mengembalikan fungsi sawah yang rusak.
“Rencananya pada 2020 ingin dikeruk oleh Dinas Pertanian kabupaten. Tapi sampai hari ini tidak terealisasi,” katanya.
Imis menanti keberpihakan pemerintah. “Keinginan kami ada perhatian pemerintah. Seperti mengembalikan fungsi sawah dan memberdayakan potensi lokal di desa.”
Pemerintah tak hadir
Walhi Kalsel membenarkan, ekosistem rawa gambut di Desa Hapalah terganggu karena saluran pembuangan air dari kanal yang dibuka perusahaan perkebunan sawit dan proyek cetak sawah gagal.
“Fakta yang kami amati memang demikian,” kata Rudy Fahrianoor, dari Walhi Kalsel, Juni lalu.
Kehilangan ratusan hektar lahan pertanian, kata Rudy, menjadi salah satu faktor makin banyak keluarga miskin di Hapalah.
Pemerintah, katanya, harus turun tangan membantu warga keluar dari kemiskinan. Salah satu upaya, katanya, mengevaluasi izin konsesi yang masih berlaku. “Selama izin masih aktif, tidak ada pihak yang bisa masuk untuk merestorasi gambut di kawasan ini,” katanya.
Sedang Tim Restorasi Gambut Daerah (TRGD) Kalsel tak mau sebut kerusakan rawa gambut di Banua Lawas, terutama Hapalah karena kanal. “Untuk membuktikan itu perlu pengujian,” kata Sayuti Enggok, Sekretaris TRGD Kalsel, Mei lalu.
Namun dia beralasan TRGD sulit lakukan pengujian karena kewenangan terbatas. “Secara aturan, kami tidak bisa masuk ke kawasan konsesi,” katanya.
“Di Hapalah, kita sudah kerjakan dua kegiatan, rewetting dengan membangun sekat kanal dan 23 sumur bor tahun 2018. Lalu, revitalization, pemberian alat-alat perikanan untuk masyarakat lokal pada 2018 dan 2022. Revegetation memang belum, karena belum urgen,” katanya.
Bagaimana soal sekat kanal yang rusak?
“Sebelum membangun kami sudah koordinasi dengan masyarakat tentang persetujuan mereka, soal letak sekat kanal yang hendak dibangun, juga komitmen untuk memelihara. Kalau sekarang rusak karena alasan jauh hingga tidak bisa menjaga, itu bukan lagi tanggungjawab kami,” katanya.
Yang mungkin mereka lakukan, katanya, hanya perbaikan, tetapi harus ada pengusulan dari masyarakat serta dengan kriteria kerusakan hanya beberapa persen. “Atau sekalian mencabut, daripada dibangun ulang tapi akan rusak lagi, kan percuma.”
Mongabay mencoba mengonfirmasi perusahaan. PT Astra Agro Lestari memilih tidak berkomentar apa yang terjadi di Desa Hapalah.
“Karena konsesi itu sudah kami jual sejak 2016. Sebelum itu, kami tidak ada pengelolaan apapun di sana,” kata Ratri Maharani, Public Relations Officer PT Astra Agro Lestati Tbk.
Ketika ditanya ke pihak mana konsesi dijual, Ratri mengaku tidak mengetahuinya.
Apa kata pemerintah daerah? Fitri Hernadi, PJ Sekretaris Daerah (Sekda) Tabalong mengaku baru mengetahui persoalan di Desa Hapalah karena baru saja menjabat.
“Kewenangan terkait perizinan kini semua ditangani pemerintah pusat,” katanya.
Pada Senin (19/8/24), Fitri Hernadi mengonfirmasikan kalau sudah bertemu dengan para kepala desa dari Banua Lawas.
Dari sana dia tahu kalau ada tiga desa di Banua Lawas lahan pertaniannya terendam. “Desa Hapalah, Bangkiling, dan Bangkiling Raya,” katanya.
Fahrul Razi, Kepala Dinas Ketahanan Pangan Perikanan Tanaman Pangan dan Hortikultura (DKPPTH) Tabalong mengaku belum pernah menerima laporan tentang lahan pertanian yang terendam di Desa Hapalah.
“Saya tidak pernah mengetahui permasalahan ini sebelumnya, karena baru bertugas. Dengan ini, kami segera berkoordinasi dengan pihak Balai Penyuluhan Pertanian Desa Hapalah dan mengecek kondisi di lapangan,” katanya.
Hanifah Dwi Nirwana, Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kalsel pun mengaku tak pernah menerima laporan masyarakat tentang situasi di Hapalah. Namun, mereka akan mendorong agar sawah bisa ‘hidup’ kembali.
********
Buka Kebun Sawit Tanpa Izin, Perusahaan ini Rusak Lingkungan Subulussalam