- Kebakaran hutan dan lahan masih terus menghantui Indonesia. Kajian Auriga mencatat, ada 6,1 juta hektar lahan terbakar di Indonesia selama 2013-2023, sebanyak 55% terjadi di Kalimantan dan Sumatera. Jumlah ini meningkat jadi 10 juta hektar kalau menghitung kebakaran berulang di area sama. Dari kajian itu, sebagian besar kebakaran di wilayah dengan tutupan alami.
- Yayasan Auriga Nusantara merilis Mapbiomas. Ini merupakan platform yang tersedia secara daring dan bebas diakses publik untuk memperlihatkan histori kebakaran hutan dan lahan di seluruh Indonesia sejak 2013. Di dalamnya, juga ada analisis periode langganan kebakaran dalam satu tahun kalender.
- Analisis menggunakan Mapbiomas, kebakaran di lokasi baru seluas 3,7 juta hektar, ada 2,3 juta hektar lahan terbakar berulang kali, mulai dari dua sampai 11 kali.
- Lola Abas, Koordinator Nasional Pantau Gambut, menyebut, 16,9 juta dari 24,2 juta hektar kawasan hidrologis gambut di Indonesia rentan terbakar. Tahun lalu, lebih 450.000 hektar lahan gambut terbakar.Terbesar di Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat dan Sumatera Selatan.
Kebakaran hutan dan lahan masih terus menghantui Indonesia. Kajian Auriga mencatat, ada 6,1 juta hektar lahan terbakar di Indonesia selama 2013-2023, sebanyak 55% terjadi di Kalimantan dan Sumatera. Jumlah ini meningkat jadi 10 juta hektar kalau menghitung kebakaran berulang di area sama. Kebakaran di lokasi baru seluas 3,7 juta hektar, ada 2,3 juta hektar lahan terbakar berulang kali, mulai dari dua sampai 11 kali.
Sesilia Maharani Putri, peneliti Yayasan Auriga Nusantara mengatakan, lokasi-lokasi baru ini, harus ditelisik lebih lanjut. Beberapa wilayah, seperti di Sumatera Selatan, misal, kedapatan ditanami sawit setelah kebakaran terjadi.
Dari kajian itu, katanya, sebagian besar kebakaran di wilayah dengan tutupan alami. “Besarnya kebakaran di wilayah dengan penutupan alami mengindikasikan kebakaran untuk pembukaan lahan atau telah menjadi habitual alami yang terjadi di wilayah itu seperti savana Bali-Nusra,” katanya saat peluncuran platform MapBiomas Fire di Jakarta, 7 Agustus lalu.
Mapbiomas merupakan platform yang tersedia secara daring dan bebas diakses publik untuk memperlihatkan histori kebakaran hutan dan lahan di seluruh Indonesia sejak 2013. Di dalamnya, juga ada analisis periode langganan kebakaran dalam satu tahun kalender.
Karhutla untuk pembukaan lahan dikonfirmasi Safrul Yunardy, Kepala Bidang Perlindungan dan Konservasi Sumber Daya Alam Ekosistem di Dinas Kehutanan Sumatera Selatan yang hadir secara daring. Meskipun tak menyebutkan rinci, dari analisis Songket Sumsel, platform pemantau kebakaran hutan dan lahan (karhutla) Pemerintah Sumsel, ditemukan lahan terbakar 2015 dan 2019 sudah ditanami sawit pada 2023.
“Dengan analisis lanjutan, kita bisa dapatkan siapa pelaku pembakaran di masa lalu ini,” katanya, seraya bilang, perlu integrasi dan kolaborasi semua data.
Sebelumnya, Pantau Gambut juga menyimpulkan hal sama. Kajian mereka menemukan lahan kebakaran di restorasi gambut banyak ditumbuhi tanaman monokultur seperti sawit dan akasia.
Dari data mereka, 57% gambut kawasan lindung di lokasi restorasi pemerintah berubah menjadi sawit setelah terbakar. Lahan restorasi di perusahaan 48% berubah menjadi tanaman monokultur.
Beberapa kawasan restorasi juga mengalami kebakaran, termasuk di area perusahaan. Salah satunya, PT Bumi Mekar Hijau di Sumatera Selatan yang selalu terbakar setiap tahun.
Selain itu, perusahaan lain seperti PT Mayawana Persada di Kalimantan Barat pun mengalami kebakaran pada 2023. “Kami belum lakukan pemantauan kebakaran 2024, tapi di perusahaan-perusahaan yang kami jadikan sample penelitian, ada sekitar setengah juta lahan terbakar tahun 2023,” kata Juma Maulana, GIS Specialist Pantau Gambut.
Masih rawan
Temuan Pantau Gambut senada dengan hasil analisis MapBiomas Fire yang menunjukkan lahan gambut masih jadi penyebab kebakaran. Setidaknya, ada 35,8% dari luas 6,1 juta hektar terbakar sepanjang 11 tahun terakhir terjadi di kawasan gambut.
Musim panas berpadu dengan El-Nino membuat lahan ini rawan terbakar dan sulit padam. Kondisi ini diamini Safrul yang menyebut sebagian besar area terbakar terjadi di lahan gambut.
Dari data yang dia paparkan, terdapat 1,2 juta hektar lahan gambut di Bumi Sriwijaya. Mayoritas gambut fungsi budidaya.
“Ini yang jadi masalah ketika El-Nino. Karena area terbakar di Sumsel memang lahan gambut,” ucap Safrul.
Parahnya, kebakaran gambut sangat berdampak ke masyarakat. Catatan Safrul, desa-desa dengan penduduk miskin tinggi terdapat di lahan gambut, mulai dari Ogan Komering Ilir, Banyuasin, Musi Banyuasin, dan Musi Rawas.
Daerah ini pula yang mengalami kebakaran cukup luas dan parah pada 2021, 2022 dan 2023. “Ketika kebakaran yang tidak miskin jadi miskin, yang miskin makin miskin.”
Hal ini dipicu berbagai kerugian harus mereka tanggung seperti kehilangan pekerjaan, aset, kebun, dan biaya tambahan untuk berobat karena penyakit seperti infeksi saluran pernapasan akut dan sakit mata saat kebakaran.
Untuk itu, dari analisis mereka, masyarakat jadi pihak paling dirugikan ketika kebakaran dengan persentase mencapai 59%, perusahaan 27% dan pemerintah hanya 14%.
Lola Abas, Koordinator Nasional Pantau Gambut, menyebut, 16,9 juta dari 24,2 juta hektar kawasan hidrologis gambut di Indonesia rentan terbakar. Tahun lalu, lebih 450.000 hektar lahan gambut terbakar.
“Terbesar di Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat dan Sumatera Selatan,” katanya.
Parahnya, lahan gambut terbakar selama 2015-2020 jadi perkebunan monokultur, terutama sawit. “Hanya 1% saja jadi hutan alami.”
Anomali
Sementara itu, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat, anomali pada 2023. Kala itu, kebakaran hutan dan lahan jadi bencana terbanyak selama satu tahun, mengalahkan banjir dan longsor yang biasa selalu mendominasi.
Kejadian ini, dianggap anomali lantaran El-Nino tahun lalu masih tergolong moderat. Pada tahun dengan El-Nino tinggi biasa justru didominasi banjir dan longsor.
“Tahun 2015 saat El-Nino peak itu longsor dan banjir yang paling banyak kebakaran,” kata Abdul Muhari, Kepala Pusat Data dan Informasi Kebencanaan BNPB dalam forum sama.
Sedang ketika La-Nina, karhutla menjadi bencana kedua yang paling sering terjadi. “Ketika puncak musim hujan Februari, kita mengarahkan perhatian ke Aceh. Karena sisi barat banjir bandang dan longsor, di timur justru forest fire.”
Bambang Hero Saharjo, Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB University juga menyoroti kebakaran 2023. Menurut informasi yang dia dapat, emisi 2023, lebih besar dari 2015 karena banyak lahan gambut terbakar.
“Penting melakukan pencegahan dengan serius,” katanya.
Salah satunya, dengan melihat periode langganan kebakaran. Analisis MapBiomas Fire menunjukkan 77% kebakaran terjadi pada Agustus sampai November.
“Tapi ingat, terkadang Juni pun sudah kebakaran dan sulit diatasi.”
******