- Gempa megathrust yang terkenal sebagai gempa terbesar di Bumi, berpotensi terjadi di Indonesia. Hampir semua catatan kejadian gempa ini dapat menimbulkan tsunami dan bahaya bagi masyarakat.
- Menurut Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika [BMKG], pembahasan potensi gempa di zona megathrust saat ini, bukanlah bentuk peringatan dini [warning], yang seolah-olah dalam waktu dekat akan segera terjadi gempa besar.
- Menurut penelitian Supendi dan kolega [2023], pemodelan tsunami dari potensi gempa megathrust di pantai selatan Jawa Barat dan tenggara Sumatera, menunjukkan tinggi tsunami maksimum dapat mencapai 34 meter di sepanjang pantai barat Sumatera paling selatan dan di sepanjang pantai selatan Jawa dekat Semenanjung Ujung Kulon.
- Hingga saat ini, belum ada ilmu pengetahuan dan teknologi yang akurat dan mampu memprediksi terjadinya gempa [kapan, dimana, dan berapa kekuatannya]. Dengan demikian, upaya mitigasi harus dilakukan sedini mungkin dengan melibatkan masyarakat dan semua instansi.
Hidup di Indonesia, berarti kita harus siap hidup berdampingan dengan segala bencana, termasuk gempa bumi. Hal ini dikarenakan posisi Indonesia yang terletak pada pertemuan lempeng besar dunia dan beberapa lempeng kecil.
Indonesia tercatat dikelilingi oleh empat lempeng utama, yaitu Lempeng Eurasia, Lempeng Indo-Australia, Lempeng Laut Filipina, dan Lempeng Pasifik.
Ketika lempeng-lempeng ini saling dorong, tarik, atau geser, terjadilah guncangan yang kita sebut gempa bumi. Fenomena ini juga sering meningkatkan aktivitas vulkanik yang berujung pada letusan gunung berapi.
Dikutip dari buku Peta Sumber dan Bahaya Gempa Indonesia tahun 2017, salah satu sumber gempa yang telah jelas teridentifikasi adalah zona subduksi aktif [tempat di mana satu lempeng tektonik, menunjam ke bawah lempeng lainnya], yang terbesar di bagian barat hingga timur Indonesia.
“Selain itu, sisa energi dari proses tumbukan antarlempeng tersebut akan mengakibatkan adanya sesar di daratan atau lautan di beberapa pulau dan laut Indonesia,” tulis buku tersebut.
Gempa megathrust yang tengah hangat diperbincangkan, biasanya terjadi di dasar laut, dan di sepanjang zona subduksi ini. Tekanan akibat pergerakan lempeng yang menumpuk selama ratusan tahun, kemudian dapat dilepaskan tiba-tiba dalam bentuk gempa bumi yang dasyat.
Menurut penelitian Atakan [2015] berjudul “On the Origin of Mega-thrust Earthquakes”, gempa bumi besar ini biasanya terjadi di sepanjang zona subduksi, dengan magnitudo [Mw] umumnya 8,5 atau lebih besar.
Funiciello dan kolega [2020] menyatakan, “Subduksi megathrust menjadi tempat terjadinya gempa bumi terbesar di Bumi.”
Sejumlah negara pernah merasakannya, seperti Chili tahun 1960 [9,5 Mw], Indonesia tahun 2004 [9,2 Mw], Chili tahun 2010 [8,8 Mw], dan Jepang tahun 2011 [9,1 Mw].
“Semuanya memicu tsunami dahsyat dan menimbulkan bahaya besar bagi masyarakat,” jelasnya.
Baca: Bukan Hanya Gempa, Indonesia juga Kerap Dilanda Tsunami
Potensi gempa di Jawa dan Sumatera
Dikutip dari detik.com, meskipun tidak memicu tsunami besar, kejadian gempa dengan magnitudo 7,1 di Megathrust Nankai, di selatan Jepang [8/8/2024], ikut memicu kekhawatiran ilmuwan Indonesia.
Berdasarkan pemutakhiran Peta Gempa Indonesia 2017, terdapat 16 segmentasi megathrust yang mengelilingi Indonesia, dengan perhitungan maksimum magnitude berkisar antara 7,4 hingga 9,2.
Menurut Daryono, Kepala Pusat Gempabumi dan Tsunami Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika [BMKG], terdapat dua segmen megathrust di Indonesia yang harus diantisipasi, yaitu Selat Sunda [M 8,7] dan Mentawai-Siberut [M 8,9].
Hal ini dikarenakan, kedua segmentasi tersebut memiliki seismic gap, yang artinya kekosongan aktivitas seismik dalam waktu lama, sehingga menyimpan energi cukup besar.
“Rilis gempa di kedua segmen megathrust ini boleh dikata “tinggal menunggu waktu” karena kedua wilayah tersebut sudah ratusan tahun belum terjadi gempa besar,” kata Daryono, Rabu [14/8/2024], dikutip dari detik.com.
Namun, dalam rilisnya di situs resmi bmkg.go.id, Daryono mangatakan, pembahasan potensi gempa megathrust bukanlah bentuk peringatan dini [warning], yang seolah-olah dalam waktu dekat akan segera terjadi gempa besar.
“Tidak demikian. Dikatakan “tinggal menunggu waktu” disebabkan karena segmen-segmen sumber gempa di sekitarnya sudah rilis gempa besar semua, sementara Selat Sunda dan Mentawai-Siberut hingga saat ini belum terjadi,” jelasnya.
Berdasarkan penelitian Supendi dan kolega [2023] yang melakukan analisis tekait potensi gempa megathrust di Jawa dan Sumatera, terdapat potensi tsunami cukup besar di kedua wilayah tersebut.
Hasil ini beranjak dari pemodelan tsunami untuk dua skenario berdasarkan estimasi celah seismik dan keberadaan patahan backthrust.
“Tinggi tsunami maksimum dapat mencapai 34 meter di sepanjang pantai barat Sumatera paling selatan dan di sepanjang pantai selatan Jawa dekat Semenanjung Ujung Kulon. Ketinggian gelombang rata-rata sekitar 11 meter,” tulis riset tersebut.
Estimasi ini sebanding dengan tinggi tsunami maksimum yang diprediksi oleh studi sebelumnya di selatan Jawa yang sumber gempanya diperoleh dari inversi data GPS.
“Konsistensi dalam hasil ini menunjukkan bahwa estimasi kami dari selatan Sumatera kemungkinan kuat, yang memiliki implikasi penting bagi bahaya seismik dan tsunami di wilayah ini,” jelas penelitian itu.
Baca: Tsunami Selat Sunda: Mitigasi dan Kesiapan Hadapi Bencana Harus Ada
Gempa belum bisa diprediksi
Dari tahun 1907 hingga Agustus 2016, Pusat Studi Gempa Nasiona [PuSGeN] mencatat lebih dari 51 ribu gempa telah terjadi di Indonesia dengan Magnitudo [Mw] di atas 4,5.
Pada 2023, dikutip dari katada.id, Indonesia tercatat sebagai negara dengan gempa bumi terbanyak [2.205 kejadian].
Menurut Daryono, hingga saat ini belum ada ilmu pengetahuan dan teknologi yang dengan tepat dan akurat mampu memprediksi terjadinya gempa [kapan, dimana, dan berapa kekuatannya].
“Sehingga, kita semua juga tidak tahu kapan gempa akan terjadi, sekalipun tahu potensinya,” lanjutnya, dikutip dari bmkg.go.id.
Hal ini sejalan dengan penelitian Funiciello dan kolega [2020], yang menyatakan gempa bumi megathrust subduksi besar adalah gempa bumi yang menunjukkan pola kompleks.
“Apakah gempa bumi dapat diprediksi atau tidak, dapat dijawab dengan harapan di masa mendatang,” tulisnya.
Namun, kemajuan teknologi dan metode analisis data, membuat para ilmuwan semakin dekat untuk mengungkap perilaku kompleks gempa ini. Para peneliti menyarankan pentingnya mendeteksi sinyal awal dengan memantau deformasi permukaan dan aktivitas seismik.
Selain itu, dengan memahami siklus seismik, yaitu proses akumulasi dan pelepasan tegangan di sepanjang megathrust, kita dapat membuat model prediksi yang lebih akurat.
“Karena perilaku seismik megathrust subduksi bergantung pada kombinasi parameter yang luas, penelitian interdisipliner perlu diperkuat,” lanjut penelitian tersebut.
Baca: Penelitian Ini Coba Singkap Ancaman Tsunami pada Kehidupan Badak Jawa
Mitigasi bencana
Abdul Muhari, Kepala Pusat Data, Informasi, dan Komukasi Kebencanaan Badan Nasional Penanggulangan Bencana [BNPB], berharap masyarakat selalu siap siaga dengan adanya berbagai isu gempa ini.
“Upaya mitigasi harus dilakukan mulai dari sekarang. Baik itu di tingkat individu, keluarga, masyarakat, hingga pemerintah kabupaten atau kota dan seterusnya,” katanya, dalam live streaming berjudul “Disaster Briefing: Operasi Modifikasi Cuaca di Kalimantan Timur dan Megathrust di Indonesia” di kanal Youtube resmi BPNB Indonesia.
Sejak 2023 dan akan berlangsung hingga 2025, BNPB sedang, dan akan terus membangun sistem peringatan dini yang tersebar di hampir semua zona megathrust di Indonesia.
Pembangunan ini meliputi sirene, rambu-rambu evakuasi bencana dan sebagainya, yang tersebar di 182 desa. Selain itu, BNPB juga telah menyiapkan peta evakuasi, mulai dari ancaman, kerentanan, hingga kemana masyarakat harus melakukan evakuasi.
“Semuanya kita cover. Kita upayakan juga untuk terus meningkatkan respons peringatan dini kepada masyarakat, agar informasi bisa disampaikan lebih cepat dan efisien,” lanjutnya.
Harapannya, jika sudah ada sistem yang terbangun di daerah. Masyarakat bersama pemerintah setempat dapat melakukan latihan evakuasi mandiri.
“Instal inaRISK, untuk melihat wilayah rawan tsunami dan sebagainya.”
Baca juga: Jejak Tua di Area Likuifaksi Sulawesi Tengah
Lebih lanjut, ada beberapa tips yang diberikan Abdul Muhari sebagai langkah mitigasi bencana, khususnya gempa dan tsunami bagi masyarakat.
Seperti, jika ada gempa, kita bisa mengumpulkan kaleng bekas, tiga atau empat buah. Lalu isi batu di dalamnya. Kemudian susun tidak simetris, hingga kalau ada bencana [gempa], kaleng itu akan jatuh. Sehingga jika gempa terjadi malam hari, maka kaleng yang terjatuh dapat menjadi tanda.
Usahakan juga, akses menuju pintu keluar rumah tidak ada lemari atau benda-benda yang berpotensi terjatuh dan menghalangi jalan keluar. “Selama kita masih bisa keluar, masih bisa berdiri dan berlari, kita harus keluar rumah secepatnya.”
Sementara untuk wisatawan, yang berada di luar rumah atau pesisir pantai, jika merasakan ada guncangan selama lebih dari 30 detik harus segera lari.
“Banyak gempa yang mengayun, hampir tidak dirasakan oleh masyarakat. Bukan kuat atau lemahnya gempa, tetapi durasinya. Segera menjauh dari pantai.”
Semua upaya ini diharapkan dapat didukung oleh instansi lain, seperti Kementerian Kelautan Perikanan [KKP] dengan peringatan kepada nelayan, dengan mangrove-nya. Pihak kehutanan dengan hutannya, pihak Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang [PUPR] dengan infrastrukturnya, serta seterusnya.
“Jadi, kita harus berkerja sama, karena perihal bencana ini merupakan tanggung jawab bersama,” tegas Abdul Muhari.
Referensi:
Atakan, K. (2015). On the Origin of Mega-thrust Earthquakes BT – Perspectives on European Earthquake Engineering and Seismology: Volume 2 (A. Ansal, Ed.; pp. 443–455). Springer International Publishing. https://doi.org/10.1007/978-3-319-16964-4_19
Funiciello, F., Corbi, F., Heuret, A., Piromallo, C., & Rosenau, M. (2020). Empirical Analysis of Global-Scale Natural Data and Analogue Seismotectonic Modelling Data to Unravel the Seismic Behaviour of the Subduction Megathrust. Frontiers in Earth Science, 8, 600152.
Supendi, P., Widiyantoro, S., Rawlinson, N., Yatimantoro, T., Muhari, A., Hanifa, N. R., Gunawan, E., Shiddiqi, H. A., Imran, I., Anugrah, S. D., Daryono, D., Prayitno, B. S., Adi, S. P., Karnawati, D., Faizal, L., & Damanik, R. (2023). On the potential for megathrust earthquakes and tsunamis off the southern coast of West Java and southeast Sumatra, Indonesia. Natural Hazards, 116(1), 1315–1328. https://doi.org/10.1007/s11069-022-05696-y
Mengenal 8 Megatsunami dengan Gelombang Tertinggi dalam Sejarah Dunia