- Hutan mangrove di Kepulauan Tanakeke, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan, terancam hilang akibat masifnya penebangan untuk pembuatan arang yang diperjualbelikan. Para pihak berkumpul di kantor bupati Takalar mencari solusi terbaik.
- Praktik jual beli kayu mangrove ini sulit diberantas karena para pelaku adalah warga yang telah melakukannya sejak dulu. Apalagi mangrove yang ditebang berada di lokasi yang telah diklaim kepemilikannya oleh warga. Jika ingin menghilangkan tradisi ini maka harus ada mata pencaharian alternatif bagi warga.
- Tantangan lainnya yaitu penegakan hukum dimana belum ada perda di tingkat kabupaten dan aturan bupati yang mengikat untuk melakukan pengawasan mangrove di Tanakeke. Apalagi kawasan mangrovenya tidak termasuk kawasan hutan lindung.
- Parapihak menyepakati 10 komitmen bersama terkait pengelolaan mangrove di Kepulauan Tanakeke, antara lain terkait pengelolaan mangrove secara bertanggung jawab dan berkelanjutan.
Hutan mangrove di Kepulauan Tanakeke, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan, terancam hilang akibat maraknya aktivitas pengambilan kayu mangrove untuk dijadikan arang, selain karena konversi ke tambak. Praktik ini masih sulit diberantas karena menjadi salah satu sumber mata pencaharian warga.
Berdasarkan dari data Mangrove Action Project (MAP) Indonesia pada tahun 1979 mangrove di Pulau Tanakeke memiliki luasan sekitar 1.776 Ha. Namun pada tahun 2011 kawasan mangrove berkurang sebanyak 1.276 Ha dan terus menurun hingga sekarang.
Sejak tahun 2011 hingga saat ini, masyarakat Tanakeke sebenarnya telah melakukan upaya pemulihan ekosistem mangrove melalui rehabilitasi mangrove di tambak terlantar dan bekas area tebangan. Namun, upaya pemulihan ini berkejaran dengan pemanfaatan kayu mangrove yang masih berjalan.
Dalam diskusi tata kelola mangrove Kepulauan Tanakeke di ruang pola kantor bupati Takalar, yang diselenggarakan oleh Pemerintah Kecamatan Kepulauan Tanakeke bersama Blue Forests, beberapa waktu lalu, parapihak berdiskusi mencari solusi terbaik terkait penyelesaian masalah ini.
Zainuddin Daeng Lewa, Sekretaris Desa Mattiro Baji, menyatakan praktik pemanfaatan kayu mangrove telah menjadi tradisi di Tanakeke dan menjadi sumber mata pencaharian warga, penopang hidup nelayan di tengah keterbatasan sumber daya di pulau.
Apalagi mangrove yang ditebang berada di lokasi yang telah diklaim kepemilikannya oleh warga. Jika ingin menghilangkan tradisi ini maka harus ada mata pencaharian alternatif bagi warga.
“Masalah penebangan mangrove ini terkait masalah ekonomi, jadi solusi terbaik adalah mencarikan pekerjaan alternatif bagi warga, tidak perlu lagi melalui diskusi seperti ini,” ungkapnya.
Baca : Tantangan dan Harapan Keberlanjutan Mangrove di Tanakeke
Edukasi dan Sosialisasi Pentingnya Mangrove
Arif Tutu, Camat Tanakeke, menyatakan meski ada budaya siri napacce (harga diri) sebagai alasan warga tetap mempertahankan aktivitas menebang mangrove, namun hal itu tidak bisa dijadikan alasan pembenaran penebangan ini, karena ini menyangkut keberlanjutan.
“Kalau budaya siri napacce menjadi dasar maka saya tidak tahu bagaimana berkelanjutan pulau untuk anak-anak generasi mendatang.”
Arif menilai langkah terbaik yang bisa dilakukan dan akan segera dilakukannya adalah mengunjungi orang-orang menebang mangrove berdasarkan data yang sudah ada.
“Rencana kami adalah mendatangi mereka, kami ingin memberikan edukasi seperti apa dampak negatif kalau mangrove ditebangi terus menerus. Kalau nanti sudah disampaikan namun tidak diindahkan maka terpaksa harus ada tindakan.”
Menurutnya, tantangan saat ini adalah belum ada perda di tingkat kabupaten dan aturan bupati yang mengikat untuk melakukan pengawasan mangrove di Tanakeke, apalagi kawasan mangrove-nya tidak termasuk kawasan hutan lindung.
“Salah satu kelemahan kita di Tanakeke terkait mangrove adalah karena bukan kawasan hutan lindung. Katanya kawasan ini masuk dalam kawasan khusus dalam RTRW, namun harus diperjelas yang dimaksud kawasan khusus seperti apa dan apa kewenangan kabupaten dan pemerintahan desa, itu yang harus dijelas.”
Awaluddin, Kepala Desa Tompotana, menyatakan bahwa dalam dua bulan terakhir pihaknya telah melakukan sosialisasi ke masyarakat, begitupun dengan pokmaswas Tompotana. Ia mendapati situasi dimana masyarakat sebenarnya bisa bertahan tanpa harus menebang dan menjual kayu mangrove. Mereka masih punya kegiatan alternatif lain, seperti budidaya rumput laut dan menangkap kepiting.
Awaluddin optimis penegakan aturan terkait larangan penebangan mangrove bisa dilakukan di desanya, namun ia berharap upaya yang sama juga bisa dilakukan 5 desa lainnya di Kepulauan Tanakeke.
“Saya berharap seluruh kepala desa di Tanakeke bisa menggerakkan pokmaswas-nya masing-masing sehingga pengelolaan dan kebijakan mangrove bisa bergerak bersama.”
Baca juga : Ini Aksi Kolaborasi Selamatkan Mangrove Tanakeke
Chaidir, Kasatreskrim Polres Takalar, menyatakan bahwa pihaknya akan melakukan penindakan berdasarkan adanya aduan dari masyarakat. Namun, penegakan hukum adalah upaya hukum terakhir yang bisa dilakukan, karena masyarakat melakukan penebangan bukan untuk memperkaya diri tapi semata untuk pemenuhan kebutuhan hidup. Meski demikian masyarakat perlu disadarkan tentang aturan yang ada.
“Saya berharap kepala desa perlu aktif melakukan sosialisasi ke masyarakat di mana lokasi yang boleh dan tidak boleh dilakukan penebangan.”
Komitmen Bersama Pengelolaan Mangrove
Di akhir acara diskusi parapihak menyepakati 10 komitmen bersama terkait pengelolaan mangrove di Kepulauan Tanakeke. Setelah dibacakan oleh Yusran Nurdin Massa, Enviromental Technical Advisor (ETA) di Blue Forests yang memfasilitasi diskusi ini, parapihak kemudian menandatangani secara bersama kesepakatan tersebut.
Pertama, dipahami bersama bahwa penghidupan masyarakat di Kepulauan Tanakeke sangat bergantung pada sehatnya ekosistem pesisir dan laut terutama ekosistem mangrove, lamun dan terumbu karang. Ketiga ekosistem ini menopang sumber penghidupan dan mata pencaharian masyarakat.
Kedua, sumber daya mangrove di Kepulauan Tanakeke perlu dilestarikan, dikendalikan dan dimanfaatkan secara berkelanjutan karena menjadi penopang sumber daya perikanan dan mata pencaharian utama masyarakat di Tanakeke.
Ketiga, perlunya memperkuat patroli dan monitoring pemanfaatan sumber daya pesisir dan laut termasuk pemanfaatan mangrove baik itu oleh pokmaswas atau kelembagaan masyarakat lainnya dengan berkolaborasi dengan aparat terkait agar dapat mengendalikan pemanfaatan.
Keempat, mengingat kompleksnya pemanfaatan mangrove di Kepulauan Tanakeke, penyelesaian penebangan mangrove dan usaha arang perlu dilakukan dengan hati-hati dan mengedepankan penyelesaian yang lebih arif, memperhatikan kondisi sosial ekonomi masyarakat dan juga memikirkan opsi penghidupan masyarakat termasuk bagaimana pengawasan berbasis pasar agar permintaan terhadap produk arang bisa dikendalikan.
Kelima, kegiatan pemanfaatan mangrove terutama pemanfaatan kayu untuk dijadikan arang perlu untuk dikendalikan, cara awalnya adalah melalui pendataan pelaku dan pengusaha untuk menemukan bersama solusi ke depan.
Baca juga : Pokmaswas, Garda Terdepan Penjaga Laut dan Pesisir di Kepulauan Tanakeke
Keenam, penegasan dan penegakan aturan terkait dengan pengelolaan pesisir dan laut termasuk mangrove menjadi unsur penting perlindungan pemanfaatan baik itu aturan di tingkat desa yakni peraturan desa maupun peraturan tingkat provinsi yakni Peraturan Daerah Nomor 4 tahun 2023 dan peraturan di tingkat nasional. Sosialisasi perda perlu diintensifkan terutama di Kepulauan Tanakeke.
Ketujuh, mendorong upaya penyusunan peraturan desa bersama untuk perbaikan pengelolaan mangrove di Kepulauan Tanakeke sebagai aturan bersama yang bisa menjadi rujukan
Kedelapan, mekanisme pengaturan yang didorong dalam upaya perbaikan pengelolaan mangrove di Kepulauan Tanakeke penting menyesuaikan dengan alokasi ruang di RTRW dan kebijakan pengelolaan mangrove yang telah berlaku baik ditingkat desa, daerah maupun nasional.
Kesembilan, keterlibatan dan peran aktif semua stakeholders dari masyarakat, pemerintah, aparat keamanan, pemerintah desa, pemerintah kabupaten dan pemerintah provinsi diperlukan untuk mendorong perbaikan pengelolaan mangrove di Tanakeke agar dapat melindungi dan menopang penghidupan secara jangka panjang.
Kesepuluh, inisiatif bersama para pihak perlu dikuatkan dan lebih nyata melalui forum bersama para pihak agar sinergi, kolaborasi untuk mendorong pengelolaan pesisir di Tanakeke sebagai wadah bersama solusi untuk perbaikan pengelolaan. Diskusi dan inisiatif ini akan didiskusikan lebih lanjut. (***)