Dalam rangka mengejar target nol emisi pada tahun 2060, Indonesia aktif menarik investasi dan telah secara terbuka menawarkan banyak proyek energi baru terbarukan (EBT), terutama model base load atau pembangkit listrik skala besar.
Terakhir kucuran dana sebesar Rp16,2 triliun itu berasal dari US International Development Finance Corporation (DFC) atau Bank Pembangunan Amerika Serikat, untuk percepatan pembangunan pembangkit Energi Terbarukan di Indonesia, salah satunya proyek panas bumi.
Di bulan Mei 2024, DFC pun secara resmi telah mengumumkan sebagian dari pendanaan tersebut adalah pinjaman sebesar Rp 2,2 triliun kepada PT Medco Cahaya Geothermal asal Indonesia dan PT Ormat Technologies Inc. perusahaan asal Israel yang berbasis di Amerika Serikat, melalui PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) untuk mengerjakan proyek bersama di wilayah Balawan-Ijen, Jawa Timur.
Untuk kepentingan itu, Kementerian ESDM telah memetakan titik lokasi panas bumi di seluruh Indonesia yang dapat dieksploitasi, sebagaimana laporan berisi ribuan halaman yang terbagi dalam dua jilid yang membahas berbagai potensi panas bumi di Indonesia. Hal ini juga ditambah dengan dokumen CIPP JETP yang menaruh pembangkit panas bumi sebagai proyek energi paling direkomendasikan sebagai kanal investasi.
Meski dianggap bersih dan rendah emisi, sebenarnya proyek pembangkit listrik panas bumi eksisting dianggap berkontribusi dalam memicu berbagai konflik sosial-ekologis. Kucuran dari skema pendanaan DFC ini pun dikhawatirkan oleh para pengamat akan menambah kusut daftar konflik di wilayah pegunungan di Indonesia yang selama ini telah banyak terjadi.
Tawaran Rp 16 Triliun untuk Proyek Panas Bumi
Sejak tahun 2020, Adam Boehler, CEO Bank Pembangunan Amerika Serikat dan beberapa perwakilan Departemen dari Amerika Serikat telah menyambangi negara-negara di Asia Pasifik, salah satunya Indonesia, untuk menjajaki kemungkinan kerjasama ekonomi di region Indo-Pacific.
Di Indonesia, mereka bertemu dengan pemerintah, sektor bisnis swasta calon mitra dan mitra eksisting. Kerjasama antara Indonesia dengan DFC pun semakin erat setelah adanya program pembiayaan bersama untuk pembangunan EBT di Indonesia, yaitu Just Energy Transition Partnership (JETP) yang diumumkan pada momen G20 tahun 2022 di Bali.
JETP lalu menghasilkan komitmen pendanaan USD 21,6 miliar dari negara-negara maju atau International Partner Group (IPG) dan aliansi lembaga keuangan multinasional yang tergabung dalam Glasgow Financial Alliance Net Zero (GFANZ). Pinjaman sebesar Rp 16,2 triliun DFC yang mengalir ke Indonesia adalah bagian dari program JETP untuk pembangunan dan pengembangan Energi Terbarukan di Indonesia.
Sebenarnya, dana pinjaman untuk pembangunan dan pengembangan pembangkit listrik panas bumi bukan hal baru bagi Indonesia. Sebelumnya, secara total telah ada ratusan juta dolar komitmen pembiayaan dari Bank Dunia, Asian Development Bank, beberapa perusahaan Jepang, hingga pemerintah New Zealand.
Berdasarkan laporan Center of Economic and Law Studies (CELIOS), dana tersebut dikelola oleh PT SMI yang salah satunya bertujuan untuk mensubsidi ongkos pengeboran dalam pencarian sumber-sumber panas bumi yang layak secara komersial.
Di tingkat nasional, perusahaan non BUMN yang terlibat proyek panas bumi adalah PT Daya Mas Geopatra Pangrango, anak perusahaan Sinar Mas Group yang sedang mengerjakan proyek di Gunung Gede-Pangrango. Selain itu ada Star Energy Geothermal dengan beberapa situs di Jawa Barat, yang merupakan anak perusahaan Barito Renewable Energy/Barito Pasific.
Ada juga PT Supreme Energy di situs Rantau Dedap yang sebagian sahamnya dikuasai United Tractor, serta anak perusahaan Medco Power yaitu PT Medco Cahaya Geothermal yang beroperasi di Balawan-Ijen.
Sedangkan perusahaan BUMN di bidang panas bumi diantaranya PT Pertamina Geothermal Energy, PT Geo Dipa Energi, dan PT PLN. Dari sekian perusahaan yang telah disebutkan, masing-masingnya telah mempunyai situs untuk proyek pembangkit panas bumi, baik yang masih dalam tahap konstruksi dan pembukaan lahan maupun yang sudah beroperasi di seluruh kepulauan Indonesia.
Proyek Panas Bumi dan Konflik Sosial-Ekologis
Sebagian besar dari situs proyek panas bumi telah menimbulkan konflik vertikalsosial antara warga di satu sisi yang berhadap-hadapan dengan perusahaan dan pihak pemerintah di sisi lain.
Contohnya saat Asian Development Bank (ADB) menyepakati kerjasama dengan PT Geo Dipa untuk membangun proyek power plant unit II di kawasan Dieng, Banjarnegara, Jawa Tengah, warga Desa Karang Tengah melakukan protes dan menolak proyek itu. Warga beralasan lokasi proyek amat berdekatan dan bahkan di beberapa lokasi hampir menempel dengan tembok penduduk.
Warga di kawasan Dieng yang telah puluhan tahun tinggal di sekeliling sumur panas bumi (well pad) pun masih trauma dengan peristiwa-peristiwa ledakan di lokasi panas bumi yang telah banyak merenggut korban jiwa.
Peristiwa lain, -yang laporannya tidak pernah ditindaklanjuti secara ilmiah, independen, dan transparan, adalah peristiwa gempa bumi minor, pencemaran air bersih, dan sebaran gas beracun yang diduga berasal dari operasi pembangkit panas bumi di kawasan tersebut.
Bank Dunia sebagai pendana proyek pembangkit listrik panas bumi juga pernah mengalami penolakan dari warga Kampung Nunang, Desa Wae Sano, Manggarai Barat, Flores.
Meskipun proyek masih sekadar rencana, penolakan warga Wae Sano nyaris serupa dengan alasan warga Karang Tengah, Dieng. Melalui juru bicara warganya, Yosef Erwin Rahmat, warga Wae Sano menolak proyek pembangkit listrik panas bumi yang direncanakan berdiri di kampungnya.
Selain alasan mata pencaharian mereka yang terancam dan nilai-nilai tradisi yang bergenerasi, kejadian semburan lumpur panas di Mataloko yang tidak jauh dari Wae Sano, telah menjadi pemicu tambahan kekhawatiran warga sehingga menolak proyek tersebut.
Warga Wae Sano lalu bersurat dan melakukan beberapa kali pertemuan dengan delegasi Bank Dunia di Jakarta, hingga beberapa kali melakukan protes massal di kantor pemerintahan setempat. Penolakan warga Wae Sano akhirnya memaksa Bank Dunia menghentikan pendanaan proyek untuk sementara.
Namun, walaupun Bank Dunia menghentikan aktivitas proyek pembangkit listrik panas bumi di Wae Sano, pemerintah tetap berencana melanjutkan proyek melalui perusahaan BUMN, PT Geo Dipa.
Kasus mengerikan lainnya adalah peristiwa ledakan dan sebaran gas beracun berulang yang terus menelan korban jiwa di Mandailing Natal, baik dari pihak warga lokal maupun pekerja.
Penyebabnya di duga dari pembangkit listrik panas bumi PT Sorik Marapi Geothermal Power (PT SMGP) milik KS ORKA Group, perusahaan asal Tiongkok. Meski berkali-kali menelan korban jiwa, aktivitas PT SMGP masih dibiarkan beroperasi dan tidak pernah ditutup.
Proyek ekstraksi panas bumi bagi warga lokal seperti di Dieng dan Mandailing Natal bagai ancaman yang siap hadir kapanpun dalam kehidupan warga.
Di sisi lain, bentuk kerugian seperti pencemaran air bersih, risiko sebaran gas beracun, hingga bencana turunan lainnya tidak pernah diperiksa secara serius oleh pemerintah, perusahaan, maupun badan independen.
Perlunya Investigasi Independen
Sebelum membuka investasi pembangkit panas bumi di Indonesia, maka terdapat dua hal yang harusnya dilakukan pemerintah dalam merespon dampak panas bumi.
Pertama, pemerintah harus meninjau ulang apa yang dimaksud dengan energi bersih. Bukan hanya menyangkut tentang syarat rendah emisi di udara, namun kriteria ‘bersih’ dari konflik sosial, bencana dan kerusakan, baik di darat maupun ekosistem perairan.
Melihat berbagai dampak proyek yang terjadi, maka pembangkit listrik panas bumi harus dikeluarkan dari kategori energi bersih, dan pendanaannya perlu dialihkan pada proyek pembangkit listrik yang bisa dikelola dan dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.
Kedua, Pemerintah harus melakukan investigasi independen, jujur, dan transparan mengenai berbagai dampak akibat adanya pembangkit panas bumi yang telah terjadi di beberapa wilayah.
Termasuk merespon aduan dari kelompok pemerhati dan masyarakat Sipil mengenai bahaya panas bumi yang dapat memicu gempa, dan tidak hanya sekadar menganggap tuduhan oleh pemerintah maupun perusahaan.
Jika terbukti keberadaan proyek panas bumi berbahaya bagi kehidupan warga sekitar, maka ancaman pembangkit listrik panas bumi yang sudah beroperasi maupun yang masih dalam tahap perencanaan harus dihentikan.
*Wishnu Try Utomo, Kepala Advokasi Tambang dan Energi, Celios. Artikel ini adalah opini penulis
***
Foto utama: Kepulan asap dari wellpad panas bumi di Desa Kepakisan, dataran tinggi Dieng. Doc. CELIOS.
Warga Was-was Ngungsi ke Hutan, Mahasiswa Protes Eksplorasi Panas Bumi di Pulau Buru