- Ketua Adat Dolok Parmonangan Ompu Umbak Siallagan, Sorbatua Siallagan, divonis dua tahun penjara dan denda Rp1 miliar subsider 6 bulan kurungan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Simalungun, Sumatera Utara, Rabu [14/8/2024],
- Sorbatua didakwa atas tuduhan pengerusakan dan penguasaan lahan di Huta Dolok Parmonangan, Nagori Pondok Buluh, Kabupaten Simalungun yang izin konsesinya dikuasai PT Toba Pulp Lestari [TPL].
- Sorbatua menegaskan, lahan yang dikelolanya merupakan wilayah adat Ompu Umbak Siallagan dan sudah 11 generasi mengelola lahan adat warisan leluhur . Jauh sebelum Republik Indonesia merdeka tahun 1945.
- Peta wilayah adat Ompu Umbak Siallagan telah teregistrasi dan memperoleh sertifikat dari Badan Registrasi Wilayah Adat BRWA. Artinya, data sosial dan wilayah telah terverifikasi sesuai dengan kondisi lapangan.
Ketua Adat Dolok Parmonangan Ompu Umbak Siallagan, Sorbatua Siallagan, divonis dua tahun penjara dan denda Rp1 miliar subsider 6 bulan kurungan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Simalungun, Sumatera Utara.
“Terdakwa Sorbatua Siallagan didakwa atas tuduhan pengerusakan dan penguasaan lahan di Huta Dolok Parmonangan, Nagori Pondok Buluh, Kabupaten Simalungun yang izin konsesinya dikuasai PT Toba Pulp Lestari [TPL],” ujar Ketua Majelis Hakim Dessy Ginting, Rabu [14/8/2024].
Sebelumnya, Senin [29/7/2024], Jaksa Penuntut Umum [JPU] Yoyok Hadi Syahputra menuntut Sorbatua empat tahun penjara denda Rp1 miliar subsider 6 bulan kurungan. Sorbatua didakwa membakar hutan dan menduduki kawasan hutan tanpa izin.
Sorbatua menegaskan, lahan yang dikelolanya merupakan wilayah adat Ompu Umbak Siallagan.
“Sudah 11 generasi kami mengelola lahan adat warisan leluhur itu,” terangnya, usai pembacaan vonis hakim, dikutip dari situs aman.org.
Boy Raja Marpaung, penasihat hukum yang tergabung dalam Tim Advokasi Masyarakat Adat Nusantara [TAMAN], menyatakan pihaknya tidak menerima putusan tersebut.
“Sorbatua jelas tidak menduduki kawasan hutan negara tapi wilayah adatnya. Kami akan mengajukan banding atas putusan tidak adil tersebut,” jelasnya, Rabu [14/8/2024].
Rudiman Siallagan, tokoh adat Dolok Parmonangan, juga menyatakan kekecewaannya terhadap putusan tersebut. Ia mengatakan, tindakan Ketua Adat Dolok Parmonangan semata-mata untuk mempertahankan hak adat dan tanah leluhur yang menjadi identitas mereka.
“Keputusan sangat mengecewakan karena tidak mempertimbangkan sejarah panjang kami sebagai pemilik sah tanah ini. Kami akan terus berjuang untuk mendapatkan keadilan dan pengakuan atas hak kami,” ujarnya.
Baca: Konflik dengan PT TPL Berlarut, Masyarakat Adat Tuntut Pembebasan Sorbatua Siallagan
Tidak ada pembelaan
Nurleli Sihotang, kuasa hukum terdakwa dari Bantuan Hukum dan Advokasi Rakyat Sumatera Utara [BAKUMSU], mengatakan jaksa sama sekali tidak mempertimbangkan bahwa Komunitas Adat Ompu Umbak Siallagan telah berdiam di wilayah itu, jauh sebelum izin konsesi PT TPL diberikan negara.
“Meskipun hukum Indonesia menganut Asas Non-Retroaktif, hal tersebut tidak membenarkan penggunaan dasar hukum yang sudah tidak berlaku.”
Yance Arizona, ahli hukum tata negara dan hak-hak masyarakat adat dari Universitas Gadjah Mada, menyatakan konflik tanah antara TPL dan masyarakat adat terjadi karena negara abai terhadap hak-hak masyarakat adat.
Putusan MK 35 Tahun 2012 menegaskan bahwa hutan adat bukan hutan negara, Dengan demikian negara seharusnya hadir untuk menyelesaikan konflik tersebut. Untuk kawasan Danau Toba yang berkonflik dengan TPL, Menteri KLHK telah menerbitkan 5 SK penetapan hutan adat dan mengeluarkan dari wilayah konsesi TPL.
“Saat ini, Masyarakat Adat Ompu Umbak Siallagan telah mengajukan permohonan kepada KLHK agar wilayah adat mereka dikeluarkan dari konsesi perusahaan,” jelasnya.
Permohonan tersebut telah diproses KLHK dengan menerbitkan SK No. 352/MENLHK/SETJEN/KUM.1/6/2021 tentang langkah-langkah penyelesaian permasalahan hutan adat dan pencemaran limbah industri di lingkungan Danau Toba. Seperti diketahui, konflik masyarakat Adat Ompu Umbak Siallagan dengan TPL menjadi prioritas penyelesaian.
Oleh karena itu, menurut ahli seharusnya pendekatan penyelesaian yang dilakukan adalah hukum administrasi, bukan pidana.
“Jika di kemudian hari ada penetapan hutan adat dari KLHK, sementara Sorbatua Siallagan telah mendapatkan sanksi pidana, maka pengadilan telah menghukum orang yang tidak bersalah,” tegas Yance.
Baca juga: Tuntut Tutup PT TPL, Aliansi: Segera Sahkan RUU Masyarakat Adat
Wilayah adat telah teregistrasi
Aldya Saputra, ahli pemetaan wilayah adat dari Badan Registrasi Wilayah Adat [BRWA], yang hadir di persidangan mengatakan bahwa pihaknya sering dijadikan rujukan KLHK terkait pemetaan wilayah adat.
“Peta wilayah adat Ompu Umbak Siallagan telah teregistrasi dan memperoleh sertifikat dari BRWA. Artinya, data sosial dan wilayah telah terverifikasi sesuai dengan kondisi lapangan,” jelasnya.
Komunitas Adat Ompu Umbak Siallagan telah mendiami wilayah adat mereka selama 11 generasi. Jauh sebelum Republik Indonesia merdeka pada 1945.
Pada 1982, pemerintah menetapkan kawasan tersebut sebagai kawasan hutan dan memberikan izin konsesi hutan kepada TPL tahun 1993. Dampaknya, wilayah Adat Dolok Parmonangan yang luasnya sekitar 851 hektar, tumpang tindih dengan konsesi TPL seluas 428 hektar.
Penangkapan Sorbatua Siallagan berdasarkan pengaduan TPL dengan Laporan Polisi (LP)/B/717/VI/2023/SPKT/Polda Sumatera Utara, 16 Juni 2023. Orang yang melaporkan adalah Reza Adrian, Litigation Officer TPL, dengan alasan Sorbatua Siallagan diduga melakukan pengerusakan dan penebangan pohon eucalyptus perusahaan.
Sorbatua juga dilaporkan dengan dugaan membakar lahan yang ditanami perusahaan serta menduduki kawasan hutan secara tidak sah, sekitar 162 hektar.