- Pekerja atau buruh alami kecelakaan kerja di pabrik-pabrik di kawasan industri nikel di Sulawesi Tengah, terus berulang. Kali ini, pekerja PT Indonesia Huabao Industrial Park (IHIP) atau PT Baoshuo Taman Industri Investment Group (BTIIG) mengalami kecelakaan kerja saat pengolahan biji nikel, 18 Agustus lalu di Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah. Satu pekerja meninggal dunia. Dugaan sementara, peristiwa ini terjadi akibat debu panas calcine dari pembuangan.
- Henry Foord Jebs, Ketua Serikat Buruh Industri Pertambangan dan Energi (SBIPE) Morowali, menyayangkan pertanggungjawaban perusahaan minim dalam kecelakaan, termasuk ledakan besar tahun lalu. Perusahaan seharusnya audit melalui tim independen yang melibatkan serikat buruh.
- Catatan Trend Asia, sejak 2015-2023, terjadi 93 kecelakaan kerja di smelter nikel di Indonesia. ITSS, penyumbang tertinggi kematian pekerja, termasuk dalam insiden ledakan pada Desember 2023 yang mengakibatkan 21 korban tewas dan 30 luka-luka.
- Selaras dengan penelitian dari China Labor Watch (CLW) yang terbit 22 Desember 2023. Laporan itu menyelidiki rencana produksi nikel dengan menyelami praktik tenaga kerja di proyek industri produksi nikel terbesar di Indonesia yang didukung modal Tiongkok. Dalam laporan itu menyebut, hampir satu dekade, kasus kematian di tempat kerja yang mengerikan terus berulang terjadi industri nikel di Indonesia. Praktik keselamatan di bawah standar menjadi penyebab utama serangkaian kecelakaan dan kematian di tempat kerja itu.
Pekerja atau buruh alami kecelakaan kerja di pabrik-pabrik di kawasan industri nikel di Sulawesi Tengah, terus berulang. Kali ini, pekerja PT Indonesia Huabao Industrial Park (IHIP) atau PT Baoshuo Taman Industri Investment Group (BTIIG) mengalami kecelakaan kerja saat pengolahan biji nikel, 18 Agustus lalu di Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah. Satu pekerja meninggal dunia. Dugaan sementara, peristiwa ini terjadi akibat debu panas calcine dari pembuangan.
Informasi yang diterima Mongabay menyebutkan, kedua pekerja IHIP mengalami luka bakar serius setelah terkena debu panas.
Satu pekerja, Sakkaria, warga Topogaro, menderita luka bakar di kaki kiri dan kanan sampai paha. Saat ini korban mendapatkan perawatan di Puskesmas Wosu. Sedangkan pekerja Tiongkok, Shi Xiaimin, luka bakar 80-90%. Korban sempat dirawat di RSUD Bungku dan akhirnya meninggal dunia.
Cipto Rustianto, Eksternal Manager IHIP, saat dikonfirmasi membenarkan peristiwa ini.
Perusahaan, katanya, sudah berupaya penyelamatan, melalui perawatan di rumah sakit daerah. “Saat ini, kontraktor kami, mengupayakan layanan terbaik kepada mendiang, dan memastikan haknya terpenuhi” tulis Cipto.
“Kami berduka cita mendalam kepada karyawan yang meninggal dan keluarga korban atas musibah yang terjadi,” kata Hasrul, Humas IHIP/ BTIG, Senin (19/8/24).
Informasi yang dihimpun kejadian berawal saat Sakkaria kembali kerja usai istirahat siang. Di Area Kilen, Shi Xiaimian mengajak Sakkaria membantu mengukur tiang HBIM.
Setelah mengukur tiang HBIM, keduanya menunggu kendaraan loader mundur terlebih dulu agar bisa menyeberang. Saat itu, Sakkaria sudah merasakan panas hingga langsung bergeser tidak lagi menunggu loader mundur.
Sedang Shi Xiaimian, tidak bergeser karena masih menunggu kendaraan loader mundur terlebih dahulu. Saat itu, juga keluar debu panas calcine dari pembuangan.
Spontan, Sakkaria berlari ke tungku 8 untuk mengamankan diri, sedangkan Xiaimian sempat bergeser sekitar 10 meter dari area pembuangan. Perusahaan langsung mengevakuasi korban ke klinik IHIP untuk pertolongan pertama.
AKBP Suprianto, Kapolres Morowali, membenarkan insiden ini. Pasca kejadian dia menurunkan Satreskrim untuk olah lokasi kejadian dan pengumpulan bahan keterangan terkait insiden itu.
Peristiwa yang menimpa kedua karyawan ini bukan insiden pertama, sudah berulang kali. Antara lain, pada 24 Desember 2023, sebanyak 13 pekerja tewas mengenaskan dan 46 orang luka-luka di kawasan industri nikel PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), Morowali, Sulawesi Tengah.
Ada juga kejadian 27 April 2023, Arif dan Masriadi, dua pekerja dumping PT Indonesia Guang Ching Nickel and Stainless Industry, juga di IMIP mengalami kecelakaan kerja.
Henry Foord Jebs, Ketua Serikat Buruh Industri Pertambangan dan Energi (SBIPE) Morowali, menyayangkan pertanggungjawaban perusahaan minim dalam kecelakaan, termasuk ledakan besar tahun lalu. Menurut dia, perusahaan seharusnya audit melalui tim independen yang melibatkan serikat buruh.
Insiden kecelakaan kerja terus berulang ini, katanya, memberi pertanyaan terkait klaim pemerintah bahwa hilirisasi nikel meningkatkan kemakmuran masyarakat lokal/adat.
Dia bilang, korban tragedi ITTS 2023 pun masih belum tuntas ditangani perusahaan, terjadi lagi kecelakaan kerja serupa.
“Kami sedang mendampingi para korban untuk memastikan pemenuhan hak mereka yang sampai saat ini masih belum terpenuhi.”
Layanan kesehatan terbatas
Selain itu, katanya, buruh mengalami kesulitan menerima pelayanan kesehatan karena terdampak sistem kuota klinik perusahaan di Morowali, salah satunya di klinik IMIP.
Sistem kuota ini, katanya, menimbulkan kerugian bagi buruh karena jumlah kuota pelayanan pasien tidak sebanding buruh para pekerja di IMIP.“Kemungkinan buruh tidak mendapatkan hak pelayanan kesehatan cukup besar dan membuat para buruh harus berobat ke puskesmas atau klinik kesehatan lain.” Menurut Klinik IMIP, kuota layanan pasien sekitar 540 orang per hari. Kuota pasien untuk jadwal pengobatan pagi 180 orang, begitu juga pasien siang dan malam masing-masing 180 orang.
Penetapan kuota itu, atas pertimbangan kesesuaian kapasitas fasilitas dan tenaga medis di Klinik IMIP. Meski demikian, sistem kuota membuat beberapa pasien tidak mendapatkan nomor antrian karena kuota telah habis.
Sayangnya, kata Henry, klinik lain di sekitar IMIP sangat terbatas, hanya puskesmas bisa melayani pasien dengan jadwal terbatas dari pagi hingga sore. Sedang penerapan sistem jam kerja panjang dari perusahaan di IMIP menyebabkan buruh mudah sakit.
“Sementara kapasitas pelayanan kesehatan baik yang disediakan Klinik IMIP maupun pemerintah terbatas. Lagi-lagi yang dirugikan buruh, terus kehilangan hak pelayanan kesehatannya,” kata Henry.
Masalah akses pelayanan kesehatan karena sistem kuota berimbas pada buruh yang ingin mengesahkan surat keterangan sakit (SKS) dari dokter di luar Klinik IMIP. Semua perusahaan yang beroperasi di IMIP hanya memberikan izin tidak bekerja karena sakit kalau buruh memiliki SKS yang dikeluarkan Klinik IMIP atau dengan stempel basah Klinik IMIP, meski buruh berobat di klinik lain.
Dengan begitu, katanya, kalau syarat pengesahan tidak terpenuhi, ketidakhadiran karena sakit dianggap mangkir. Banyak buruh tidak bekerja karena sakit malah dianggap mangkir oleh perusahaan karena tak memiliki SKS Klinik IMIP.
Meskipun IMIP bekerjasama dengan apotek dan klinik lain di sekitar kawasan IMIP untuk menjadi alternatif pengobatan bagi buruh, katanya, kerjasama ini berdampak pada aspek finansial. Buruh, katanya, harus mengeluarkan biaya tambahan ketika mengakses obat di apotik.
Menurut dia, persyaratan izin tak bekerja karena sakit yang diterapkan di perusahaan di IMIP hanya merugikan buruh kalau perusahaan tidak menyediakan fasilitas dan sistem kesehatan memadai. Setidaknya, untuk melayani lebih 50.000 buruh. Dia mendesak, perusahaan di kawasan IMIP harus mempermudah perkara administrasi bagi buruh yang sakit.
“Banyak buruh sakit dan tidak mau berobat dan antri di Klinik IMIP. Akhirnya mereka datang ke apotek yang sudah bekerja sama dengan IMIP. Biasanya apotik mengeluarkan SKS dan buruh membayar antara Rp75.000-Rp100.000.”
Henry meminta, IMIP atau perusahaan nikel lain segera memperbaiki dan menambah fasilitas serta tenaga kesehatan di klinik mereka. Dengan begitu, buruh bisa mendapatkan layanan kesehatan yang baik. Selain itu, juga penghapuan kuota pelayanan dan mendorong Klinik IMIP aktif selama 24 jam.
“Kerjasama dengan fasilitas kesehatan lain yang menuntut bayaran untuk menerima SKS perlu ditiadakan. Perusahaan juga harus menghentikan pemberlakuan jam kerja panjang yang berdampak pada kesehatan dan keselamatan buruh.”
Aturan lemah, terus berulang
Kecelakaan kerja di kawasan industri nikel di Indonesia kerap terjadi. Hampir setiap bulan, ada pekerja yang menjadi korban program hilirisasi nikel yang kerap jadi kebanggaan Presiden Joko Widodo (JokowI). Korban dari luka-luka sampai meninggal dunia.
Pada 13 Juni lalu, kecelakaan tragis terjadi di PT Indonesia Tsingshan Stainless Steel (ITSS) di PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), Morowali, Sulawesi Tengah. Setidaknya, dua pekerja semburan uap panas dalam pembersihan tungku Feronikel ITSS. Keduanya luka bakar serius.
Catatan Trend Asia, sejak 2015-2023, terjadi 93 kecelakaan kerja di smelter nikel di Indonesia. ITSS, penyumbang tertinggi kematian pekerja, termasuk dalam insiden ledakan pada Desember 2023 yang mengakibatkan 21 korban tewas dan 30 luka-luka.
Arko Tarigan, Juru Kampanye Energi Trend Asia mengatakan, data mereka hanya yang publis di media. Banyak kecelakaan kerja di Industri nikel di Indonesia yang tidak terpublikasi.
Para pekerja industri nikel ini, katanya, rata-rata dilarang mempublikasikan kecelakaan kerja perusahaan.
“Jika informasi kecelakaan kerja itu tercium sampai keluar, para pekerja ini akan mendapatkan peringatan pertama hingga dipecat. Ini berdasarkan investigasi yang kita lakukan,” katanya kepada Mongabay, 23 Agustus.
Ironisnya, dalam kontrak perjanjian kerja bersama (PKB) antara perusahaan dan pekerja, ada klausal tertulis “tidak boleh menyebarkan informasi sensitif yang bisa jadi bumerang bagi perusahaan.” Jadi, banyak kasus kecelakaan kerja tidak terungkap ke publik.
Selaras dengan penelitian dari China Labor Watch (CLW) yang terbit 22 Desember 2023. Laporan itu menyelidiki rencana produksi nikel dengan menyelami praktik tenaga kerja di proyek industri produksi nikel terbesar di Indonesia yang didukung modal Tiongkok.
Dalam laporan itu menyebut, hampir satu dekade, kasus kematian di tempat kerja yang mengerikan terus berulang terjadi industri nikel di Indonesia. Praktik keselamatan di bawah standar menjadi penyebab utama serangkaian kecelakaan dan kematian di tempat kerja itu.
CLW menyebut, ada pola praktik ketenagakerjaan buruk secara sistematis dan terlembagakan, serta ada pengabaian disengaja atas keselamatan dan nyawa pekerja. CLW juga temukan, ada berbagai penipuan selama proses perekrutan tenaga kerja, dan praktik bisnis yang sistematis melemahkan pekerja termasuk praktik subkontrak.
Temuan lain, ada manipulasi upah yang sistematis, praktik ilegal, kontrak ilegal, penahanan paspor, ada jam kerja panjang. Ada juga keamanan tempat kerja buruk, kondisi tempat tinggal buruk, pelanggaran hak untuk berkumpul, mandat lembur, serta intimidasi dan kekerasan fisik.
Semua masalah ini, kata CLW, melanggar standar perburuhan internasional dan sistematis melemahkan pekerja. Kondisi itu, membuat mereka merasa tak berdaya dan tidak mau atau tidak mampu keluar dari masalah.
“Masalah-masalah yang dialami pekerja ini juga mengarah pada kerja paksa, sesuai definisi Organisasi Ketenagakerjaan Internasional (ILO),” tulis CLW dalam laporannya.
Misal, para pekerja– dengan beberapa pengecualian – bekerja selama sembilan hingga 10 jam sehari, enam hari seminggu atau lebih, wajib bekerja lembur, dan tak dapatkan jaminan hari libur. Kalau ada protes, jalur hukum dan jalur formal lain seperti tidak berguna. CLS bilang, para pekerja kerap harus menanggung pelecehan.
Ironisnya, para pekerja seperti di IMIP dan Virtue Dragon Nickel Industry (VDNI) dibatasi untuk berkomunikasi ke pihak luar, terutama ke media dan LSM. Pasukan keamanan yang mengenakan seragam militer atau polisi di dua kawasan industri ini lebih jadi pengawas pekerja atas pelanggaran dibandingkan kekuatan perlindungan mereka.
“Para pekerja tidak dapatkan tawaran perawatan medis bagi cedera akibat kerja dan penghentian proyek atau produksi tanpa kompensasi. Akibatnya, selama periode itu, banyak mereka dilaporkan memilih bunuh diri,” tulis CLW.
Menurut Arko, insiden berulang ini seharusnya tidak terjadi kalau ada penegakan mekanisme keselamatan dan kesehatan kerja (K3). Seharusnya, kecelakaan kerja yang mematikan pada 24 Desember lalu memberikan pelajaran cukup untuk perbaikan kinerja K3.
Peristiwa berulang ini, katanya, menitikberatkan masalah impunitas perusahaan dalam isu keamanan, termasuk atas insiden-insiden yang lalu.
Seharusnya, pemerintah membuat perusahaan jera, bukan ganti rugi, apalagi jadikan buruh sebagai kambing hitam melalui pemidanaan.
“Kepolisian, kementerian, dan dinas terkait harus memaksa perubahan praktik industri secara transparan,” kata Arko.
Namun, katanya, pemerintah sampai saat ini tidak aktif mengevaluasi atau monitoring perusahaan industri nikel Indonesia yang terus memakan korban jiwa.
Dia bilang, pengawasan K3 dari kementerian saja tidak sebanding dengan pekerja dan perusahaan saat ini.
“Ada kelalaian dari pemerintah hingga kecelakaan kerja terus terjadi. Terlebih lagi, Undang-undang yang mengatur K3 saat ini sudah terlalu zadul (zaman dulu/tua) yang dibuat pada 1970.”
Aturan itu adalah UU No. 1/1970 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja. UU itu, katanya, hanya memberikan sanksi kepada pelaku dan hanya satu bulan penjara dengan denda kecil. Dengan UU itu, tidak membuat efek jera bagi pelaku atau korporasi yang melanggar K3.
Padahal, kata dia, kecelakaan kerja itu merupakan satu pidana korporasi yang harus diberikan sanksi jelas, atau kena hukum pidana. Tak heran, puluhan orang kehilangan nyawa dampak K3 tak maksimal.
Dia bilang, rata-rata pekerja yang mengalami kecelakaan kerja melibatkan api, panas, tabrakan, penambahan jam kerja.
“Ini eksploitasi perusahaan yang memperkerjakan para pekerja di luar kekuatan fisik yang wajib dilakukan. Ini juga menyebabkan kecelakaan kerja karena kecapean.”
Catur Widi dari Rasamala Hijau menyatakan, hal serupa. Risiko kesehatan dan keselamatan kerja buruh di IMIP karena mereka bekerja di sektor dan jenis proses produksi berbahaya.
Risiko itu, katanya, misal, pada penggunaan alat dan kendaraan berat maupun bahan-bahan berbahaya dan mudah terbakar serta meledak seperti batubara, oxy maupun bahan kimia lain.
“Standar dan sistem keselamatan pun harus diawasi dengan ketat terutama Pemerintah Indonesia. Jika terus berulang, pemeriksaan dan audit menyeluruh bisa dilakukan di IMIP termasuk menghentikan sementara perusahaan kalau memang diperlukan” katanya melalui rilis yang diterima Mongabay.
Tak hanya itu, kata Arko, pemerintah yang menomorsatukan investasi tanpa mempertimbangkan prinsip kehati-hatian membuat perusahaan beroperasi ugal-ugalan. Apalagi, proyek hilirisasi nikel ini masuk sebagai proyek strategis nasional (PSN) dan jadi obyek vital nasional. Status ini, katanya, akal-akalan hanya untuk memberikan karpet merat kepada investasi.
Dengan begitu, katanya, pemerintah secara tidak langsung berkontribusi atas kecelakaan kerja yang terus berulang di industri ekstraktif ini.
********