- Tuna, jadi salah satu produk andalan dalam industri perikanan. Ikan dengan daya jelajah tinggi ini terus diburu hingga menghadapi berbagai tekanan, terutama jenis sirip biru selatan (southern bluefin tuna/Thunnus maccoyii). Status sebagai ikan termahal di muka bumi menjadikan SBT salah satu komoditas buruan, termasuk oleh Indonesia. Bahkan, merujuk data yang rilis dari Komisi untuk Konservasi Tuna Sirip Biru Selatan (CCSBT), Indonesia termasuk negara dengan armada terbanyak dibanding negara-negara lain, seperti Australia, Afrika Selatan atau Jepang.
- Tantangan utama dalam upaya konservasi tuna sirip biru selatan adalah tekanan penangkapan masih tinggi, yang menyebabkan pemulihan setok berjalan lambat.
- Harga fantatis menyebabkan SBT rawan alami penangkapan ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur (illegal, unreported and unregulated fishing/IUUF). Ada ratusan kapal dari berbagai negara masuk dalam daftar IUUF List per Februari 2024. Khusus Indonesia, sedikitnya ada delapan kapal masuk daftar merah.
- Abdo Suhufan, Koordinator DFW Indonesia, mengatakan, pemerintah perlu melakukan upaya-upaya meningkatkan peluang penambahan kuota dan catch limit di RFMO, termasuk untuk SBT dengan mempromosikan tata kelola perikanan tuna berkelanjutan dan bertanggung jawab.
Sore akhir Juni lalu, kapal ikan baru bongkar muat di Pelabuhan Benoa, Bali. Ada tuna sirip kuning, mata besar, ikan pedang bahkan ikan yang tergolong super mahal, tuna sirip biru selatan (southern bluefin tuna/SBT).
“Itu hasil 11 bulan melaut di Samudera Hindia,” kata Andika, awak kapal perikanan tuna.
SBT diketahuinya sebagai tuna paling mahal. Bahkan, dengan ukuran tertentu, harga satu SBT bisa mencapai ratusan juta sampai miliaran rupiah. “[Kali ini] ada 30-an yang sirip birunya,” katanya.
Tuna, jadi salah satu produk andalan dalam industri perikanan. Ikan dengan daya jelajah tinggi ini terus diburu hingga menghadapi berbagai tekanan, terutama jenis sirip biru selatan (southern bluefin tuna/Thunnus maccoyii).
Sampai saat ini, SBT tercatat sebagai ikan konsumsi paling mahal di muka bumi dengan pasar utama sashimi Jepang. Rekor harga penjualan SBT di Jepang pernah mencapai hingga Rp43 miliar dengan berat lebih 200 kilogram.
Status sebagai ikan termahal di muka bumi menjadikan SBT salah satu komoditas buruan, termasuk oleh Indonesia. Bahkan, merujuk data yang rilis dari Komisi untuk Konservasi Tuna Sirip Biru Selatan Commmission for the Conservation of Southern Bluefin Tuna (CCSBT), yang fokus pada konservasi tuna sirip biru, Indonesia termasuk negara dengan armada terbanyak dibanding negara-negara lain, seperti Australia, Afrika Selatan atau Jepang.
Pada 2022, kapal berizin penangkap SBT tercatat 170, bertambah 20 dari tahun sebelumnya (2021) sebanyak 150 kapal. Jepang yang berada di urutan kedua memiliki 68 armada 2022, turun dari tahun sebelumnya (2021) tertulis 77 kapal.
Pada 2023, CCSBT melaporkan bahwa setok ikan ini menunjukkan tanda-tanda pemulihan, dengan peningkatan 5% per tahun sejak titik terendah pada 2009. Meskipun begitu, angka ini masih berada di bawah tingkat yang diperkirakan mampu menghasilkan tangkapan maksimum.
CCSBT menargetkan, pemulihan setok hingga 30% dari tingkat yang tidak ditangkap pada 2035. Untuk mencapai target ini, berbagai negara anggota CCSBT, termasuk Australia, Jepang, dan Selandia Baru, menerapkan kuota tangkapan ketat serta meningkatkan tata kelola untuk mendukung pemulihan setok.
Tantangan utama dalam upaya konservasi tuna sirip biru selatan adalah tekanan penangkapan masih tinggi, yang menyebabkan pemulihan setok berjalan lambat.
Menurut data CCSBT, pada 2022, total tangkap SBT global mencapai 17.139 ton. Selama 1980-an, penangkapan berlebih mencapai 80.000 ton per tahun.
Australia, Jepang, Korea, Taiwan dan Indonesia tercatat sebagai lima negara penangkap SBT terbanyak. Data terbaru pada 2022 yang CCSBT rilis menyebut, Australia menangkap sedikitnya 6.226 ton, disusul Jepang 5.887 ton, Taiwan 1.318 ton, Korea 1.173 ton dan Indonesia 1.031 ton.
Sejak pertama pendataan pada 1952-1974, tercatat hanya ada dua alat tangkap yang dipakai menangkap SBT, yakni, rawai tuna (longline) dan pole and line. Setelah itu, berkembang menjadi tujuh alat tangkap meliputi, longline, pole and line, purse seine, troll, hand line, gillnet dan lainnya. Bahkan, terhitung sejak 2000, pole and line nyaris tak dipakai lagi karena beralih ke purse seine.
Setelah pertemuan tahunan XVIII pada 2011, CCSBT sepakat menetapkan kuota tangkapan global yang kemudian didistribusikan kepada negara anggota atau non anggota yang bekerjasama dengan CCSBT. Hal itu untuk memastikan setok SBT mencapai target pemulihan.
Berdasar protokol manajemen pengelolaan yang disepakati, pengaturan kuota berlaku untuk periode tiga tahunan. Misal, untuk kuota tangkap tahun 2018-2020 adalah 17.647 ton, tahun 2021 hingga 2023 juga sebesar 17.647 ton, dan TAC 2024-2026 adalah 20.647 ton.
Secara berurutan, Australia merupakan negara dengan kuota terbanyak untuk periode 2004-2006, mencapai 7.295 ton. Disusul Jepang 7.247 ton, Korea dan Taiwan masing-masing 1.468 ton, Indonesia 1.336 ton (tidak termasuk 91 ton yang harus dikembalikan atas kelebihan tangkapan tahun lalu). Lalu, Selandia Baru 1.288 ton, Afrika Selatan 527 ton dan Uni Eropa 13 ton.
Hasil tangkapan SBT sebagian besar dibekukan pada suhu sangat rendah (-60C) dan dibongkar di pelabuhan perantara dan dikirim ke pasar di Jepang atau dibongkar langsung di pasar di Jepang.
Komisi Konservasi Tuna Biru Selatan (CCSBT) menyatakan, SBT merupakan pelagis besar yang mampu berenang hingga 43 mil per jam. SBT hidup di laut lepas dan dapat ditemukan di seluruh belahan bumi selatan, terutama di perairan antara 30-50 derajat selatan. Satu-satunya, daerah perkembangbiakan di Samudra Hindia, tenggara Pulau Jawa.
SBT dapat hidup hingga 40 tahun, mencapai berat lebih 200 kilogram dengan panjang lebih dari dua meter. SBT betina dewasa menghasilkan beberapa juta atau lebih telur dalam satu periode pemijahan. Perkembangbiakan berlangsung dari September hingga April di perairan hangat di selatan Jawa.
Ikan-ikan muda bermigrasi ke selatan menyusuri pantai barat Australia. Selama bulan-bulan musim panas (Desember-April), mereka cenderung berkumpul di dekat permukaan di perairan pesisir di lepas pantai selatan Australia dan menghabiskan musim dingin mereka di perairan laut yang lebih dalam dan beriklim sedang. Setelah berusia lima tahun, mereka jarang ditemukan di perairan permukaan dekat pantai.
SBT dapat mentoleransi berbagai macam suhu air karena sistem peredaran darah yang mampu menjaga suhu tubuh lebih hangat daripada suhu air di sekitar. Ikan ini juga berkemampuan menyelam hingga lebih dari 500 meter.
Rawan pelanggaran
Harga fantatis menyebabkan SBT rawan alami penangkapan ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur (illegal, unreported and unregulated fishing/IUUF).
Menurut data Commmission for the Conservation of Southern Bluefin Tuna (CCSBT), selatan, ada banyak kapal terlibat dalam penangkapan tidak sesuai regulasi. Pada 2006, peninjauan data menunjukkan, tangkapan tuna selama dua dekade sebelumnya kemungkinan besar sangat kurang dilaporkan (CCSBT). Data CCSBT memperlihatkan, ada perbedaan signifikan antara data yang diserahkan oleh Jepang kepada CCSBT dan organisasi perikanan regional lainnya.
Laman CCSBT juga mengumumkan ada ratusan kapal dari berbagai negara masuk dalam daftar IUUF List per Februari 2024. Khusus Indonesia, sedikitnya ada delapan kapal masuk daftar merah.
Adi Pradana, Humas Direktorat Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengaku belum mengetahui informasi soal kapal tuna asal Indonesia masuk daftar merah karena terindikasi melakukan IUUF. Namun, KKP memastikan akan melakukan penelusuran.
“Kami akan koordinasikan dengan Dirjen Perikanan Tangkap apakah sudah mendapat tembusan soal ini. Pasti akan kami tracing, mereka (kapal-kapal terindikasi IUUF) siapa mereka dan aktivitasnya dimana. Nanti kami telusuri, ” katanya saat dihubungi melalui aplikasi percakapan, 19 Agustus lalu.
Abdo Suhufan, Koordinator DFW Indonesia, mengatakan, sebagai anggota Regional Fisheries Management Organisations (RFMO), Indonesia memiliki kewajiban melaksanakan resolusi dan ketentuan yang ditetapkan. Misal, mendapatkan hak memanfaatkan tuna dan spesies sejenis tuna di area konvensi, kapal penangkap dan pengangkut harus memiliki izin.
“Jika kapal tidak mematuhi ketentuan-ketentuan RFMO yang mengikat secara hukum, kapal dapat dianggap melakukan kegiatan ilegal, unreported dan unregulated IUU fishing dan tidak boleh menangkap tuna dan spesies sejenis tuna untuk selanjutnya,” katanya dalam pernyataan tertulis.
Sejauh ini, katanya, terdapat berapa setok sumber daya ikan di RFMO yang alami kelebihan tangkap (overfishing), pemanfaatan penuh (dalam masa pemulihan). Namun, ada juga yang masih mungkin untuk pengembangan lebih lanjut.
Kelebihan tangkap, katanya, terjadi pada jenis madidihang dan tuna mata besar di Indian Ocean Tuna Commission/IOTC) atau Samudera Hindia. “Pada tuns jenis sirip biru selatan yang dikelola CCSBT ini yang sedang dalam masa pemulihan setelah mengalami overfishing sebelumnya.”
Sisi lain, guna menjaga keberlanjutan dan pemulihan status setok tuna dan spesies sejenis tuna, masing-masing RFMO mengatur tindakan pengendalian hasil tangkapan ikan berupa kuota dan batas tangkapan (catch limit).
Dalam IOTC, Indonesia memiliki catch limit madidihang pada 2024 sebesar 15,517 ton (ditangkap oleh purse seine dan longline industri). Untuk tuna mata besar, Indonesia mendapatkan catch limit sebesar 18.605 ton untuk 2024 (yang ditangkap oleh semua alat tangkap).
Untuk Western and Central Pasific Fisheries Commission (WCPFC) dengan teritori di Samudera Pasifik Barat dan Tengah, Indonesia memiliki catch limit tuna tropis (madidihang, tuna mata besar dan cakalang) untuk purse seine 70.820 ton, serta catch limit tuna mata besar untuk longline 5.889 ton. Untuk CCSBT, Indonesia memiliki kuota tangkapan tuna sirip biru selatan 1.336 ton untuk 2024.
Produksi madidihang Indonesia di wilayah kompetensi IOTC melebihi batasan hasil tangkapan, hingga memerlukan pendekatan kehati-hatian tinggi terutama dalam pengendalian tangkapan madidihang dan tuna mata besar. Begitu pula produksi tuna sirip biru selatan yang dikelola CCSBT pernah mengalami over-kuota.
Abdi mengatakan, kuota SBT Indonesia masih jauh dibanding negara lain seperti Australia maupun Jepang. Karena itu, pemerintah perlu melakukan upaya-upaya meningkatkan peluang penambahan kuota dan catch limit di RFMO, termasuk untuk SBT.
“Tentu dengan mempromosikan tata kelola perikanan tuna berkelanjutan dan bertanggung jawab.”
Mengapa mahal?
Tejo Darmono, peneliti dari Fisheries Resource Center Indonesia (FRCI) mengatakan, ada sejumlah alasan yang membuat SBT jadi ikan termahal di dunia.
“Yang jelas, ikan ini memang sulit ditangkap. Kalau pun tertangkap, mutunya juga belum tentu bagus,” katanya.
Kendati tercatat sebagai kelompok ikan daya jelajah jauh, ikan ini hanya ada di perairan 0-2 derajat, mendekati area Kutub Selatan dengan kedalaman lebih dari 300 meter, seperti kepiting alaska.
Belum lagi, katanya, teknologi penangkapan. Armada penangkap minimal perlu tali rawai sepanjang 2-4 kilometer untuk bisa mendapatkan SBT. Dengan perilaku SBT yang tidak suka bergerombol, berbeda dengan tuna jenis lain, peluang mendapatkan ikan tentu sangat kecil, 1:1.000.
“Padahal, sekali operasional, bisa saja set alat tangkapnya itu hilang atau putus. Plus biaya operasional harian kapal dan awaknya, itu sudah berapa. Jadi, ini juga menjadi alasan mengapa SBT begitu mahal karena hanya bisa didapat di daerah kutub,” kata Tejo.
*******