- Sebagian besar lahan basah Sungai Musi di Sumatera Selatan sudah mengering, Agustus 2024 ini. Warga mulai kesulitan mendapatkan air bersih, bahkan sebagian besar sumur warga juga kering.
- Kekeringan akibat kemarau juga melahirkan bencana kebakaran lahan rawa gambut. Beberapa titik sudah ditemukan kebakaran akibat pembukaan lahan dengan cara dibakar.
- Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika [BMKG] Sultan Mahmud Badarudin [SMB] II Palembang, memperkirakan selama Agustus, Sumatera Selatan mengalami hari tanpa hujan [HPH] dengan durasi 31-60 hari.
- Lahan basah Sungai Musi yang luasnya sekitar tiga juta hektar, dapat dikatakan sebagai situs kebakaran lahan. Selama 27 tahun terakhir, hampir setiap musim kemarau terjadi kebakaran di wilayah ini.
Sebagian besar wilayah lahan basah Sungai Musi di Sumatera Selatan, hingga pekan keempat Agustus 2024, sudah mengering. Bahkan, sebagian warga di Kabupaten Ogan Komering Ilir [OKI] dan Kabupaten Ogan Ilir [OI] sudah mengalami kesulitan mendapatkan air bersih.
“Sepekan terakhir, sumur kami sudah kering. Kami hanya mengandalkan air dari perusahaan air minum [PAM] untuk mandi dan mencuci. Kalau air untuk minum dan masak, kami sudah lama menggunakan air mineral galon,” kata Samsur [51], warga Kayuagung, Kabupaten Ogan Komering Ilir [OKI], Sumatera Selatan, Sabtu [24/8/2024].
Dijelaskan Samsur, kondisi ini sebetulnya bukan hal baru. “Hampir setiap tahun, saat musim kemarau, kami mengalami ini. Mungkin sudah berlangsung sepuluh tahun terakhir. Kalau musim penghujan, selain banjir, air sumur juga terkadang warnanya cokelat dan berbau.”
Kondisi yang sama juga dirasakan warga di daerah lain di Kabupaten OKI, seperti di Desa Bangsal, Kecamatan Pampangan dan Desa Perigi Talangnangka, Kecamatan Pangkalan Lampam.
“Hampir semua sumur milik warga sudah kering,” kata Eddy Saputra, warga Desa Perigi Talangnangka.
Sebagian besar masyarakat sudah membeli air dari Palembang yang dibawa menggunakan mobil tangki air.
“Kondisi kian kacau jika terjadi kebakaran di lahan gambut di desa kami, seperti tahun-tahun lalu. Bayangkan, sudah udara panas, sulit air, dan napas sesak karena kabut asap.”
Baca: Kemarau Datang, Fokus Kegiatan Jangan Hanya Mengatasi Kebakaran Hutan dan Lahan
Warga Desa Bangsal yang empat bulan lalu mengalami kerugian berupa kematian ratusan kerbau rawa, akibat penyakit yang disebabkan musim hujan panjang, kini mengalami ancaman baru berupa kekeringan.
“Kalau sumur, hampir semua milik warga sudah kering. Sungai bae airnya terus menyusut,” kata Muhammad Husin, warga Desa Bangsal.
Jika musim kemarau seperti tahun 2023 lalu, kata Husin, kerbau rawa yang dipelihara warga di Desa Bangsal, juga terancam kematian. “Kalau musim kemarau, kerbau-kerbau di sini kekurangan pakan. Banyak yang sakit atau mati, terutama anak kerbau dan induknya,” jelas Husin.
Sabaruddin [40], peternak kerbau rawa di Tanjung Senai, Tanjungraja, Kabupaten Ogan Ilir [OI], mencemaskan jika terjadi kemarau panjang.
“Kalau kemarau tahun ini lama, seperti 2023 lalu, jelas kerbau-kerbau di sini kekurangan pakan. Kerbau menjadi tidak sehat dan pertumbuhannya terganggu, kurus.”
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika [BMKG] Sultan Mahmud Badarudin [SMB] II Palembang, seperti dikutip dari rri.co.id, memperkirakan selama bulan Agustus, Sumatera Selatan, mengalami hari tanpa hujan [HPH] dengan durasi 31-60 hari.
“Sumatera Selatan akan mengalami hari tanpa hujan antaranya sangat pendek, panjang, hingga sangat panjang,“ ujar Siswanto, Kepala Stasiun BMKG SMB II Palembang, Kamis [15/8/2024].
Meskipun begitu, jelasnya, masih ada potensi hujan pada beberapa kabupaten dan kota di Sumatera Selatan selama musim kemarau ini.
Dia berharap, masyarakat mewaspadai cuaca panas yang mengakibatkan kekeringan dan berpotensi terbakarnya hutan dan lahan. Khususnya di lahan gambut, akibat pembukaan lahan dengan cara dibakar.
Baca: Jejak Kebakaran di Lahan Basah Sungai Musi
Ancaman kebakaran lahan
Kebakaran juga mulai terjadi di Sumatera Selatan. Meskipun bersifat kecil dan dapat dicegah, tapi potensi seperti tahun-tahun sebelumnya dapat terjadi. Sebab, sebagian masyarakat atau perusahaan perkebunan diduga masih membuka lahan dengan cara membakar.
Misalnya, sebagian warga di Pemulutan, Kabupaten OI, masih melakukan pembakaran lahan untuk membuka lahan setiap kali musim kemarau. Pada Kamis [22/8/2024] lalu, terlihat sejumlah petugas pencegah kebakaran hutan dan lahan, sibuk memadamkan api di wilayah Pemulutan, dekat Jalan Tol Palembang-Lampung dan Palembang-Prabumulih.
Tidak jauh dari lokasi tersebut, juga terlihat kepulan asap di sejumlah sudut kebun warga.
Pemulutan yang tidak menjadi target restorasi gambut di Sumatera Selatan adalah wilayah yang menjadi langganan kebakaran lahan. Dipastikan, setiap tahun, saat musim kemarau, sebagian warga Pemulutan melakukan pembakaran lahan, yang menyebabkan kabut asap, sehingga mengganggu transportasi Jalan Tol Palembang-Lampung dan Palembang-Prabumulih.
Sementara, Balai Pengendalian Perubahan Iklim dan Kebakaran Hutan dan Lahan [BPPIKHL] Wilayah Sumatera, dikutip dari Tempo.co, selama periode Januari-Juli 2024, mencatat 750,83 hektar lahan terbakar.
Dijelaskan Ferdian Kristanto, Kepala BPPIKHL Sumatera, dari luasan terbakar tersebut, sekitar 308,56 hektar berada di lahan gambut, sedangkan 442,26 hektar di lahan mineral.
Lahan gambut yang terbakar terluas berada di Kabupaten Musi Banyuasin [Muba] seluas 192,52 hektar, disusul Kabupaten OKI [106,36 hektar], dan Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir [9,68 hektar].
Baca: Petanang, Buah Unik dari Lahan Basah Sungai Musi
Situs kebakaran lahan
Lahan basah Sungai Musi seluas tiga juta hektar adalah situs kebakaran lahan. Selama 27 tahun terakhir, setiap kali musim kemarau, dipastikan ada lahan yang terbakar. Bahkan, beberapa lokasi dipastikan setiap musim kemarau mengalami kebakaran. Misalnya, di wilayah Sepucuk, Talangnangka, Pangkalan Lampam [Kabupaten OKI] dan Merang [Kabupaten Muba].
Peristiwa kebakaran di lahan rawa gambut di Sumatera Selatan, dimulai pada 1997-1998 setelah habisnya hutan akibat aktivitas perusahaan HPH dan perkebunan sawit. Selanjutnya, setiap tahun terjadi kebakaran.
Kebakaran yang menimbulkan bencana kabut asap selain 1997-1998, juga tahun 2006, 2015, 2019 dan 2023.
Periode 2015-2019, Sumatera Selatan adalah provinsi yang mengalami kebakaran hutan dan lahan terluas di Indonesia, mencapai 1.011.733,97 hektar. Yakni seluas 646.298,80 hektar [2015], seluas 16.226, 60 hektar [2018], dan 336.778 hektar [2019]. Sebagian besar kebakaran tersebut di lahan basah, khususnya di rawa gambut.
Luasan kebakaran tersebut lebih tinggi dibandingkan Kalimantan Tengah [956.907,25 hektar], Papua [761.081,12 hektar], Kalimantan Selatan [443.655,03 hektar], Kalimantan Barat [329.998,35 hektar], Riau [250.369,76 hektar], dan Jambi [182.195,51 hektar].
Baca juga: Hilangnya Peran Sungai dari Kehidupan Kita
Berbagai proyek sudah dijalankan guna mencegah kesadaran masyarakat dan perusahaan untuk tidak membakar saat membuka lahan. Terakhir, yang dilakukan BRGM [Badan Restorasi Gambut dan Mangrove] hingga saat ini.
Selain itu, upaya pencegahan dan penanggulangan juga melibatkan aparat keamanan dan pertahanan. Tapi, kecemasan kebakaran tetap berlangsung hingga hari ini.
Diperkirakan, kebakaran lahan ini juga seiring pembukaan lahan rawa gambut untuk perkebunan skala besar. Pembukaan lahan mengubah bentang alam rawa gambut, yaitu mengubah tata kelola airnya.
Berdasarkan penelitian HaKI [Hutan Kita Institut], rawa gambut di Sumatera Selatan yang berubah fungsi seluas 1.123.119 hektar. Sekitar 17 perusahaan HTI menguasai rawa gambut seluas 559.220 hektar, 70 perusahaan sawit seluas 231.741 hektar, serta 332.158 hektar dijadikan pemukiman [transmigran], perkebunan rakyat, pabrik, dan jalan.
Derita Masyarakat Lahan Basah Sungai Musi Akibat Perubahan Iklim