- Pemerintah Indonesia terus menggaungkan rencana pengembangan pembangkit listrik nuklir. Kabar beredar, setidaknya ada tiga area akan jadi lokasi pembangkit ini. Berbagai kalangan khawatir dan mengingatkan, risiko, serta bahaya bagi manusia dan alam.
- Tragedi kemanusiaan dan alam dampak ledakan pembangkit nuklir di beberapa negara masih jadi mimpi buruk seperti pembangkit nuklir di Fukushima, Jepang, pada 2011 maupun bencana Chernobyl pada 1986. Meskipun sudah terjadi belasan dan puluhan tahun lalu, tetapi dampak bencana nuklir itu belum hilang sampai saat ini.
- Pintoko Aji, Peneliti Energi Terbarukan dari Institute for Essential Service Reform (IESR) mengatakan, nuklir belum jadi energi mendesak di Indonesia. Masih banyak potensi energi ramah lingkungan untuk pembangkit listrik bisa dimanfaatkan. Contoh, angin, air dan surya.
- Klaim pemerintah bahwa nuklir energi ramah lingkungan hanya akan mengelabui masyarakat. Masyarakat pun tak menyadari, PLTN akan membawa bencana.
Tragedi kemanusiaan dan alam dampak ledakan pembangkit nuklir di beberapa negara masih jadi mimpi buruk seperti pembangkit nuklir di Fukushima, Jepang, pada 2011 maupun bencana Chernobyl pada 1986.
Ketika dampak dari bencana nuklir itu belum hilang mesti sudah puluhan tahun, di Indonesia, pemerintah malah makin santer ingin mengembangkan pembangkit listrik nuklir. Kabar beredar, setidaknya ada tiga area akan jadi lokasi pembangkit ini.
Untuk mendorong itu, pemerintah siapkan kebijakan. Dari perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 79/2014 tentang Kebijakan Energi Nasional dan sedang menggodok Undang-undang Energi Baru Terbarukan (EBT)—sebelumnya UU Energi Terbarukan.
Namun, berbagai kalangan was-was dan menolak. Mereka khawatir, nuklir membawa bencana, membahayakan manusia, merusak lingkungan dan energi sangat mahal. Mereka juga pertanyakan mitigasinya.
Pintoko Aji, Peneliti Energi Terbarukan dari Institute for Essential Service Reform (IESR) mengatakan, nuklir belum jadi energi mendesak di Indonesia. Masih banyak potensi energi ramah lingkungan untuk pembangkit listrik bisa dimanfaatkan. Contoh, angin, air dan surya.
Pinto bilang, seperti di Sumatera, potensi air jadi pembangkit listrik masih sangat besar namun belum banyak dikembangkan.
“Power mix maupun energy mix kan sebenarnya masih kecil untuk renewable energy. Kalau di dunia internasional nuklir tidak termasuk renewable energy. Kalau di Indo masuk di energi baru dan terbarukan, kan agak beda definisinya,” katamya kepada Mongabay, 25 Agustus lalu.
Biaya besar dan waktu lama
Pinto bilang, pembangunan PLTN perlu biaya sangat besar dan waktu lama bahkan bisa tertunda. Dilansir dari CNBC Indonesia, pembangunan PLTN perlu dana hingga US$12,65 juta, setara Rp197,3 triliun. Biaya ini terhitung untuk 2.400 MW listrik yang akan dihasilkan.
Selain itu, perhitungan pembiayaan untuk PLTN berkisar US$ 6-9 miliar per 1,1 Giga Watt (GW) atau Rp93,6 triliun-Rp 140 triliun.
“Risiko cost of run yang diakibatkan biasanya delay. Jadi biasa kalau proses konstruksi itu delay sampai dua sampai tiga kali lipat dari yang estimasi. Misal, estimasi kerja lima tahun bisa selesai 15 tahun. Otomatis pekerjanya yang bangun tetap dibayar.”
Selain itu, kata Pinto, ada potensi pembengkakan biaya karena pembangunan tertunda itu. Misal, pembangkit listrik tenaga nuklir Olkiluoto-3 di Finlandia, pembangkit listrik EPR generasi III+ pertama dengan kapasitas 1.600 MW, perkiraan awal menelan biaya US$1.000 perkW. Biaya akhirnya mencapai US$12 miliar atau US$7.500 perkW.
Contoh lain, reaktor di Hinkley Point C (HPC), Britania Raya, dengan biaya semalam disepakati 16 miliar Pounsterling pada 2015. Pada 2021, pembangunan reaktor mundur dari akhir 2025 jadi Juni 2026 dengan perkiraan biaya 22 miliar – 23 miliar poundsterling.
Menurut Pinto, Pemerintah Indonesia menunda terlebih dahulu pembangunan PLTN.
Ancaman bencana nuklir
Beberapa titik yang jadi target pembangunan pembangkit nuklir seperti satu pulau di Bangka Belitung dan Bengkayang, Kalimantan Barat. Masyarakat was-was dan khawatir terjadi bencana nuklir dan pencemaran limbahnya.
Hendrikus Adam, Direktur Eksekutif Walhi Kalimantan Barat mengatakan, pemerintah jangan hanya menggaungkan nuklir sebagai energi baru ramah lingkungan. Juga harus memperhatikan risiko, seperti paparan radiasi sampai hilangnya mata pencarian masyarakat.
“Kemudian proses pembangunannya, lalu setelah pembangunan itu juga bagaimana perawatannya. Kemudian limbah, mau dikemanakan gitu ya? Itu perlu biaya yang sangat besar, sangat besar.”
Adam bilang, belum lagi soal risiko kecelakaan kerja yang dapat menyebabkan bencana nuklir. Dia lantas singgung sejarah kelam bencana nuklir di beberapa negara sebagai peringatan untuk Pemerintah Indonesia.
Misal, PLTN Chernobyl di Pripyat, Ukraina, meledak pada 1986. Tragedi nuklir Chernobyl ini memporak-porandakan kehidupan di Ukraina yang mengakibatkan 7 juta orang menderita. Belum lagi keanekaragaman hayati seperti satwa dan tumbuhan.
Lalu, di Daicii, Fukushima, Jepang, 11 Maret 2011, There Mile Island di Amerika Serikat (1979), di Mayak, Rusia 29 September 1957 dan Seversk Siberia 6 April 1993.
Orang yang terdampak radiasi, katanya, alami kelainan darah dan kerusakan genetik. Begitu juga kejadian di Semipalatinsk, Astana, pada 1949 sampai 1962, hampir setengah dari populasi menderita disfungsi sistem saraf motorik.
“Terkait bencana geologis maupun ekologis, semua itu tentu sangat mungkin jadi penyebab kecelakaan itu.”
Adam bilang, ini bukan soal kecanggihan tekhnologi. Menurut dia, tidak ada yang meragukan pengembangan teknologi PLTN di Daichi, PLTN Chernobyl, Amerika Serikat, dan Rusia.
Bencana nuklir yang terjadi di negara itu membuktikan kalau teknologi tak lepas dari kelalaian manusia (human error).
“Betapa dahsyat dan berbahayanya PLTN ketika mengalami kecelakaan nah pasti akan berdampak sangat serius bagi keselamatan kesehatan manusia dan lingkungan hidup,” katanya.
Pripyat, dan kota-kota lain yang alami bencana pembangkit nuklir jadi kota mati. Pripyat, ditinggalkan penduduk karena paparan radiasi nuklir.
“Itu membuktikan, dampak PLTN sangat besar sekali.”
Adam menilai, PLTN menebar risiko musibah di sepanjang daur bahan bakarnya, mulai dari penambangan bijih, pengolahan untuk mengekstraksi uranium. Kemudian pengayaan, fabrikasi jadi elemen bahan bakar nuklir, pembelahan di dalam teras reaktor, sampai ke decommissioning PLTN tua dan pengolahan limbah dalam waktu sangat lama.
“Pengelolaan bukan saja sulit, juga sangat mahal dan rawan musibah.”
Tak hanya itu, pendirian PLTN akan melahirkan ketergantungan pada asing, baik bahan baku, sumberdaya manusia maupun teknologi.
Belum lagi, katanya, dalam proses ini pemerintah terkesan menutup-nutupi informasi soal dampak PLTN ini.
Selama proses sosialisasi, pemerintah hanya berbicara soal sisi baik PLTN. Pemerintah juga tidak melibatkan masyarakat dalam sosialisasi dan diskusi PLTN di Kalimantan Barat.
“Nggak pernah dilibatkan diskusi, konsultasi publik, atau sosialisasi. Yang hanya dilibatkan ya kecamatan, pihak desa.”
Adam bilang, klaim pemerintah bahwa nuklir energi ramah lingkungan hanya akan mengelabui masyarakat. Masyarakat pun tak menyadari, PLTN akan membawa bencana.
“itu juga bagian dari sesat pikir yang memang coba disampaikan pejabat publik agar masyarakat disesatkan pemahaman dan informasinya terkait PLTN.”
Pinto bilang, setiap energi pasti memiliki dampak buruknya masing-masing. Energi nuklir, katanya, menghasilkan limbah yang bisa mencemari lingkungan. Prosedur keamanan nuklir, katanya, lebih berat bila dibandingkan energi lain. Lantaran standar kemananan tinggi ini berimplikasi pada biaya.
“Standarnya paling tinggi itu kan menunjukkan sebenarnya nuklir itu harmful (bahaya) diantara pembangkit energi lain.”
Helena Anggraeni Tjondro Sugianto, Dosen Institut Shanti Buana mengatakan, Indonesia belum perlu PLTN karena kebutuhan energi nasional masih mencukupi.
Dia bilang, masih banyak sumber energi terbarukan seperti air, angin, matahari dan fosil. Selain itu, biaya pembangunan sangat mahal.
Helena ingatkan pula, Indonesia merupakan wilayah ring of fire dan rawan bencana seperti gempa, tsunami banjir dan longsor. Hal ini dapat memicu bencana nuklir.
“Risiko kecelakaan besar atau human error karena ketidaksiapan sumber daya manusia, kecerobohan dan lemahnya kedisiplinan menyebabkan dampak fatal mulai dari kelumpuhan ekonomi hingga bisa berakibat kebangkrutan negara karena yang besar atau risiko tinggi, seperti kebocoran lain,” katanya dalam diskusi bersama Walhi Kalbar beberapa waktu lalu.
Besarnya biaya rehabilitasi pasca kecelakaan dan potensi pencemaran lingkungan karena limbah radioaktif juga harus jadi pertimbangan. Selain itu, harga listrik PLTN relatif lebih mahal.
Helena bilang, banyak dampak serius PLTN antara lain, risiko ketidakstabilan geologis dan terancam kesehatan masyarakat. Risiko sensitivitas ekologis yang menyebabkan kerusakan lingkungan. Menurut dia, proses pengembangan energi nuklir ini sarat pencemaran lingkungan.
“Untuk menghasilkan nuklir, dibutuhkan uranium. Sebelum uranium dipakai, perlu melewati beberapa proses ekstrasi yang
dapat merusak lingkungan dan kesehatan manusia. Limbah atau zat radioaktif nuklir juga berpengaruh terhadap tingkat kesuburan tanah.”
Pengoperasian pembangkit listrik nuklir, katanya, perlu sejumlah besar air untuk tujuan pendinginan. Hal ini bisa berakibat pada menipisnya sumber daya air dan kontaminasi ekosistem perairan karena polusi termal dan pelepasan radio aktif.
“Pencemaran lingkungan akan berdampak pada mata pencaharian, merusak ketahanan pangan dan keberlanjutan pertanian dan memperburuk kemiskinan,” katanya.
******
Pembangkit Nuklir Bukan Solusi, Belajar dari Tragedi Fukushima