- Kota Yogyakarta dan sekitarnya diguncang gempa yang cukup keras pada Senin (26/8/2024) lalu. Gempa berkekuatan magnitudo 5,8 itu berpusat di laut, 95 kilometer barat daya Gunungkidul dan terjadi pada bidang kontak antarlempeng atau megathrust.
- Hingga Kamis (29/8/2024) lalu, BMKG mencatat telah terjadi 121 gempa susulan dengan kekuatan magnitudo minimum 2,1 dan magnitudo maksimum 4,0.
- BMKG mengingatkan potensi gempa megathrust di sejumlah segmen di Banten, Selat Sunda, dan Siberut yang relatif lebih tinggi dibanding yang lain karena seismic gap atau kekosongan gempa besar sudah terakumulasi ratusan tahun
- Untuk meningkatkan kesiapsiagaan BMKG memasang lebih banyak sensor gempa, dari 176 unit pada 2019 menjadi 530-an unit sampai saat ini di daerah rawan bencana di seluruh Indonesia.
Kota Yogyakarta dan sekitarnya diguncang gempa yang cukup keras pada Senin (26/8/2024) lalu. Menurut Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), pusat gempa berada di laut, 95 kilometer barat daya Gunungkidul di kedalaman 30 kilometer. Gempa berkekuatan magnitudo 5,8 yang terjadi pukul 19.58 ini dirasakan hingga Tasikmalaya di wilayah barat Pulau Jawa, dan Blitar di wilayah timur.
Daryono, Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG mengungkapkan, pusat gempa terjadi pada bidang kontak antarlempeng atau megathrust. Lebih jauh menurutnya, gempa di selatan Gunungkidul itu merupakan jenis gempa dangkal akibat deformasi batuan di bidang antarlempeng.
“Hasil analisis mekanisme sumber menunjukkan bahwa gempa memiliki mekanisme naik (thrust),” tulisnya dalam cuitan yang diunggah Senin (26/8/2024) lalu.
Dari hasil pemodelan menunjukkan gempabumi tersebut tidak berpotensi tsunami. Ada laporan gempa menyebabkan kerusakan bangunan di Pasar Prambanan, Yogyakarta. Sejumlah genting pecah dan material berjatuhan mengotori lantai. Di Gunungkidul dan Karanganyar, gempa juga menyebabkan kerusakan rumah penduduk. Sebuah video unggahan warganet memperlihatkan tembok rumah yang retak, dan lapisan semen di dinding ambrol.
Meski tidak menimbulkan kerusakan berarti, namun gempa cukup kuat dirasakan warga Gunungkidul termasuk kota Yogyakarta. Warga yang panik banyak yang keluar rumah pada malam itu.
Baca : Bagaimana Kesiapan Indonesia Hadapi Ancaman Gempa Megathrust?
Warga masih mengingat kejadian gempa tektonik pada Mei 2006 lalu yang melanda Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan sekitarnya. Gempa yang dipicu oleh pergeseran Sesar Opak itu berkekuatan magnitudo 6,3. Banyak bangunan rumah dan fasilitas umum yang rusak dalam peristiwa itu. Sementara lebih dari lima ribu jiwa menjadi korban.
Hingga Kamis (29/8/2024) lalu, BMKG mencatat telah terjadi 121 gempa susulan dengan kekuatan magnitudo minimum 2,1 dan magnitudo maksimum 4,0.
Ancaman Megathrust
Dalam kesempatan rapat dengar pendapat dengan Komisi V DPR, pada Selasa (27/8/2024) lalu, Kepala BMKG Dwikorita Karnawati menjelaskan potensi megatrust di Banten, Selat Sunda, dan Siberut yang relatif lebih tinggi dibanding yang lain sehingga menjadi perhatian.
Khusus di segmen Banten Selat Sunda, Dwikorita mengatakan memberi perhatian lebih karena kawasan ini terdapat banyak industri kimia, sekaligus berpenduduk padat, dan berdiri sejumlah hotel. Dalam rangka meningkatkan kesiapsiagaan BMKG memasang lebih banyak sensor gempa, dari 176 unit pada 2019 menjadi 530-an unit sampai saat ini di daerah rawan bencana di seluruh Indonesia.
Sebelumnya BMKG mengingatkan potensi gempa megathrust di sejumlah segmen. Di wilayah Mentawai Siberut misalnya, seismic gap atau kekosongan gempa besar sudah terakumulasi selama 227 tahun. Catatan gempa besar terakhir di segmen ini terjadi pada tahun 1797 lalu. Sementara untuk Banten Selat Sunda seismic gap selama 267 tahun. Gempa besar terakhir terjadi pada tahun 1757.
Gayatri Indah Marliyani, pakar gempa dari UGM menjelaskan, seismic gap bisa diketahui berdasarkan sejumlah informasi. Kecepatan pergerakan lempeng, data geologi seperti koral yang terangkat, endapan tsunami, dan gempa di masa lalu bisa membantu memperkirakan potensi gempa di masa depan.
“Semakin lengkap informasi itu, maka semakin kita tahu daerah mana yang masih macet. Daerah mana yang masih tertahan, dan daerah mana yang sudah lepas. Informasi itu bisa memberi gambaran mana daerah yang harus diwaspadai,” ungkapnya, dalam diskusi yang membahas ancaman gempa megathrust, kesiapsiagaan dan pengurangan risiko bencana, pada Kamis (22/8/2024) lalu di UGM.
Baca juga : Memahami Megathrust: Gempa Dahsyat yang Berpotensi Terjadi di Indonesia
Dia mengingatkan, bumi sendiri adalah planet yang dinamis, terus berproses, dan siapapun tidak bisa menghentikannya. Namun di balik segala kemudahan yang diberikan oleh bumi, manusia juga harus siap menerima ancaman yang datang.
“Kalau tidak ada gempa bumi tidak akan ada rekahan-rekahan yang menjadi jalan bagi panas bumi muncul ke permukaan yang kemudian bisa dimanfaatkan sebagai energi. Mineral seperti emas, tembaga, perak, juga bisa diketahui dari rekahan-rekahan yang disebabkan oleh gempa,” ujarnya.
Sementara itu, Galih Aries Swastanto, peneliti dari Pusat Studi Bencana Alam UGM, menjelaskan pengalaman gempa dan tsunami di Aceh pada 2004 lalu telah membuka mata akan perlunya sebuah badan yang secara khusus menangani kebencanaan. Sesuai amanat UU No.24/2007 tentang Penanggulangan Bencana, kemudian lahirlah Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).
“Undang-undang menyatakan bahwa bencana itu layanan dasar. Sehingga siapapun ketika terkena bencana, tidak mendapat layanan dari pemerintah, baik layanan penyelamatan, pengungsian, bisa menuntut kepada pemerintah,” katanya. Dia menambahkan, konsekuensinya pemerintah pusat maupun pemerintah daerah harus mengalokasikan anggaran untuk kebencanaan.
Baca juga : Begini Mitigasi Tsunami dan Gempa Megathrust Selatan Jawa
Terkait pengurangan risiko gempa megathrust, menurutnya masih banyak yang perlu diperbaiki. Misalnya, tata kelola kebencanaan yang belum terintegrasi dengan kebijakan lainnya.
“Sudah ada standar nasional untuk bangunan tahan gempa. Kalau bangunan pemerintah mungkin sudah sesuai standar kegempaan. Namun bagaimana dengan rumah-rumah warga? Bagaimana itu bisa diimplementasikan?”
Sebagai peneliti, Aries mengungkapkan ternyata meski tingkat pendidikan masyarakat perkotaan lebih tinggi namun literasi kebencanaan tidak lebih baik dibanding masyarakat yang ada di wilayah bencana.
Sehingga pengetahuan tentang kegempaan harus terus diberikan dan dijaga. Bisa melalui kurikulum pendidikan, simulasi periodik, hingga sirkulasi informasi di media sosial. Agar kesadaran kesiapsiagaan menghadapi bencana mengendap di dalam ingatan. Sehingga ketika bencana gempa itu datang, masyarakat bisa lebih sigap menyelamatkan diri. (***)