- Angin segar bagi lingkungan dan Masyarakat Dairi. Pada 12 Agustus lalu, Mahkamah Agung mengabulkan gugatan masyarakat Dairi untuk pencabutan izin lingkungan perusahaan tambang seng, PT Dairi Prima Mineral (DPM).
- Mahkamah Agung menganulir putusan sebelumnya, Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Jakarta yang menyatakan persetujuan izin Lingkungan DPM sah jadi tidak sah.
- Pada 2022, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) memberikan persetujuan lingkungan pada DPM. Masyarakat yang terancam mengajukan gugatan hukum terhadap DPM dan KLHK pada akhir 2022, setelah mengetahui persetujuan lingkungan sudah keluar.
- Kekhawatiran masyarakat kalau tambang beroperasi antara lain kerusakan lingkungan hingga mengganggu kehidupan masyarakat, termasuk lahan pertanian dan perkebunan mereka. Ancaman lain adalah bencana, terlebih bendungan tailing berada tak jauh dari pemukiman hingga rawan runtuh dan berpotensi membunuh masyarakat. Apalagi, Kabupaten Dairi berada wilayah aktif seismik karena letusan gunung merapi.
Angin segar bagi lingkungan dan Masyarakat Dairi. Pada 12 Agustus lalu, Mahkamah Agung mengabulkan gugatan masyarakat Dairi untuk pencabutan izin lingkungan perusahaan tambang seng, PT Dairi Prima Mineral (DPM).
Dalam amar putusan, Yulius, Lulik Cahya Ningrum, dan Yosran, selaku majelis hakim agung, memperkuat putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta untuk mencabut persetujuan izin lingkungan DPM.
Mahkamah Agung menganulir putusan sebelumnya, Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Jakarta yang menyatakan persetujuan izin Lingkungan DPM sah jadi tidak sah.
Majelis menyatakan, tambang di kawasan rawan bencana, tidak ada partisipasi warga dan asas keterbukaan, bertentangan dengan rencana tata ruang wilayah, pelanggaran hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat serta bertentangan dengan azas pemerintahan yang baik.
Pada 2022, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) memberikan persetujuan lingkungan pada DPM.
Masyarakat yang terancam mengajukan gugatan hukum terhadap DPM dan KLHK pada akhir 2022, setelah mengetahui persetujuan lingkungan sudah keluar.
Keputusan PTUN mendukung pengaduan masyarakat dan memerintahkan agar persetujuan batal. Namun, kementerian dan perusahaan tambang, mengajukan banding atas keputusan itu ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN), memenangkan mereka.
Merasa tak puas dengan putusan pengadilan tinggi, masyarakat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung, dan putusan pada 12 Agustus 2024. Majelis hakim yang menangani perkara itu menerima gugatan masyarakat Dairi tinggal di lingkar tambang dan memerintahkan pencabutan agar izin lingkungan.
Marlince Sinambela, warga Bongkaras, salah satu penggugat senang dengan keputusan Mahkamah Agung ini. “Kami berharap para pemodal berhenti dan tidak mendanai Dairi Prima Mineral,” katanya.
Pada 2022, katanya, KLHK memberikan izin lingkungan kepada DPM. Masyarakat tambah terkejut lagi ketika perusahaan yang dikendalikan pemerintah Tiongkok setuju membiayai DPM.
Rohani Manalu dari Yayasan Diakonia Pelangi Kasih (YDPK), mengtakan, sudah mendapat kabar soal Mahkamah Agung mengabulkan gugatan mereka tetapi belum mendapatkan salinan putusan.
“Kita sudah tau menang tapi salinannya belum keluar,” katanya kepada Mongabay di Dairi, 29 Agustus lalu.
“Puji Tuhan, kita aksi tanggal 6 (Agustus 2024) kalau gak salah, 12 Agustus (2024) keluar putusan MA. Jadi, mereka gak nunggu sampe 90 hari itu kita dimenangkan,” katanya seraya bilang mereka masih menunggu salinan putusan itu.
Saat aksi, katanya, masyarakat diterima MA. Dalam audiensi itu, MA menyatakan, akan menggunakan asas kehati-hatian dalam pengambilan keputusan lantaran kasus ini sudah jadi perhatian publik.
Meski begitu, katanya, perjuangan masyarakat Dairi belum usai. PT Bumi Resources Minerals Tbk (BRMS), perusahaan induk dari DPM berencana mengajukan peninjauan kembali (PK) ke Mahkamah Agung.
“Karena yang kita lawan ini dua institusi ya, DPM dan KLHK. Kalau KLHK belum ada info mau PK, tapi BRMS infonya mau PK.”
Rainim Purba, warga Laeparira, Kabupaten Dairi mengatakan, putusan ini merupakan satu kemenangan tetapi DPM masih beroperasi sampai saat ini. Warga Dairi, katanya, akan terus melawan sampai perusahaan itu berhenti beroperasi.
“Kami akan terus berjuang mempertahankan tahan leluhur kami sampai KLHK mencabut izin dan mereka berhenti beroperasi,” kata perempuan 63 tahun ini.
Opung Tomi, sapaan Rainim mengatakan, operasi dan pembuangan limbah perusahaan tambang itu menyebabkan hasil panen petani Dairi menurun. Mereka juga khawatir, apabila perusahaan tambang itu terus beroperasi membuat mereka makin menderita.
“Saya harus tetap menjaga tanaman saya. Karena dari tanaman itu, anak-anak saya bisa sekolah. Mereka bisa sekolah tinggi, mereka bisa menikmati hidup saya, mereka bisa punya uang dari tanaman saya.”
Dia juga khawatirkan sumber air terganggu kalau perusahaan tambang lanjut beroperasi. Opung Tomi bilang, petani Dairi memahami dampak-dampak negatif itu karena merasakan langsung.
“Kita tahu pertambangan itu rakus air. Jadi air kami dari pegunungan itu mengaliri persawahan, sebagai air minum dan untuk mencuci. Kalau itu hilang bagaimana kehidupan kami tanpa air?”
Di Dairi, banyak produk tani jadi unggulan mulai dari buah, sayur, rempah -rempah dan palawija. Ada durian, kopi, jengkol, jagung, jahe, duku, padi, kapulaga dan kakao. Hasil pertanian dan perkebunan itu jadi sumber kehidupan dan keberlangsungan ekonomi masyarakat Dairi.
“Saat ada DPM beroperasi kami mulai jantungan, karena DPM merusak hasil hasil kami di Dairi. Tambang yang merusak lingkungan, tempat pembuangan limbah di pemukiman,” katanya.
Opung Tomi mencontohkan, pendapatan hasil tani selama setahun bisa Rp150 juta per tahun. Setelah tambang beroperasi, hasil tani mulai tak menentu, pendapatan pun berkurang 50%.
“Panen kami gak menentu kalau dulu bisa diprediksi. Sekarang enggak, kualitas juga menurun,” katanya.
Opung Tomi berharap, pemerintah berpihak pada masyarakat Dairi. Masyarakat, katanya, sejahtera karena bertani bukan tambang.
“Sampai mati aku tetap akan menjadi petani. Ini peninggalan leluhur kami. Tambang tidak mensejahterakan kami. Kami sejahtera karena bertani.”
Rawan bencana
Tongam Panggabean, Direktur Bakumsu, salah satu lembaga yang melakukan pendampingan hukum masyarakat Dairi menyatakan, keputusan pengadilan ini sumber harapan bagi masyarakat.
Salah satu kekhawatiran masyarakat kalau tambang beroperasi adalah bencana, terlebih bendungan tailing berada tak jauh dari pemukiman hingga rawan runtuh dan berpotensi membunuh masyarakat.
Apalagi, katanya, Kabupaten Dairi berada wilayah aktif seismik karena letusan gunung merapi.
Lembah-lembah mengandung endapan tebal abu vulkanik yang tidak terkonsolidasi. Di atas material inilah, katanya, DPM mengusulkan bendungan tailing.
Bencana kebocoran tempat limbah ini menyebabkan banyak korban dan kerusakan lingkungan.
Tongam contohkan, jebolnya bendungan tailing di Brasil pada 2015 menewaskan 272 orang. BHB, perusahaan tambang terbesar di dunia, menawarkan US$25,7 milyar sebagai kompensasi atas rusaknya bendungan tailing itu.
“Sangat memalukan melihat Pemerintah Indonesia membiarkan ancaman bencana seperti ini, sementara pemerintah juga mengklaim bahwa Indonesia akan menjadi pusat pertambangan yang bertanggung jawab.”
*******