- Aksi protes pertambangan dan kawasan industri nikel di Halmahera, berujung jerat hukum terhadap aktivis perempuan, Cristina Rumalatu. Aktivis lingkungan ini menerima panggilan dari Badan Reserse Kriminal Polri, Direktorat Tindak Pidana Siber, 27 Agustus lalu atas tuduhan pelanggaran UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
- Muhammad Jamil, Kepala Divisi Hukum Jatam menilai, ancaman dan intimidasi untuk mengkriminalisasi dua mahasiswa Maluku itu adalah upaya pembungkaman partisipasi publik (strategic lawsuit against public participation/SLAPP).
- Koalisi Masyarakat Sipil menuntut agar pemerintah pusat dan daerah, serta perusahaan tambang nikel, segera bertanggung jawab atas bencana banjir dan kerusakan lingkungan yang terjadi. Pemerintah diminta tidak hanya memberikan bantuan sosial kepada warga terdampak, juga menghentikan segala bentuk ekstraksi yang merusak lingkungan dan sumber kehidupan masyarakat Halmahera.
- Andi Muttaqien, Direktur Eksekutif Satya Bhumi meyakini, pemanggilan terhadap Christine sebagai upaya pembungkaman melalui jerat hukum. Juga mendesak kepolisian tak serampangan dan melihat kasus secara utuh.
Protes pertambangan maupun kawasan industri nikel berujung jerat hukum terhadap aktivis perempuan, Cristina Rumalatu. Aktivis lingkungan ini menerima panggilan dari Badan Reserse Kriminal Polri, Direktorat Tindak Pidana Siber, 27 Agustus lalu atas tuduhan pelanggaran UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Upaya kriminalisasi muncul setelah Cristina bersama dan Thomas Madilis, aksi di depan Kantor Pusat PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) pada 1 Agustus lalu.
Mereka ikut aksi bersama koalisi organisasi masyarakat sipil antara lain, Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Enter Nusantara, Front Mahasiswa Nasional, dan Serikat Pemuda Nusa Tenggara Timur untuk menyoroti dampak lingkungan dari operasi tambang, terutama banjir di Halmahera.
Aksi ini dipicu banjir bandang di Halmahera Tengah dan Halmahera Timur 21-24 Juli 2024, dengan ketinggian air mencapai tiga meter. Banjir sampai mengisolasi dan melumpuhkan sejumlah desa di sekitar operasi IWIP. Sekitar 1.700 warga terpaksa mengungsi.
Banjir juga terjadi di Halmahera Timur merendam 12 desa hingga menyebabkan longsor di beberapa titik jalan lintas. Di Halmahera Tengah, longsor memutus akses jalan Trans Pulau Halmahera yang menghubungkan Payahe-Oba di Kota Tidore Kepulauan dengan Weda, Halmahera Tengah.
Banjir berulang ini diduga dipicu penggundulan hutan masif. Data Global Forest Watch mencatat, Halmahera Tengah kehilangan 27,9 kilo hektar tutupan pohon antara 2021-2023, setara penurunan 13% sejak 2000. Kehilangan tutupan pohon ini juga berdampak pada degradasi sumber daya air tawar dan meningkatkan risiko bencana hidrometeorologi. Kondisi ini makin memperburuk lingkungan.
“Kita di sini menuntut tanggung jawab IWIP atas penderitaan yang dialami warga Maluku Utara,” tegas para demonstran.
Saat aksi di depan Kantor IWIP, Letnan Jenderal (Purn.) Suaidi Marasabessy, yang juga berkantor di gedung sama dengan IWIP, menanggapi aksi para demonstran dengan mengatakan masalah ini telah dikoordinasikan dengan b upati.
Pernyataan ini justru memicu kekesalan massa, yang kemudian meneriaki dengan menyebut pensiunan jenderal tak berguna.
Beberapa hari setelah aksi, tepatnya 4 Agustus 2024, Ali Fanser Marasabessy, Ketua Bravo 5, melalui unggahan di akun TikTok tak terima dengan perkataan terhadap Suaidi Marasabessy itu.
Dia menuntut Cristina dan Thomas Madilis, meminta maaf dalam waktu 2×24 jam.
Selang beberapa hari, surat dari polisi Christina terima.
Tim hukum dari YLBHI, Trend Asia, Jatam, ICJR, dan Walhi menyusun legal opinion atas tuduhan ini. Sejumlah organisasi masyarakat sipil maupun lembaga bantuan hukum turut mendukung Cristina. Antara lain Yayasan Auriga Nusantara, Greenpeace, Satya Bumi, Forest Watch Indonesia (FWI), IFM, AEER, Amnesty International, Aliansi Jurnalis Independen (AJI), sampai Badan Perwakilan Mahasiswa (BPM) Jentera.
Dukungan juga dari Transparency International Indonesia (TII), Indonesia Coruption Watch (ICW), LBH Pers, Save Melanesia, SASI, HIPMALUT, Solidaritas Perempuan, Enter Nusantara, SafeNET, dan Purple Code. Lalu, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), PPMAN, Pilnet, FKMM, PGI, Jaring.id, KPA, Lokataru, PHI, Econusa, Save Sagea, Save O Hangana Manyawa, dan Simpul Jatam Malut.
“Demonstrasi ini respons terhadap banjir berhari-hari di Halmahera dan laporan terbaru Jatam terkait kerusakan lingkungan akibat operasi IWIP,” kata Al Farhat Kasman, Divisi Kampanye Jatam.
Sebelumnya, Jatam rilis laporan berjudul “Penaklukan dan Perampokan Halmahera: IWIP sebagai Etalase Kejahatan Strategis Nasional Negara-Korporasi.”
Laporan ini menyoroti kerentanan Maluku Utara sebagai wilayah kepulauan terhadap bencana hidrometeorologi yang diperparah tambang nikel.
Jatam juga menyatakan, operasi tambang di Halmahera tidak hanya merusak lingkungan dan mencemari sumber pangan dan air warga, juga mengancam kehidupan masyarakat. Termasuk, ancaman kriminalisasi ketika mereka mempertahankan hak-haknya.
Laporan ini menyebutkan, kekerasan fisik dan psikis kerap dialami masyarakat Halmahera dan pekerja tambang, sekitar 26 pekerja tewas sejak IWIP dan WBN beroperasi pada 2018.
Muhamad Jamil, Kepala Divisi Hukum Jatam menilai, ancaman dan intimidasi untuk mengkriminalisasi dua mahasiswa Maluku itu adalah upaya pembungkaman partisipasi publik (strategic lawsuit against public participation/SLAPP).
Tindakan ini, kata Jamil, bertentangan dengan Pasal 66 UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH) serta Konstitusi UUD 1945 Pasal 28H ayat (1) yang menjamin hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Koalisi Masyarakat Sipil menuntut agar pemerintah pusat dan daerah, serta perusahaan tambang nikel, segera bertanggung jawab atas bencana banjir dan kerusakan lingkungan yang terjadi. Pemerintah diminta tidak hanya memberikan bantuan sosial kepada warga terdampak, juga menghentikan segala bentuk ekstraksi yang merusak lingkungan dan sumber kehidupan masyarakat Halmahera.
Awal Agustus lalu, Climate Rights International (CRI) mendesak aparat menyetop proses hukum terhadap mahasiswa yang aksi di kantor pusat IWIP, Christina Rumahlatu dan Thomas Madilis
“Para pendukung IWIP seharusnya tidak bereaksi berlebihan terhadap protes dan berusaha mengkriminalisasi orang-orang yang marah atas kerusakan yang dilakukan industri nikel terhadap tanah dan air mereka,” kata Brad Adams, Direktur Eksekutif Climate Rights International dalam siaran persn mereka.
Seharusnya, perusahaan berkomitmen mengatasi kerusakan lingkungan, termasuk mencegah banjir dan membersihkan sungai serta daerah pesisir hingga masyarakat bisa hidup dengan lingkungan aman dan sehat.
Andi Muttaqien, Direktur Eksekutif Satya Bhumi meyakini, pemanggilan terhadap Christine sebagai upaya pembungkaman melalui jerat hukum. Dia mendesak kepolisian tak serampangan dan melihat kasus secara utuh.
Kasus ini, katanya, bermula dari protes atas berbagai dampak yang timbul dari tambang maupun kawasan industry nikel di Halmahera. Sebagai negara demokratis, tentu sikap itu sebagai hal wajar.
“Karena itu, sudah seharusnya kepolisian melihat duduk perkara kasus ini secara utuh. Ini tidak berdiri sendiri, ada konteks yang melatarbelakanginya,” katanya saat dihubungi Mongabay, Rabu (4/9/24).
Bagi Andi, sulit menepis dugaan pemanggilan terhadap Christine bukan bentuk kriminalisasi atau upaya membungkam suara kritis. Terlebih, pemanggilan itu selang beberapa hari setelah aksi.
Dia menyayangkan sikap kepolisian yang begitu cepat memanggil Christine. Polisi dia nilai terlalu gegabah dan tak telaah utuh.
Kritikan serupa datang dari Arko Tarigan, Pengkampanye Energi Trend Asia. Menurut dia, apa yang terjadi pada Christina membuktikan polisi tidak pernah belajar dari pengalaman, sebagaimana terjadi pada kasus kriminalisasi aktivis Jepara yang menyeret Daniel Fritz.
“Ini pun polanya sama. Diadukan ke kepolisian setelah melakukan protes atas berbagai dampak lingkungan serta bencana yang disinyalir karena aktivitas pertambangan, ” kata Arko.
Padahal, katanya, apa yang dilakukan Christine merupakan bagian dari kritik atas berbagai kerusakan lingkungan.
Seharusnya, polisi melihat kasus ini secara utuh, termasuk, perihal perdebatan ketika protes atau demonstrasi itu berlangsung. “Kalau kemudian setiap kritik itu dihadapi dengan gertakan hukum, jelas sebagai upaya pembungkaman atau kriminalisasi.”
Dia bilang, tak pernah ada dalam aturan mana pun perihal undangan klarifikasi, termasuk di level peraturan kapolri sekalipun.
Cermin represif penguasa
Haris Azhar, pengacara dan aktivis HAM khawatir tren kriminalisasi terus meningkat terhadap aktivis lingkungan di Indonesia.
“Pola yang kerap terjadi melibatkan intimidasi, serangan fisik, gangguan terhadap aktivitas, pemidanaan, dan upaya adu domba dengan masyarakat lain yang dibina atau dibayar oleh perusahaan atau aparat negara,” katanya.
Pola ini dianggap sebagai strategi melemahkan gerakan lingkungan di Indonesia.
Haris juga berbagi pengalamannya sebagai advokat pendamping aktivis lingkungan yang dikriminalisasi. Dia menilai, proses hukum bias, dengan fakta sering kali dimanipulasi, dan hukum dipaksakan untuk mendiskreditkan aktivis.
“Proses hukum berjalan cepat ketika menyangkut kasus melibatkan penguasa atau pengusaha, sementara laporan masyarakat sering kali berjalan lambat.”
Kriminalisasi ini, katanya, lebih pada upaya melindungi kepentingan ekonomi perusahaan. “Pemidanaan ini sering kali bertujuan menyingkirkan aktivis yang dianggap memobilisir perlawanan warga dan mengirim pesan kepada masyarakat lainnya.”
Haris juga mengkritik sistem hukum di Indonesia yang cenderung berpihak kepada penguasa dan pengusaha. “Hukum di Indonesia terlihat indah, namun dalam praktik sangat menyakitkan karena hanya berpihak pada mereka yang berkuasa.”
Warga yang tak memiliki akses ke pejabat hukum sering terabaikan.
Mantan Direktur Lokataru ini mengajak masyarakat luas memberikan dukungan penuh kepada Christin Rumahlatu dan aktivis lingkungan lain yang sedang menghadapi kriminalisasi dan tekanan.
Kawasan industri nikel, IWIP mulai 2018 berlokasi di Desa Lelilef, Halmahera Tengah. Laporan Climate Rights International, organisasi lingkungan di California, menyatakan, pembangunan IWIP dengan cepat merusak hutan, mengambil lahan pertanian, degradasi sumber air, dan kerusakan sumber perikanan. Pembangunan dan operasi IWIP mempersulit, jika bukan mustahil, buat warga Lelilef untuk meneruskan cara hidup tradisional mereka.
Penebangan hutan, pencemaran udara serta air, dan perusakan habitat akibat kegiatan pertambangan dan peleburan nikel telah merusak lingkungan. Pertambangan dan peleburan nikel mengancam hak penduduk untuk mendapatkan air bersih.
Menurut Climate Rights International, Masyarakat juga khawatir banjir makin sering karena deforestasi oleh perusahaan pertambangan nikel.
********
Hilirisasi Nikel di Halmahera Bisa Perparah Krisis Iklim dan Susahkan Warga