- Kendaraan konvensional dinilai masih menjadi kontributor utama bagi konsumsi bahan bakar fosil dunia. Sehingga, masih menjadi salah satu penyumbang terbesar emisi gas rumah kaca.
- Untuk itu, pemerintah Indonesia terus melakukan upaya percepatan transisi kendaraan konvensional menuju ke kendaraan ramah lingkungan seperti kendaraan listrik
- Sebagai upaya untuk mempercepat target yang cukup ambisius itu, pemerintah menyiapkan dana subsidi motor listrik sebesar Rp7,33 triliun.
- Dalam mendorong perkembangan ekosistem kendaraan bermotor baterai ini pembangunan stasiun pengisian kendaraan listrik umum (SPKLU) merupakan infrastruktur yang penting.
Sektor transportasi hingga saat ini terus didorong agar beralih dari penggunaan bahan bakar fosil ke energi listrik yang lebih ramah lingkungan. Untuk itu, pemerintah Indonesia terus melakukan upaya percepatan transisi kendaraan konvensional menuju ke kendaraan nol emisi seperti kendaraan listrik, termasuk infrastrukturnya.
Hal ini dilakukan karena kendaraan konvensional dinilai masih menjadi kontributor utama bagi konsumsi bahan bakar fosil dunia. Sehingga, masih menjadi salah satu penyumbang terbesar emisi gas rumah kaca.
Menyadari hal itu, pemerintah Indonesia telah menargetkan sebanyak dua juta unit mobil listrik dan 13 juta unit kendaraan listrik roda dua mampu mengaspal di jalan pada tahun 2030. Langkah ini digulirkan sebagai upaya untuk mengurangi emisi karbon dan mencapai target net zero emission di tahun 2050.
Dadan Kusdiana, Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dalam keterangannya belum lama ini mengungkapkan, untuk mempercepat target yang cukup ambisius tersebut, pemerintah menyiapkan dana subsidi motor listrik sebesar 455 juta dolar AS, atau setara dengan Rp7,33 triliun.
Dana tersebut, lanjutnya, digunakan untuk mensubsidi penjualan sepeda motor listrik baru sebanyak 800 ribu, serta digunakan untuk konversi sepeda motor bermesin pembakaran sebanyak 200 ribu.
Subsidi ini diberikan karena pemerintah menyadari masih terdapat kesenjangan harga yang tinggi antara kendaraan listrik dengan kendaraan konvensional.
“Untuk menutup disparitas harga ini, pemerintah Indonesia memberikan insentif pajak dan subsidi untuk mobil listrik, mobil hibrida, dan sepeda motor listrik,” jelasnya.
Tidak hanya itu, sebagai upaya untuk mendukung ekosistem kendaraan listrik ini, dibangun stasiun pengisian kendaraan listrik umum (SPKLU) di kota-kota besar diberbagai daerah di Indonesia. Tahun 2030 diperkirakan kebutuhan SPKLU sebanyak 32.000 unit.
Baca : Riset Sebut Anggapan Mobil Listrik Hasilkan Emisi Sebanyak Kendaraan Fosil Itu Mitos
Kepastian bagi Badan Usaha
Wahyudi Joko Santoso, Koordinator Kelaikan Teknik dan Keselamatan Ketenagalistrikan, Kementerian ESDM dalam kesempatan terpisah menjelaskan untuk mempercepat infrastruktur kendaraan listrik, kementeriannya telah menerbitkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 1 Tahun 2023 tentang Penyediaan Infrastruktur Pengisian Listrik untuk Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KBLBB).
Aturan itu dibuat untuk memberikan kemudahan dan kepastian bagi badan usaha dalam membangun SPKLU dan Stasiun Penukaran Baterai Kendaraan Listrik Umum (SPBKLU). Adapun proses perizinan SPKLU ini dilayani melalui Online Single Submission (OSS).
Dalam regulasi tersebut juga diatur penetapan biaya layanan pengisian listrik untuk memberikan kepastian usaha dan transparansi kepada masyarakat. Untuk SPKLU yang menggunakan teknologi pengisian cepat (fast charging) paling banyak yaitu Rp25.000. Sementara SPKLU yang menggunakan teknologi pengisian sangat cepat (ultrafast charging) yaitu Rp57.000.
“Regulasi ini juga mengatur standar dan keselamatan untuk kendaraan bermotor listrik berbasis baterai. Diantaranya yaitu stasiun pengisian itu wajib memenuhi ketentuan keselamatan ketenagalistrikan,” terangnya.
Selain itu, SPKLU harus memiliki sertifikasi laik operasi dari lembaga inspeksi teknik Kementerian ESDM, dan standar produk oleh Lembaga Sertifikasi Produk Badan Standarisasi Nasional dan Kementerian ESDM.
Wahyudi bilang, tahun 2023 ini realisasi pembangunan infrastruktur pengisian KBLBB mencapai 2.704 unit atau 261 persen dari target 1.035 unit. Capaian angka 2.704 itu merupakan gabungan dari SPKLU sebanyak 932 unit, dan SPBKLU sebanyak 1.772 unit yang tersebar dari Sumatera, Banten, Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DIY, Jawa Timur, Bali, dan Nusa Tenggara.
Baca juga : Elon Musk, Kendaraan Listrik, Nikel, dan Batubara
Melihat besarnya peluang pengembangan kendaraan bertenaga listrik di Indonesia membuat perusahaan penyedia layanan SPKLU Terra Charge tertarik untuk berekspansi ke pasar Indonesia. Perusahaan asal Tiongkok itu menargetkan membangun 1.000 SPKLU hingga akhir 2025 di kota-kota besar seperti Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur dan Bali.
“Kami sangat mendukung transisi negara menuju mobilitas listrik. Kami yakin dapat memberikan nilai tambah yang luar biasa kepada pelanggan kami, dan berkontribusi pada masa depan yang berkelanjutan,” papar Toru Tokushige, CEO and Founder Terra Charge.
Untuk memperbanyak fasilitas charging station yang mendukung infrakstruktur kendaraan listrik ini, perusahaan listrik negara telah menggandeng perusahaan PT Exelly Elektrik Indonesia, PT Astra Otoparts Tbk, PT High Volt Tech, dan PT Bringin Karya Sejahtera.
SPKLU Masih Jauh dari Cukup
SPKLU merupakan infrastruktur penting untuk mendorong perkembangan ekosistem kendaraan bermotor baterai. Meski berbagai upaya dalam mendorong transisi kendaraan ini terus diupayakan oleh pemerintah, namun Putra Adhiguna, analis energi dan managing director Energy Shift Institute menilai jumlah SPKLU masih jauh dari cukup.
Bila Indonesia ingin serius menuju kendaraan listrik, lanjutnya, dengan jumlah SPKLU yang sudah ada itu seharusnya bisa meningkat lebih pesat lagi. Pembangunan SPKLU tidak hanya dilakukan di Jakarta dan sekitarnya, akan tetapi juga diperbanyak di daerah-daerah lain.
Selain itu, Adhi mewanti-wanti, kapasitas produksi baterai kendaraan listrik di Indonesia tahun ini diperkirakan hanya akan mempunyai 10 gigawatt-hour (Gwh), atau kurang dari 0,4 persen kapasitas produksi baterai global 2.800 Gwh.
Untuk itu, ia memperkirakan bahwa konsep hilirisasi itu sebenarnya salah langkah. “Atau lebih tepatnya hilirisasi ini terlalu banyak kendala tanpa memperhatikan di luar negeri itu lagi ngapain. Jadi, yang terjadi itu kita itu merangkap hilirisasi itu dari bawah, kita mulai dari tambang nikelnya dulu digenjot, smelter nikelnya digenjot,” imbuhnya kepada Mongabay pekan lalu.
Baca juga : Mobil Listrik Transportasi Masa Depan, Apakah Ada Dampak Bagi Lingkungan?
Padahal, negara lain seperti Tiongkok sudah berjalan kencang di produksi baterai. Hal ini akan membuat janji hilirisasi nikel menuju kendaraan listrik itu sebenarnya akan sulit buat dicapai, karena pabrik baterainya sudah banyak.
Dia contohkan, pabrik baterai di Tiongkok itu secara rata-rata beroperasi kurang dari 45 persen kapasitas produksinya. Seiring dengan terus dibangunnya kapasitas di Tiongkok, ditambah dengan dorongan agresif dari Amerika Serikat dan Uni Eropa untuk mengembangkan industri mereka, persaingan untuk investasi akan semakin ketat, meski dalam pasar yang terus tumbuh.
Sedangkan Ahmad Ashov Birry, Direktur Program Trend Asia mengatakan transisi sektor transportasi tidak bisa dilihat secara parsial. Dan yang mesti diperhatikan adalah sumber pembangkitan energi kendaraan listrik ini masih sangat tergantung pada bahan bakar fosil batubara.
Padahal, pembangkit listrik tenaga batubara juga termasuk penyumbang polutan atau emisi terbesar. Sementara ia melihat, roadmap pensiun dini pembangkit listrik tenaga uap batu bara sebagaimana diamanatkan dalam Peraturan Presiden Nomor 112 tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik masih belum jelas.
“Mestinya yang perlu dikembangkan adalah transportasi publik yang berdampak pada banyak orang. Tidak hanya soal mengurangi emisi, namun dorongan agar transportasi publik lebih layak juga penting,” pungkasnya. (***)
Kendaraan Listrik di Indonesia: Masa Depan dan Dampak Lingkungan