- Pengembangan ekonomi biru semakin nyata dilaksanakan di Indonesia. Salah satu indikatornya, adalah persiapan yang terus dilakukan Pemerintah Indonesia untuk memulai penerapan kebijakan Penangkapan Ikan Terukur (PIT) berbasis kuota pada 1 Januari 2025
- Program ekonomi biru dilaksanakan melalui banyak cara, dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sebagai pemimpinnya. Kegiatan itu, termasuk mendorong pemanfaatan pulau-pulau kecil untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di pesisir
- Saat melaksanakan ekonomi biru, ada banyak tantangan yang harus dihadapi oleh Indonesia. Salah satunya, adalah dampak perubahan iklim yang sudah sudah terasa terjadi di wilayah pesisir di seluruh Indonesia
- Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) sudah menerbitkan hasil penelitan tentang dampak perubahan iklim pada pengembangan ekonomi biru. Ada sejumlah strategi yang bisa diterapkan, jika ingin ekonomi biru berjalan sukses
Pemerintah Indonesia melalui koordinasi Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tengah membuat berbagai kebijakan terkait ekonomi biru. Ada sejumlah program prioritas ekonomi biru untuk mengembangkan kawasan pesisir dan laut agar tetap berkelanjutan.
Saat menjalankan kebijakan tersebut, bukan hanya regulasi dan komitmen dari pemerintah saja untuk bisa mengawalnya sampai sukses. Namun juga, bagaimana Pemerintah bisa memantau kondisi di lapangan, karena laut memiliki karakteristik istimewa.
Hal itu pula yang menjadi perhatian dari A’an Johan Wahyudi, seorang peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang memiliki kepakaran pada ilmu biogeokimia laut. Dia melakukan penelitian tentang pentingnya pemantauan variabilitas karbon untuk mendukung pembangunan ekonomi biru yang berkelanjutan.
Hasil penelitian tersebut mengukuhkan dirinya menjadi profesor riset di lingkungan BRIN beberapa waktu lalu, dengan tema riset tentang perlunya pendekatan komprehensif dalam melaksanakan pemantauan.
Pendekatan itu mencakup keterlibatan observasi in-situ, pemanfaatan data dan model produk satelit, serta pemantauan yang terencana dan berkelanjutan. In-situ sendiri adalah usaha pelestarian alam yang dilakukan dalam habitat aslinya.
Dia menerangkan bahwa pemahaman mendalam tentang siklus biogeokimia karbon sangat penting untuk upaya mitigasi perubahan iklim dan penurunan emisi karbon. Namun, biogeokimia laut sangat dipengaruhi oleh variabilitas faktor iklim seperti El Niño dan Indian Ocean Dipole (IOD).
Baca : Ekonomi Biru di Indonesia: antara Konservasi Laut dan Ekonomi Maritim
Strategi Mitigasi Perubahan Iklim
Dalam risetnya, dia menawarkan strategi berbasis alam untuk mitigasi perubahan iklim. Tidak hanya membantu menurunkan emisi karbon, itu juga bisa meningkatkan pemanfaatan potensi ekonomi laut Indonesia.
“Manfaat dari riset dan pemahaman mendalam mengenai siklus biogeokimia karbon laut ini sangat besar,” tuturnya.
Terutama, dalam mengembangkan strategi mitigasi perubahan iklim yang lebih efektif, mendukung kesehatan ekosistem laut, dan meningkatkan ketahanan pangan melalui pengelolaan perikanan yang berkelanjutan. Dengan demikian, itu bisa mendukung pembangunan ekonomi biru.
Menurut pria yang meraih gelar doktor bidang sustainable environmental studies dari University of Tsukuba Jepang itu, penelitian yang dilakukannya itu memberikan state of the art mengenai siklus karbon di perairan laut Indonesia yang melibatkan berbagai reservoar dan proses aliran karbon.
Makna dari state of art dalam penelitian ilmiah, menurut Husein Umar adalah adalah rancangan penelitian yang terperinci dan unik dibandingkan penelitian terdahulu. Itu berarti, hasil riset yang dilakukan A’an Johan, membawa angin segar untuk ilmu biogeokimia laut.
Menurutnya, prakiraan variabilitas karbon laut memiliki peran penting dalam pembangunan ekonomi biru, karena karbon laut memainkan peran kunci dalam mengatur iklim global dan menyediakan layanan ekosistem yang vital.
Memahami variasi karbon laut, maka bisa dilakukan pengembangan strategi adaptasi dan mitigasi yang lebih efektif terhadap perubahan iklim. Pemahaman itu mencakup tentang penyerapan dan pelepasan karbon laut ke atmosfer.
“Tentunya, kontribusi ini bermanfaat pada upaya pemerintah Indonesia dalam menekan laju emisi karbon serta meningkatkan pemanfaatan potensi ekonomi biru laut Indonesia,” ucapnya.
Baca juga : Membumikan Ekonomi Biru di Tengah Ancaman Perubahan Iklim
Hasil riset yang sudah ada tersebut, menurut A’an akan terasa lebih bermanfaat, karena saat ini sudah terjadi peningkatan ketidakpastian iklim global dan perubahan variabel lautan yang cepat. Itu menuntut pendekatan lebih holistik dan terpadu dalam memahami dan mengelola dinamika karbon pada sistem laut.
“Salah satu tantangan utama adalah meningkatkan resolusi dan cakupan data observasi in-situ, mengingat kompleksitas spasial dan temporal siklus biogeokimia karbon,” jelasnya.
Penelitian lebih lanjut harus dilakukan, karena hasil kajian komprehensif yang dilakukannya sudah menghasilkan sejumlah riset penting. Di antaranya, perkiraan valid cadangan karbon ekosistem karbon biru di Indonesia, dan faktor emisi ekosistem padang lamun setiap provinsi di Indonesia.
Kemudian, menghasilkan juga variabilitas karbon organik partikulat (POC) di laut Indonesia, periodisasi pengayaan karbon laut, dan proyeksi konsentrasi karbon laut di masa yang akan datang melalui prakiraan deret waktu (time-series forecast).
Katanya, tantangan dan peluang di masa mendatang akan menuntut kerja sama yang erat dan tindakan kolektif untuk bisa terus menjaga kelangsungan hidup ekosistem laut Indonesia. Dengan demikian, diharapkan bisa terus terjaga semua peluang dan potensi, serta keberlanjutan ekosistem di laut dan pesisir.
“Perjalanan riset ini membuka pintu menuju pemahaman yang lebih mendalam tentang peran laut Indonesia dalam dinamika karbon global,” sebutnya.
Baca juga : Ekosistem Pesisir untuk Solusi Mitigasi Berbasis Alam
Lamun, Reservoar Karbon Biru
Lewat orasi ilmiah yang dilakukan pada upacara pengukuhan sebagai profesor riset tersebut, A’an menerangkan lebih lanjut tentang peran riset karbon biru pada pengembangan ekonomi biru. Dia menyebutkan salah satu reservoar karbon laut Indonesia yang perlu mendapatkan perhatian adalah ekosistem karbon biru padang lamun di wilayah pesisir.
Buku orasi tersebut juga menjelaskan tentang kegiatan konservasi padang lamun memiliki peran kunci dalam menurunkan emisi karbon, dengan potensi kontribusi hingga 11,3 persen. Kegiatan itu sangat potensial untuk digunakan sebagai kredit karbon.
Menurut A’an, kredit karbon adalah instrumen keuangan yang diterbitkan atau dibeli oleh organisasi atau individu untuk mengimbangi atau mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK). Konsepnya untuk mengurangi jumlah emisi GRK melalui promosi atau mendukung kegiatan-kegiatan yang menghasilkan atau menyimpan karbon dioksida.
Konservasi ekosistem padang lamun menjadi strategi efektif untuk mendukung pembangunan ekonomi biru, sekaligus menciptakan nilai tambah melalui peningkatan kualitas ekosistem padang lamun yang mendukung sektor pariwisata berbasis laut, pengembangan akuakultur berkelanjutan, dan sumber daya perikanan.
Menurutnya, potensi penurunan emisi karbon dari aktivitas konservasi belum termasuk reservoar karbon laut yang lain seperti ekosistem mangrove, terumbu karang, dan ekosistem pelagik. Karbon juga dapat mengalami proses asimilasi, sekuestrasi, dan emisi di berbagai reservoar tersebut.
“Proses transfer karbon juga selalu terjadi di dalam setiap reservoar maupun antar researvoir. Potensi transfer karbon yang melibatkan karbon organik partikulat tercatat cukup signifikan,” paparnya.
Perlu dibaca : Mangrove dan Lamun, Ekosistem Penting di Wilayah Pesisir Laut
Penerapan Ekonomi Biru
Pelaksana Tugas (Plt) Staf Ahli Menteri Kelautan dan Perikanan Bidang Kemasyarakatan dan Hubungan Antara Lembaga Trian Yunanda menyampaikan peran ekonomi biru pada pengembangan ekonomi di wilayah pesisir dan laut di Indonesia.
Dia menjelaskan itu saat menjadi delegasi pada pertemuan Committee on Fisheries (COFI) ke-36 yang diselenggarakan di Roma pada tanggal 8-12 Juli 2024. Katanya, penerapan ekonomi biru di Indonesia dilakukan salah satunya melalui kebijakan penangkapan ikan terukur (PIT) berbasis kuota yang akan mulai berjalan pada 1 Januari 2025 nanti.
Kebijakan PIT diyakini akan menjadi bentuk pengelolaan perikanan yang berkelanjutan di Indonesia. Hal itu, karena PIT menggabungkan kegiatan perekonomian di wilayah pesisir dan laut dengan kegiatan konservasi yang menjadi dasar prinsip ekologi.
Kemudian, sebagai bentuk dukungan penerapan praktik perikanan berkelanjutan di Indonesia, pemerintah menyampaikan data kuesioner FAO’s 1995 Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF). Juga, mendorong FAO agar secara aktif mengingatkan negara-negara anggota untuk mengisi kuesioner tersebut sesuai waktu yang disepakati.
Di sisi lain, upaya untuk mengembangkan ekonomi biru dilakukan pemerintah dengan terus mendorong investasi yang berkelanjutan pada pemanfaatan pulau-pulau kecil. Dorongan itu dilakukan KKP dengan memberi kemudahan sesuai aturan yang berlaku.
Baca juga : Melongok Dampak Kenaikan Air Laut Akibat Krisis Iklim Lewat Pameran Foto
Direktur Jenderal Pengelolaan Kelautan dan Ruang Laut KKP Victor Gustaaf Manoppo mengatakan, aturan yang dimaksud adalah Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 10 Tahun 2024 tentang Pemanfaatan Pulau-pulau Kecil dan Perairan di Sekitarnya.
Aturan tersebut mengatur mekanisme dan tata cara pemberian izin dan rekomendasi pemanfaatan pulau-pulau kecil. Dengan demikian, pemanfaatan bisa dilakukan dengan tetap mengedepankan prinsip keberlanjutan.
Sebagai pintu utama untuk kegiatan pemanfaatan pulau-pulau kecil, KKP berkomitmen untuk menerapkan mekanisme dan tata cara yang berlaku, serta bersinergi melalui regulasi perizinan yang berlaku.
Cara seperti itu diyakini akan memberikan kepastian hukum dan kemudahan kepada pelaku usaha untuk melakukan investasi di pulau-pulau kecil. Itu juga didukung dengan bisnis proses yang jelas dan tidak ada yang tumpang tindih kewenangan antar kementerian/lembaga dengan pemerintah daerah.
Tegasnya, Victor menyebut kalau untuk mewujudkan mekanisme dan tata cara pemanfaatan pulau-pulau kecil yang benar, diperlukan kebijakan yang tepat, perencanaan yang komprehensif, pengawasan intensif, dan penegakan hukum yang tegas.
“Sehingga tujuan pembangunan pulau-pulau kecil untuk kesejahteraan yang berkelanjutan dapat tercapai. Pemanfaatan pulau-pulau kecil harus mengedepankan keberlanjutan ekologi,” ungkapnya.
Baca juga : Membumikan Ekonomi Biru di Asia Tenggara
Pertumbuhan Ekonomi Baru
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Suharso Monoarfa pada kesempatan sebelumnya mengatakan bahwa ekonomi biru akan menjadi mesin pertumbuhan ekonomi baru bagi Indonesia.
Dia menerangkan, peta jalan ekonomi biru sudah menetapkan komitmen Indonesia untuk meningkatkan kontribusi sektor maritim terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia dari 7,9 persen pada 2022 menjadi 15 persen pada 2045.
“Indonesia juga terus berupaya mengembangkan teknologi transformatif dan praktek berkelanjutan untuk memastikan manfaat ekonomi biru dapat dinikmati seluruh lapisan masyarakat,” jelasnya.
Akan tetapi, dia mengingatkan bahwa potensi mengembangkan ekonomi biru harus dilakukan di tengah ancaman dampak perubahan iklim di kawasan tersebut. Kondisi itu menegaskan bahwa harus ada solusi bersifat inovatif agar komunitas masyarakat di pesisir dan laut bisa tetap hidup dengan nyaman dan selamat.
Dia menekankan tentang pentingnya aspek dalam tujuan ekonomi biru, yaitu tata kelola nasional dan global, pemahaman dan kesepakatan multipihak, serta investasi pemerintah dan swasta. Ketiga tujuan itu diharapkan bisa memberi pencerahan kepada semua pihak dalam memahami ekonomi biru.
“Saya yakin kita dapat mewujudkan ekonomi biru berkelanjutan yang memberikan manfaat signifikan bagi pembangunan nasional dan kesejahteraan masyarakat kita,” pungkasnya. (***)