- Serikat Petani Pasundan (SPP) mendapatkan hak atas tanah mereka melalui perjuangan panjang, sejak puluhan tahun lalu. Perlahan-lahan, upaya mereka membuahkan hasil. Redistribusi tanah mereka dapatkan tahap demi tahap.
- Meski masyarakat berhasil menguasai sejumlah lahan garapan, ancaman kehilangan sawah, kebun, termasuk pemukiman terus ada selama kepemilikan tanah ditentukan sertifikat tanah dari Badan Pertanahan Nasional (BPN). SPP pun berjuang melakukan pemetaan tanah garapan untuk mereka ajukan ke BPN melalui pemerintah daerah.
- SPP muncul karena petani tak punya tanah arapan, sedang di wilayah mereka ada penguasaan skala besar. Menariknya, sejak awal SPP menempatkan perempuan dengan hak dan tanggungjawab sama dengan laki-laki. Dalam buku Pedoman Gerak Langkah Perjuangan SPP disusun Andi Supriadi, Ibang Lukman Nurdin, Indra Agustian dan S Maulana Rahayu, ada sebelas poin yang mengatur peran perempuan dalam SPP.
- Hingga akhir Oktober 2023, pemerintah mengklaim sudah meredistribusi tanah seluas 3,9 juta hektar. Namun dari catatan KPA, baru 5.400 hektar dari 1,6 juta Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA) yang teredistribusikan kepada petani termasuk Pasawahan.
Yani Sri Mulyani, menyapa para anggota organisasi tani lokal (OTL) yang sudah datang pada pengajian Serikat Petani Pasundan (SPP) Garut, pertengahan Agustus tahun lalu. Mereka menanti anggota SPP yang lain kumpul. Pengajian rutin fiqih agraria ini diadakan sebulan sekali di Sekretariat SPP Garut, Jawa Barat.
Yani, merupakan Koordinator Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Jawa Barat. Dia juga ngobrol dengan Elis dan Dedeh dari OTL Cisompet soal rencana distribusi tanah untuk OTL Maloya sekitar 300 hektar yang akan pemerintah serahkan dalam minggu itu.
“SPP Garut, Tasikmalaya, Ciamis dan Pangandaran, perlu siapkan hasil tani atau hasil olahan pertanian untuk pameran pada penyerahan simbolis reditristribusi tanah Maloya,” kata Yani.
Elis dan Dedeh, duduk di Sekretariat SPP. Karena SPP belum siap, mereka minta redistribusi lahan tunda hingga akhir Agustus. Belakangan, redistribusi baru awal September.
Redistribusi tanah ini merupakan penyerahan sertifikat hasil penyelesaian konflik agraria kepada petani yang telah menggarap setidaknya sejak 20 tahun lalu.
Redistribusi tanah untuk OTL Maloya penting mengingat perjuangan mereka mempertahankan lahan garapan bersamaan dengan sejak Orde Baru tumbang.
Elis dan Dedeh, bersama petani perempuan lain di SPP Garut, 20 tahun lalu, sekitar delapan bulan pernah berhadap-hadapan dengan Brimob untuk mendapatkan tanah garapan.
Kala itu, terjadi perebutan wilayah garapan antara masyarakat dengan Perhutani. Di Cisompet tanah garapan mereka mau jadi kebun karet. Masyarakat penolak harus berhadapan dengan preman atau polisi yang melarang mereka menggarap lahan.
Meski kemudian masyarakat berhasil menguasai sejumlah lahan garapan, ancaman kehilangan sawah, kebun, termasuk pemukiman terus ada selama kepemilikan tanah ditentukan sertifikat tanah dari Badan Pertanahan Nasional (BPN).
SPP pun berjuang melakukan pemetaan tanah garapan untuk mereka ajukan ke BPN melalui pemerintah daerah.
Redistribusi tanah di Maloya merupakan kali kedua sejak reforma agraria era Presiden Joko Widodo. Sebelumnya, redistribusi di Desa Pasawahan sekitar 200 hektar.
Sejak awal, Jokowi menyatakan akan menjalankan reforma agraria melaui 4,5 juta redistribusi tanah dan 4,5 juta legalisasi (sertifikasi).
Hingga akhir Oktober 2023, pemerintah mengklaim sudah meredistribusi tanah seluas 3,9 juta hektar. Namun dari catatan KPA, baru 5.400 hektar dari 1,6 juta Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA) yang teredistribusikan kepada petani termasuk Pasawahan.
“Semoga cepat sebelum Jokowi lengser,” harap Elis.
***
Sekitar pukul 15.00, jelang Ashar, puluhan petani berdatangan. Masing-masing membawa makanan, ada nasi, lauk pauk dan panganan tradisional. Obrolan seputar redistribusi Organisasi Tani Lokal (OTL) Maloya terus mengalir.
Mereka antusias, siap menyediakan apa saja kebutuhan saat redistribusi berlangsung.
Sekitar pukul 16.00, pengajian mulai. Sejumlah petani, laki-laki dan perempuan duduk berdampingan di dalam sekretariat. Sebagian mendengarkan dari luar ruangan sambil menyiapkan makan malam.
Setiap bulan, pengajian bergilir. Minggu itu, bertugas anggota OTL Mekar Sari yang menyediakan pemandu acara, penceramah hingga makan malam.
Ustad Yusuf, akrab disapa Ucup, mengulas pentingnya menjalani takdir dengan ikhlas. Sebagai petani, katanya, terus menanam sebagai bentuk menjalani takdir dengan ikhlas.
“Jadi, petani sudah ada takdir rejekinya. Meski ada El-Nino atau apapun, tetap jadi petani saja,” katanya.
Fenomena El-Nino pada 2023 menyebabkan kemarau lebih panjang dari biasa. Keadaan ini berimbas pada petani-petani tadah hujan. Biasa musim hujan musim menanam, tetapi hingga akhir tahun hujan tak kunjung turun.
Dalam pengajian, Ustad Yusuf juga mengingatkan anggota SPP Garut tidak menyerah mendapatkan hak atas tanah yang sedang mereka perjuangankan.
“Ibarat bangunan, setiap hari dikerjakan, pasti ada hasilnya.”
Ustad Yusuf mengingatkan, sebagai organisasi, perlu terus penguatan SPP sebagai warisan untuk generasi selanjutnya.
“Seperti sapu lidi, jika satu-satu tak bisa dipakai, jika ditalikan Insyaallah bisa menyapu apa saja. Tak usah memikirkan hasilnya. Kerjakan saja. Bersyukur saja,” katanya.
Pengajian lanjut dengan istighosah lalu penutupan dengan makan malam bersama. Lauk tempe, tahu, telor, lalapan daun pepaya, jengkol dan kerupuk jadi santapan bersama petani dari hasil panen mereka.
Setelah makan malam, sekitar pukuL 19.00, acara lanjut dengan rapat OTL menindaklanjuti rencana pembangunan sekretariat organisasi di masing-masing desa.
Dalam tiap pertemuan OTL memang jadi sarana mereka membahas berbagai hal. Saat itu, selain soal sekretariat, para petani di SPP ini juga bahas mengenai penolakan terhadap program perhutanan sosial.
Perhutanan sosial merupakan skema kelola lahan masyarakat dengan model izin selama 35 tahun.
Yang membuat anggota SPP menolak, skema ini poin soal jika dalam masa itu masyarakat dinilai gagal mengelola lahan, pemerintah bisa cabut izin. Lagi-lagi akhirnya, lewat skema ini, tanah tetap jadi milik negara, bukan masyarakat.
Sisi lain, kalau petani yang memperjuangkan reforma agraria menerima perhutanan sosial, berarti mereka mengakui tanah yang mereka garap tanah negara. Padahal, prinsip perjuangan mereka adalah mengambil kembali tanah yang dulu dirampas negara. Sesuatu yang sangat bertolak belakang dengan apa yang jadi perjuangan para petani.
Dalam rapat sebelumnya, SPP sepakat menolak skema ini dengan memasang spanduk penolakan dalam kegiatan maupun sekretariat OTL masing-masing.
“Bentuk perlawanan harus jelas,” kata Yani yang mendampingi pendirian SPP sejak dua dekade silam.
Dalam rapat terdata kalau sejumlah OTL sudah membangun sekretariat, ada bangunan khusus, ada yang memanfaatkan rumah petani sebagai sekretariat.
Di Mekar Mukti dan Daniang, misal, sudah ada sekretariat dan mereka memasang spanduk penolakan perhutanan sosial. Di Suka Mukti dan Pamegatan, saat itu belum ada sekretariat karena belum ada lahan.
Di Pamegatan, petani sedang membangun green house untuk membantu produksi hasil pertanian.
Secara bergantian, perwakilan petani masing-masing OTL perempuan maupun laki-laki menjelaskan kondisi organisasi mereka dari sekretariat sampai bentuk perlawanan terhadap perhutanan sosial.
Asep, perwakilan OTL Suka Tani mengatakan, sudah menyediakan satu rumah untuk jadi sekretariat, namun perlu renovasi.
“Nunggu tomat habis dulu baru kami bangun sekre,” kata Asep.
Tak hanya itu, katanya, mereka perlu membangun jalan menuju sekretariat. Mereka biasa membangun jalan dengan gotong royong.
Untuk perhutanan sosial, kata Asep, sempat ada obrolan antara anggota SPP dengan sekretaris desa mengenai tanah yang sudah tergarap anggota SPP.
“Itu tidak akan diganggu,” kata Asep, menirukan jawaban pihak desa.
Nana Rusmana, Ketua Dewan Kabupaten SPP Ciamis mengatakan, penolakan anggota SPP terhadap perhutanan sosial bukan tak beralasan.
Lebih 23 tahun SPP berjuang mendapatkan legalitas hak atas tanah hingga jadi bukti bahwa SPP sanggup mengelola lahan dan memberikan kesejahteraan untuk anggota.
Selama dalam garapan anggota SPP, kata Nana, petani mengelola lahan, membangun jalan dan memberikan penghasilan memadai untuk petani.
Mereka tak habis pikir, alasan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan masih memasukkan perhutanan sosial di wilayah itu.
“Apa sebenarnya yang kurang? Saya heran mengapa begitu ngotot KLHK memasukkan perhutanan sosial?” kata Nana.
Sejarah Serikat Petani Pasundan
Melihat sejarah pembentukan, SPP muncul karena petani tak punya tanah arapan, sedang di wilayah mereka ada penguasaan skala besar untuk kebun kayu hutan produksi, PT Perhutani dan perkebunan untuk kebutuhan ekspor oleh perusahaan negara maupun swasta.
Dalam pengalaman mereka, terjadi ketidakadilan agraria saat lahan dikuasaidalam kuasa perusahaan-perusahaan itu. Saat perusahaan meraup untung besar, masyarakat hidup dalam keprihatinan.
Atas dasar itulah, untuk memperbaiki kehidupan setelah Orde Baru tumbang, lahan-lahan kelola Perhutani dan perkebunan swasta, masyarakat duduki kembali (reklaiming).
SPP berawal dari gerakan orang muda. Pada 1989, sekelompok organisasi pemuda di Kota Garut membentuk Forum Pemuda Pelajar dan Mahasiswa Garut (FPPMG).
Pada awal kemunculannya, organisasi ini aktif mengurus masalah lingkungan, buruh, agraria hingga masalah masyarakat miskin kota.
Mulanya, FPPMG bergerak sendiri. Belakangan mereka bergabung dengan mahasiswa dari Bandung membentuk Komite Pemuda dan Mahasiswa Untuk Rakyat Indonesia (KPMURI).
Saat itu, KPMURI aktif mendampingi konflik agraria di wilayah Sagara, Kabupaten Garut. Bersama LBH Bandung, mereka sepakat membentuk Serikat Petani Jawa Barat (SPJB).
Agustiana, kini Sekjen SPP, bilang, saat itu sudah ada keinginan membentuk serikat petani di selatan Jawa Barat. Namun kondisi politik rentan ancaman dan penindasan dari penguasa saat itu hingga mereka memilih bergabung dengan organisasi yang lebih besar.
Pada 1995, FPPMG mendirikan Yayasan Pengembangan Masyarakat (Yapemas) untuk melindungi organisasi. Setelah itu, sekitar 1998-1999, aktivis pemuda dan mahasiswa membentuk Forum Pemuda dan Mahasiswa untuk Rakyat (FPMR) di Tasikmalaya dan Forum Aspirasi Rakyat dan Mahasiswa Ciamis (Farmaci) di Ciamis.
Singkat cerita, lembaga-lembaga inilah yang mendorong petani membentuk SPP dan mendeklarasikan diri pada 24 Januari 2000.
Deklarasi dihadiri petani dari Sagara, Pamegatan, Jangkurang, Pakenjeng, dan Cisurupan dari Garut. Dari Ciamis juga hadir petani Cibenda dan Cieceng, Tasikmalaya.
SPP membentuk Organisasi Tani Lokal (OTL) sebagai basis anggota dan kegiatan di desa-desa.
Umumnya, di desa-desa itu ada perkara yang membuat resah penduduk. Di Desa Sarimukti, Garut, pada 1998, misal, SPP muncul berawal dari kasus korupsi kepala desa. Jatah beras gratis untuk orang miskin (raskin) kepala desa jual ke luar desa.
Saat itu, beberapa tokoh masyarakat Sarimukti datang ke Kantor FPPMG yang mereka kenal dari seorang warga desa. Dengan dampingan FPPMG, mereka demonstrasi di depan Kejaksaan Garut menuntut penyidikan.
Setelah kasus ini, diskusi antara masyarakat dan FPPMG terus berlanjut. FPPMG menemukan sebagian besar warga buruh tani terjerat utang pada pemodal.
Mereka lantas mendirikan koperasi dan mulai menggarap lahan erfpacht verponding seluas 350 hektar bersama-sama dan mendirikan OTL.
Kasus lain di Cibenda, Ciamis. Pada 1992, sebagian warga penggarap di Blok Bulak Laut kehilangan lahan garapan karena tanah pemerintah izin kepada pengusaha.
Pada 1993, lahan masyarakat jadi tambak udang. Masyarakat protes namun tak pemerintah indahkan. Karena itulah, kemudian mereka membentuk OTL.
Pendirian OTL di Jangkurang pada 1999 juga berawal pengaduan warga ke Kantor Yapemas soal kasus sertifikat palsu seorang veteran lima tahun sebelumnya. Di sini, masalah rumit karena tanah garapan masyarakat sejak 1945 seluas 198 hektar telah pemerintah desa jual kepada tuan-tuan tanah.
Tuan tanah ini mengerahkan preman untuk menakuti penduduk dengan cara kekerasan. Yapemas dan LBH Bandung mendampingi masyarakat menggugat manipulasi penjualan oleh kepala desa dan oknum pegawai Badan Pertanahan Nasional (BPN).
Serupa juga terjadi di Desa Karyasari, Cikujang, Margaharja, Cikaso, Cigayam, Banjaranyar, Kalijaya, Pasawahan, Sindang Asih, Neglasari, Bungbulang, Badega, Pamegatan, Karamatwangi, Margamulya, Sukatani, Bangunkarya, dan lain-lain.
Sejak berdiri, SPP menetapkan posisi sebagai pelopor perubahan nasib petani miskin karena tak punya tanah garapan. SPP kemudian menetapkan pembaruan agraria atau land reform sebagai satu-satunya jalan mengubah nasib petani jadi lebih baik.
Agenda reforma agraria tak hanya terjadi di Indonesia lewat SPP. Di berbagai negara Asia, Afrika, dan Amerika Latin, pembaruan agraria juga jadi jalan perjuangan banyak organisasi petani untuk melepaskan diri dari penjajahan penguasa tanah.
Ada tiga proses utama dalam pembaruan agraria, yakni, redistribusi tanah untuk penggarap, perbaikan layanan alam dan penataan produksi bersama.
Menariknya, sejak awal SPP menempatkan perempuan dengan hak dan tanggungjawab sama dengan laki-laki. Dalam buku Pedoman Gerak Langkah Perjuangan SPP disusun Andi Supriadi, Ibang Lukman Nurdin, Indra Agustian dan S Maulana Rahayu, ada sebelas poin yang mengatur peran perempuan dalam SPP.
Intinya, perempuan harus ikut ambil bagian dalam musyawarah baik dalam keluarga, kampung maupun dalam organisasi. SPP mendorong perempuan untuk menentukan mulai dari tanaman apa yang akan ditanam di tanah garapannya, bagaimana pengelolaannya hingga ikut mengurus organisasi dan ikut andil dalam penyelesaian sengketa agraria di desanya.
Itulah mengapa sosok-sosok perempuan seperti Elis, Dedeh, dan perempuan-perempuan yang lain berperan sentral dalam organisasi tani lokal di SPP ini.
Selain itu, dalam buku Pedoman Gerakan Rakyat untuk Pembaruan Agraria oleh Andi SupriadI dkk, gerakan OTL SPP pun mendapatkan cara baru mewujudkan cita-cita mendapat tanah garapan dan membangkitkan harga diri sebagai petani pejuang.
Sejak awal SPP terbentuk pondasi awal organisasi adalah penguasaan, penggarapan, dan penatagunaan tanah, perbaikan layanan alam, penataan produksi bersama, dan pembangunan usaha ekonomi bersama. Juga, pendidikan dan latihan, pengorganisasian rakyat petani, mendorong keaktifan perempuan dalam organisasi, kampanye, membangun kesadaran kritis anggota, pembangunan jaringan, demonstrasi. Lalu, mengubah kebijakan pemerintah, penggalangan dana, studi banding, pembelaan lewat pengadilan, pengolahan data dan dokumentasi serta kaderisasi.
Keputusan tertinggi di SPP lewat Kongres Dewan Pimpinan OTL minimal harus dihadiri dua pertiga pimpinan organisasi. Sehari-hari, SPP dipimpin sekretaris jenderal dibantu deputi sekjen.
Setiap kabupaten punya koordinator kabupatan dan koordinator wilayah yang membawahi OTL. Sementara anggota berada di desa-desa.
Eksistensi SPP tak lepas dari dukungan kelompok mahasiswa, seperti Forum Pemuda Pelajar dan Mahasiswa Garut (FPPMG) di Garut, Forum Pemuda Mahasiswa untuk Rakyat (FPMR) di Tasikmalaya dan Forum Aspirasi Rakyat dan Mahasiswa Ciamis (Farmaci) di Ciamis.
Untuk memenuhi kebutuhan anggota SPP, ada sejumlah layanan termasuk sekolah, layanan hukum dan pendidikan organisasi.
Hingga kini, sudah 11 sekolah berdiri swadaya oleh SPP. Layanan hukum terbentuk untuk membantu anggota dalam proses pengadilan. Juga, memberikan pendidikan hukum serta kajian kritis lain agar berkontribusi dalam pembuatan kebijakan yang berpihak pada petani.
Untuk pendidikan organisasi untuk mendidik pemimpin SPP punya:
- Kursus Kepemimpinan Rakyat bagi pimpinan OTL untuk belajar tentang cara kerja organisasi dan kepemimpinan agar pimpinan organisasi tani local dapat berperan dalam pemerintahan desa atau badan lain di desa.
- Kursus Pembaruan Desa dan Agraria untuk pemimpin SPP yang telah menduduki jabatan di tingkat desa. Kursus ini diikuti non anggota SPP agar mereka dapat bekerja sama membangun wilayah melalui pengoptimalan pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya manusia. Inilah salah satu program yang berperan dalam mempertahankan budaya gotong royong di desa-desa basis SPP. Agar kepala desa bekerja sesuai dengan keinginan rakyat, bukan atasan yang lebih tinggi seperti bupati atau camat.
- Kursus land reform
Ini kursus khusus untuk anggota SPP mengenai gagasan land reform agar anggota mampu merealisasikan gerakan reforma agraria. Di sini mereka belajar mulai dari kebijakan agraria, kajian Undang-undang Pokok Agraria Nomor 5/1960, Ketetapan MPR RI No I/2001 dan lain-lain. Juga tantangan SPP dalam mewududkan keadilan agraria.
Berbagai tantangan
Perjuangan hak atas tanah oleh rakyat petani sering berhadapan dengan tuduhan-tuduhan sebagai gerakan Partai Komunis Indonesia (PKI), Darul Islam (DI), atau gerombolan.
Ada upaya adu domba antara buruh perkebunan dengan petani penggarap dengan membayar preman hingga menimbulkan konflik dan bentrok fisik. Beberapa contoh dialami Ketua OTL Cieceng di Tasikmalaya, OTL Bungbulang di Garut dan OTL Selasari di Ciamis.
Mereka dilaporkan ke kepolisian, ditangkap dan dipenjara masing-masing 4 bulan, 6 bulan dan 2 tahun.
Tantangan lain juga datang dari tokoh masyarakat setempat, akademisi dan pemerintah yang melihat SPP sebagai gerakan terlarang atau pemberontakan. Di Cikanyere, Cipatujah, misal, SPP pernah dituduh bersalah karena kegiatan dianggap bertentangan dengan pemerintah setempat.
Menurut Tata, anggota SPP yang kini Kepala Desa Banjaranyar, SPP hanya ingin berdaulat di tanah mereka sendiri tanpa mengharapkan bantuan instan dari pemerintah. Baginya, bantuan langsung seperti beras atau bantuan langsung tunai justru mengecilkan jiwa petani.
“Bantuan dari pemerintah bukannya membantu kemiskinan tapi memiskinkan masyarakat. Orang yang dapat jadi menunggu. Harusnya jangan dimanjakan,” katanya.
Tata telah jadi kepala desa selama tiga periode ini meyakini, kepemilikan tanah merata menjadi kunci kesejahteraan rakyat.
“Ternyata yang mensejahterakan rakyat itu tanah. Salah satu yang mensejahterakan saya itu ya tanah. Tanah negara yang dikuasai konglomerat diberi ke rakyat itu baru Makmur.”
Redistribusi lahan pemerintah pun bagi SPP adalah bonus. Bagi mereka hasil panen padi, kelapa, kentang, jagung, buah dan rempah-rempah selama ini adalah sertifikat sesungguhnya.
***
Setelah pertemuan OTL malam itu, Yani menyalakan perekam video. Beberapa perwakilan OTL menyusun kata-kata untuk pernyataan penolakan perhutanan sosial di desa-desa basis SPP.
Yani, adalah pendiri SPP. Sejak 1995, saat masih mahasiswa, Yani bergabung dengan FPPMG.
Masa itu, dia aktif di klub karate. Tempat latihan karate dekat dengan Sekretariat FPPMG. Setiap selesai latihan karate, Yani biasa main di Sekretariat FPPMG. Mulanya, hanya numpang mengetik tugas kuliah sambil sesekali memperhatikan aktivitas mahasiswa di organisasi yang kelak membidani kelahiran SPP.
Di sana pula Yani bertemu Agustiana, yang hingga kini jadi Sekjen SPP. Agustiana mengajak Yani aktif mendampingi warga bersama FPPMG. Hatinya terpanggil saat suatu malam Yani ikut refleksi akhir tahun FPPMG di Desa Sagara, pantai selatan Jawa Barat.
Di desa ini, warga yang dulu penjual golok dan samurai, kembali ke desa untuk menggarap lahan yang dikuasai dan sebagian PTPN VIII telantarkan.
Masyarakat kemudian meminta hak garap pada perkebunan. PTPN membri hak garap asal memberi uang sewa. Masyarakat menyanggupi dan ada kesepakatan untuk menggarap selama enam bulan.
Belum enam bulan PTPN bikin plang yang menyatakan ada Garapan di lahan itu. Masyarakat kecewa lalu mengadu ke FPPMG.
Saat itulah, Yani terlibat pendampingan dan pengorganisiran masyarakat.
“Pulang dari kampung itu saya kayak terpanggil gitu,” kenang Yani.
Sejak itu, dia aktif mendampingi berbagai kasus lain termasuk di Cisompet, Cilawu dan banyak desa lain yang mulai ada gerakan pengambil alihan lahan garapan sejak Soeharto lengser.
Sampai 2000, sejumlah OTL berkumpul dan mendeklarasikan pendirian SPP pada 24 Januari 2000.
Saat awal berdiri Yani punya keresahan terhadap organisasi. Dalam setiap pertemuan organisasi lebih banyak hadir pemuda dan bapak-bapak. Perempuan hanya sedikit ikut aktif dalam pertemuan organisasi.
Yani meyakini perempuan punya peran penting dalam memperjuangkan agenda reforma agraria.
“Perjuangan agenda reforma agraria ini bukan hanya tanggung jawab laki laki saja juga perempuan. Kita lihat kehidupan masyarakat buruh tani pada saat itu, perempuan turut dalam pengolahan lahan.”
Masalahnya, karena terjadi konflik agraria muncul ketakutan pada perempuan. Ketika laki-laki begitu rentan saat berhadapan dengan preman atau aparat yang diperintah perusahaan, perempuan punya peran ganda, harus mengerjakan pekerjaan domestik juga mengolah lahan garapan.
Saat pertemuan mengkonsolidasikan gerakan jarang perempuan hadir karena sudah banyak yang harus mereka kerjakan. Ada beberapa perempuan kelompok elit seperti yang tergabung dalam kelompok PKK atau kader Posyandu. Perempuan lain belum terlibat.
“Peran perempuan kurang diperhatikan. Saya berpikir, perubahan harus terjadi.”
Yani mulai menggedor satu persatu pintu rumah petani-petani perempuan. Mengajak mereka bicara, menguatkan dan meyakinkan. Membangun kepercayaan diri untuk mau terlibat dalam aktivitas organisasi yang mulai memperjuangkan lahan garapan.
Seiring waktu berjalan, kini perempuan malah lebih progresif. Perempuan hadir dalam rapat organisasi dan menyampaikan gagasan hingga kemudian ikut aksi menolak perampasan lahan di desanya.
Yani melihat bagaimana perempuan yang mendapat dampingan SPP terampil mengorganisir diri.
Dia menyaksikan para perempuan di desa-desa terus mengkonsolidasikan kekuatan. Tak ada yang jadi penghalang buat mereka. Semua perempuan termasuk ibu-ibu yang punya bayi ikut melawan preman dan aparat.
Hingga akhirnya mereka berhasil memukul mundur aparat dan preman dari desa-desa.
“Hanya dengan kekuatan organisasilah agenda reforma agraria itu bisa dilakukan. Karena nggak bisa juga memperjuangkan hak atas tanah hanya dengan perorangan, harus melalui organisasi.”
Perjuangan dan solidaritas SPP tak berhenti di sana. Meski saat ini konflik agraria tidak seperti 20 tahun lalu, ancaman penguasaan tanah oleh korporasi masih menghantui.
Terbaru dengan ada Undang-undang Cipta Kerja yang terbentuk untuk mempermudah investasi masuk ke Indonesia. Kemudahan ini berisiko ruang hidup masyarakat teramps.
Pemerintah bisa kapan saja memberikan izin konsesi kepada perusahaan yang mau berinvestasi.
SPP pun kemudian aktif dalam setiap aksi penolakan Undang-undang yang biasa disebut omnibus law ini. Desa-desa basis SPP, kata Yani, harus menjaga daerah mereka agar tanah tak terampas kembali.
“Tanah yang sudah bersertifikat saja rentan digusur apalagi yang belum. Upaya mempertahankan ini bukan barang mudah. Butuh kekuatan massa yang benar-benar solid, militan dan tidak bisa hanya dilakukan laki-laki. Butuh kerjasama bapak-bapak dengan perempuan,” kata Yani.
Sejak 2002, SPP punya Institute Kepemimpinan Rakyat (IKR) yang mendorong lahirnya pemimpin perempuan di basis-basis SPP. Perempuan-perempuan tani pun makin solid.
Tak hanya mendekati kelompok perempuan, Yani juga mendekati para pemuka agama untuk memberikan pemahaman kalau yang SPP perjuangkan bukanlah komunisme tetapi hak mendapatkan tanah. Yang dilakukan petani bukanlah mengambil hak orang lain.
Memberikan pendidikan soal agraria lewat pengajian ternyata ampuh mengumpulkan massa dan menyebarkan pemahaman soal reforma agraria. Terlebih, katanya, banyak perempuan ikut pengajian.
Menurut Yani, dengan peran perempuan SPP kini mampu swadaya membangun sekolah-sekolah, sarana ibadah, hingga fasilitas umum. Inilah yang Yani ingin pemerintah lihat dari SPP.
“Dengan memberikan kedaulatan kepada petani, dalam bentuk lahan dan perlindungan lahan mereka, petani mampu mandiri, berdaulat, meningkatkan ekonomi dan tak bergantung pada program pemerintah,” katanya.
*Tulisan ini terbit atas kolaborasi Mongabay Indonesia dan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA).
********