- Dampak perubahan iklim makin nyata dirasakan warga dunia, termasuk di Indonesia, seperti kenaikan muka air laut, abrasi, longsor, banjir bandang, dan berbagai infrastruktur pembangunan.
- Dampak perubahan iklim juga dirasakan pada sektor pendidikan di Indonesia. Sehingga Kemendikbud Ristek memasukkan pendidikan perubahan iklim pada kurikulum merdeka sebagai upaya mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.
- Pendidikan perubahan iklim juga dapat mendukung pengembangan ekonomi hijau, membuka peluang bisnis dan lapangan kerja baru.
- Praktik baik sekolah yang peduli terhadap lingkungan selain bisa menjadi sumber belajar yang menyenangkan, juga bisa memberikan keterampilan siswa-siswi sekolah dalam menyikapi perubahan iklim.
Dampak perubahan iklim semakin nyata dirasakan warga global termasuk di Indonesia. Secara kasat mata, perubahan iklim yang memicu meningkatnya bencana seperti kenaikan muka air laut, abrasi, longsor, banjir bandang, dan berbagai infrastruktur pembangunan.
Dampak perubahan iklim juga dirasakan pada sistem dan hasil pendidikan bagi generasi saat ini maupun kedepan. Misalnya pada saat terjadi kekeringan berpengaruh ke sektor pertanian. Juga cuaca di laut yang tidak menentu membuat nelayan sulit melaut.
Hal itu membuat tidak sedikit anak-anak meninggalkan sekolahnya secara permanen karena bekerja dan membantu keluarga mereka. Buntut dari krisis iklim ini anak-anak menjadi terganggu menyelesaikan pendidikannya.
Alih-alih berisiko tinggi terkena dampak perubahan iklim, namun sebaliknya melalui pendidikan, baik formal, non formal maupun informal juga bisa menjadi solusi sebagai upaya mitigasi dan adaptasi untuk mengatasi perubahan iklim berdasarkan karateristik lokal masing-masing sekolah.
Untuk itu, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbud Ristek) menjadikan pendidikan perubahan iklim sebagai bagian penting dalam kurikulum merdeka.
Anindito Aditomo, Kepala Badan Standar, Kurikulum dan Asesmen Pendidikan, Kemendikbud Ristek mengungkapkan, melalui kurikulum merdeka ini ada banyak hal yang bisa dilakukan, salah satunya dengan mengajak siswa untuk mengambil aksinya sendiri dan berkontribusi menurunkan emisi.
Walaupun ia sadar bahwa perubahan iklim ini tidak cukup diatasi dengan pendidikan saja, namun juga ada pendekatan ekonomi, politik dan pendekatan hukum. Meski begitu, baginya pendidikan menyumbang peran yang sangat penting. Sebab, melalui pendidikan perilaku dan alam pikir generasi selanjutnya mampu dibentuk selaras lingkungan.
“Perilaku dan alam pikir itu yang menentukan keputusan-keputusan sehari-hari yang bisa berdampak pada solusi untuk mengatasi perubahan iklim,” ujarnya dalam diskusi bertajuk “Bergerak Bersama untuk Pendidikan Perubahan Iklim dalam Kurikulum Merdeka” di Jakarta, baru-baru ini.
Perilaku yang dimaksud yaitu seperti memilih produk ramah lingkungan, mewajibkan menanam pohon, menggunakan transportasi umum saat bepergian, mendaur ulang sampah, mengurangi sampah makanan, dan menghemat energi.
Baca : Ketika Perubahan Iklim Sulitkan Anak-anak Tanjung Pasir Akses Pendidikan
Mendukung Ekonomi Hijau
Pendidikan perubahan iklim dalam kurikulum merdeka ini juga bisa mendukung Indonesia untuk mengambil peluang ekonomi hijau. Potensi dari ekonomi hijau ini menghasilkan peluang bisnis senilai USD10 triliun di tahun 2030. Disamping itu juga bisa menciptakan 3,395 juta lapangan pekerjaan.
Kendati demikian, untuk menangkap peluang itu, Andindito mengungkapkan juga harus diimbangi dengan keterampilan hijau. Kesempatan pekerjaan hijau dalam transisi karbon masih cukup berpeluang. Dan yang lebih penting yaitu dapat mewujudkan potensi solusi iklim berbasis alam di Indonesia.
Dalam penerapkan pendidikan perubahan iklim dalam kurikulum merdeka ini, lanjutnya, perlu merujuk pada prinsip dan pendekatan yang relevan, seperti memberikan pemahaman global, namun diterapkan sesuai keunikan konteks krisis iklim di daerah satuan pendidikan.
Selain itu juga harus afektif, menginspirasi untuk mengambil peran aktif yang bisa menyentuh perasaan/emosi, menumbuhkan empati, membangun nilai dan etika. Selain itu pendidikan perubahan iklim juga wajib merujuk pada pengetahuan dengan menggunakan data ilmiah, informasi teknologi, kearifan lokal, bahkan informasi dari alam sekitar.
Adapun prinsip dan pendekatan lain yang bisa diterapkan dalam pendidikan perubahan iklim ini yaitu bisa dipelajari dalam berbagai mata pelajaran, bahkan menjadi bagian dari ko-kurikuler, ekstra kurikuler, dan budaya sekolah.
“Langkah konkrit yang bisa dilakukan oleh satuan pendidikan ini bisa berangkat dari konteks lokal, seperti bagaimana dampak secara langsung yang dihadapi sekolah,” paparnya. Kemudian, sumber daya apa yang sudah dimiliki baik itu fisik maupun non fisik.
Upaya selanjutnya adalah mengidentifikasi cara integrasi yang sesuai dengan budaya sekolah, intrakurikuler, kokurikuler, dan ekstrakurikuler. Lalu mengembangkan rencana pembelajaran, dan mengidentifikasi potensi kemitraan dengan pihak lain.
Sebagai alat bantu untuk mengimplementasikannya, lanjut Anindito, para pendidik bisa berpedoman pada buku Panduan Pendidikan Perubahan Iklim.
Baca juga : Kala Anak Muda Tuntut Aksi Nyata Atasi Krisis Iklim
Pendidikan Peduli Lingkungan
Sebagai upaya mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim ini, pendidikan yang peduli terhadap lingkungan dinilai bisa menjadi salah satu jawaban yang relevan untuk menjawab berbagai tantangan yang dihadapi.
Praktik baik ini selain bisa menjadi sumber belajar yang menyenangkan juga bisa memberikan keterampilan siswa-siswi sekolah. Setidaknya itu yang diakui Lobi Ori, Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Sumba Barat, NTT.
Berangkat dari permasalahan lokal seperti kekeringan akibat krisis iklim di daerahnya, pihaknya mendorong inisiatif terbentuknya sekolah hijau. Konsepnya setiap siswa sekolah diwajibkan menanam, baik itu tanaman pangan maupun pepohonan.
Hasil dari menanam tanaman dijadikan tambahan gizi untuk siswa-siswi. Upaya ini dilakukan karena ia sadar bahwa kekeringan yang menyebabkan gagal panen di daerahnya itu berdampak pula ke siswa-siswi menjadi kekurangan gizi.
Katanya, ada hal yang menyenangkan dari menerapkan pendidikan peduli lingkungan ini yaitu mampu memberikan pelajaran kepada siswa-siswi tentang literasi dan numerasi.
Ia contohkan, lewat menanam pohon ini mereka juga belajar menulis nama pohon menggunakan bahasa daerah, nasional, maupun ilmiahnya. “Dengan metode ini murid jadi lebih senang dan bahagia ketika datang belajar ke sekolah,” katanya.
Pengalaman sama juga diceritakan Suyanti Supardi, Pendiri dan Kepala Sekolah Alam Pacitan, Jawa Timur. Berawal dari keresahan melihat sampah yang ditinggalkan pasca acara-acara besar di daerahnya, ia kemudian berinisiatif mengajak anak didiknya untuk peduli terhadap masalah sampah. Kesadaran dibentuk melalui program ‘semut’ akronim dari ‘sejenak memungut’.
“Hasilnya, Anak-anak sudah paham ketika melihat sampah berserakan akan memungutnya tanpa disuruh,” ujarnya.
Tak hanya itu, untuk mendukung pendidikan yang peduli terhadap lingkungan ini ada 18 program yang dijalankan.
Tak jauh beda, Siti Kamila, Guru SMP Negeri 3 Putik, Kabupaten Kepulauan Anambas, Riau mengungkapkan, krisis pangan yang pernah terjadi di daerahnya membuatnya tergerak mendorong siswa-siswi memiliki keterampilan menanam. Sebagai guru, ia juga berusaha mereplikasi pembelajaran lingkungan hidup dalam semua mata pelajaran.
Baca juga : Kebun Sekolah: Solusi Kreatif Mitigasi Iklim di Majalengka
Mendorong Transisi Energi
Dihubungi terpisah, Pengkampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Adila Isfandiari mengapresiasi langkah yang dilakukan Kemendikbud Ristek. Tetapi Adila menyoroti terminologi perubahan iklim yang digunakan.
Mestinya, dengan menguatnya siklon dan ekstremitas cuaca dampak dari perubahan iklim, maka perubahan iklim agar dipandang sebagai krisis iklim. Hal ini penting sebagai upaya untuk meningkatkan perhatian dan keseriusan pemerintah untuk menekan seminimal mungkin emisi karbon.
Kendati hanya berupa buku panduan pendidikan perubahan iklim ini, Adila menilai, seharusnya ada kebijakan level nasional yang mewajibkan sektor pendidikan agar mampu mengurangi penggunaan listrik di masing-masing sekolah.
“Selain hanya himbauan, mendorong transisi energi di sekolah-sekolah itu juga penting dilakukan,” tutur Adila kepada Mongabay pekan lalu.
Di Jakarta, mengacu pada data Satuan Pendidikan Kemendikbud Ristek, jumlah total penggabungan dari SD/sederajat dan SMP/sederajat mencapai 4.044 sekolah. Dari jumlah itu, hanya 98 sekolah yang mendukung pemanfaatan energi terbarukan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) yang lebih ramah lingkungan.
Sedangkan Spesialis Komunikasi Iklim Yayasan Indonesia Cerah, Arie Rostika Utami mengatakan, alih-alih sudah ada panduan pendidikan perubahan iklim dalam kurikulum merdeka ini, hal terpenting adalah mengedukasi guru maupun siswa terkait dengan sumber-sumber listrik yang ada di Indonesia.
Tak kalah pentingnya membekali guru untuk memahami isu perubahan iklim. Karena tidak semua guru bisa memberi contoh untuk menerapkan gaya hidup yang peduli terhadap krisis iklim.
“Tidak cukup hanya dibuatkan buku panduan, sosialisasi juga harus lebih intens dilakukan. Saya rasa menarik juga kalau setiap sekolah itu punya check list perhitungan pengurangan sampah atau emisi,” pungkasnya. (***)