- Pelet kayu, sebagai bahan baku pembangkit biomassa maupun PLTU co-fring. Permintaan pasar ekspor lumayan, antara lain ke Korea Selatan dan Jepang. Di Indonesia, Gorontalo, salah satu produsen pelet kayu. Koalisi masyarakat sipil menilai, pelet kayu untuk biomassa malah membabat hutan alam. Bahkan, ada dugaan pelet-pelet kayu ke Jepang dan Korel ekspor lewat cara-cara melanggar.
- Pemanfaatan biomassa pelet kayu sebagai sumber energi hanya menghasilkan utang emisi karena dari kerusakan hutan alam. Hutan alam, ekosistem paling banyak menyimpan karbon dibanding hutan tanaman.
- PT Biomasa Jaya Abadi (BJA) merupakan perusahaan pengolahan pelet kayu berdiri pada 2020. Perusahaan ini mendapatkan bahan baku dari PT Banyan Tumbuh Lestari (BTL) dan PT Inti Global Laksana (IGL), merupakan perusahaan perkebunan sawit yang bertransformasi menjadi HTE.
- Bentang Alam Popayato-Paguat, kata Terry, menjadi daerah tangkapan air, habitat satwa, menjadi koridor penting biodiversitas dan berbagai spesies kunci. Ia juga menghubungkan wilayah timur dan barat Sulawesi.
Sejumlah dump truk lalu lalang. Ada yang membongkar muatan, sebagian rapi berjejer di tepi jalan. Di ujung pelabuhan, tiga pekerja bongkar muat (TKBM) sibuk mengikat barang di atas mobil berkapasitas sekitar 30 ton. Barang-barang itu mau dimuat ke kapal tongkang yang siap berlabuh.
“Ini pelabuhan PT Biomasa Jaya Abadi. Barang-barang yang dimuat ke kapal tongkang itu adalah wood pellet yang akan dikirimkan ke luar negeri,” kata seorang nelayan kepada Mongabay saat mengunjungi lokasi akhir Juli lalu.
Pelabuhan ini terletak di Desa Trikora, Kecamatan Popayato, Pohuwato, Gorontalo. PT Biomasa Jaya Abadi (BJA) yang merupakan perusahaan pengelola dan sekaligus memproduksi pelet kayu (wood pellet), membangun pelabuhan ini sebagai terminal khusus ekspor hasil produksi mereka.
Pelet kayu produksi BJA adalah bahan bakar biomassa yang bisa campur dengan batubara dalam pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Proses pencampuran ini dikenal sebagai co-firing biomassa, yakni, pembakaran batubara bersama biomassa dalam satu sistem pembakaran yang sama.
Di Indonesia, pelet kayu diklaim jadi satu bahan bakar energi terbarukan lebih ramah lingkungan. Bahkan, PLN memandang co-firing biomassa sebagai solusi murah menurunkan emisi pembangkit listrik fosil serta jadi strategi menurunkan emisi karbon.
PLN menargetkan 52 PLTU di Indonesia tahun 2025 gunakan bahan bakar berbasis biomassa sebagai sumber energi dengan porsi 5-10%. Pelet kayu yang diperlukan setidaknya 8-14 juta ton per tahun. PLN berencana, memenuhi kebutuhan dari hasil produksi hutan tanaman energi (HTE).
Begitu juga di luar negeri, pelet kayu juga produk ekspor bukan barang murahan. Menurut Sistem Informasi Legalitas Kayu, rata-rata harga biomassa pelet kayu sebesar Rp2.170 per-kilogram. Setidaknya, ada tujuh perusahaan ekspor pelet kayu, termasuk BJA.
Dalam website resmi, BJA bermimpi jadi pemimpin global dalam memproduksi pelet kayu. Bahan baku mereka dapatkan antara lain dari perusahaan sawit yang bertransformasi jadi HTE, yakni, PT Banyan Tumbuh Lestari (BTL) dan PT Inti Global Laksana (IGL). Kedua perusahaan ini juga di Gorontalo dengan luas 27.353,53 hektar.
Dengan luas cukup besar itu, negara-negara tetangga seperti Jepang dan Korea Selatan tertarik berbisnis dengan BJA sebagai penyediaan pelet kayu untuk pembangkit listrik skala besar mereka.
Kini, BJA salah satu produsen kayu di Indonesia dengan volume produksi dan perdagangan tahunan tercatat paling besar.
BJA menyematkan label hijau pada produknya dengan komitmen keberlanjutan untuk perlindungan dan konservasi lingkungan. Perusahaan ini pun mendapatkan sertifikat sistem verifikasi dan legalitas kayu (SVLK), dengan menegaskan komitmen terhadap standar ketat dan jadi pilihan utama bagi mitra yang mencari solusi energi ramah lingkungan.
Dari penelusuran Mongabay awal Agustus 2024 menunjukkan, gambaran berbeda. Melalui analisis citra satelit dan spasial serta data ekspor pelet kayu, ditemukan indikasi ketidaksesuaian antara komitmen keberlanjutan BJA dan praktik di lapangan.
Dugaan deforestasi BTL dan IGL, yang menyuplai bahan baku pada BJA, diduga kuat melanggar prinsip keberlanjutan.
Penelusuran kami juga menemukan, sebagian pelet kayu ekspor BJA mungkin melanggar hukum, tak tercatat dalam sistem Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Selain itu, aktivitas transhipment kapal BJA diduga di wilayah konservasi perairan, yang menimbulkan pertanyaan serius mengenai legalitas operasionalnya.
Babat hutan alam
BJA merupakan perusahaan pengolahan pelet kayu berdiri pada 2020. Perusahaan ini mendapatkan bahan baku dari PT Banyan Tumbuh Lestari (BTL) dan PT Inti Global Laksana (IGL), merupakan perusahaan perkebunan sawit yang bertransformasi menjadi HTE.
Pada 2010, BTL dan IGL mendapatkan izin lokasi perkebunan sawit dari Bupati Pohuwato, Syarif Mbuinga, berdasarkan surat keputusan Nomor 171/01/VI/2010, masiing-masing seluas 16.000 hektar dan 12.000 hektar. BTL berlokasi di Kecamatan Popayato Barat, Popayato, Popayato Timur dan Lemito. IGL berlokasi di Kecamatan Lemito, Wanggarasi.
Pada 2011, perusahaan yang terafiliasi dengan Provident Agro Group ini mendapatkan izin pelepasan kawasan hutan dari KLHK seluas 15.797,48 hektar kepada BTL dan 11.860 hektar kepada IGL. Pada Januari 2022, Siti Nurbaya, Menteri LHK, dan diumumkan Presiden Joko Widodo mencabut izin pelepasan kawasan hutan. Saat itu, pemerintah nilai, kedua perusahaan tak ada operasi di lapangan.
Ternyata, kedua perusahaan telah mengajukan izin penetapan hutan hak kepada KLHK pada 2020 seluas 15.493 hektar untuk BTL, dan 11.860 hektar untuk IGL. Pada 13 Mei 2020, KLHK akhirnya menyetujui usulan dengan skema hutan hak sesuai luasan yang diusulkan.
SK pencabutan izin pelepasan kawasan hutan yang dibebankan pada BTL dan IGL tak mengubah apapun. Pada Februari 2020, kedua perusahaan ini juga mengubah tanaman jadi gamal dan kaliandra, yang biasa jadi bahan baku pelet kayu.
Dari analisis citra satelit dan spasial oleh Forest Watch Indonesia (FWI) periode 2021-2023, BTL melakukan deforestasi 1.105 hektar hutan alam jadi bahan baku wood pellet. Menurut analisis Nusantara Atlas pada Januari 2023–Agustus 2024, IGL membabat hutan alam 36 hektar untuk kepentingan sama.
Mongabay mendatangi kawasan ini pertengahan Agustus 2024, untuk melihat langsung aktivitas di kedua perusahaan. Di lapangan, terjadi pembersihan hutan (land clearing).
Pada 2019, kawasan yang terbabat BTL dan IGL itu sebelumnya hutan alam. Perlahan hutan alam berganti kebun kayu ‘energi’ gamal dan kaliandra.
Terry Repi, akademisi Universitas Muhammadiyah Gorontalo (UMG) mengatakan, Gorontalo memiliki nilai konservasi tinggi berada di Pohuwato, termasuk di kedua konsesi perusahaan itu. Dia pernah penelitian di Bendang Alam Popayato-Paguat itu pada 2021.
Distribusi konservasi tinggi di Pohuwato juga diakui dalam dokumen Folu Net Sink 2030 Gorontalo yang menyebut, ada sekitar 84.566,87 hektar yangdengan keanekaragaman hayati tinggi di Pohuwato.
“Angka itu terbesar dari kabupaten atau kota lain di Gorontalo,” katanya dalam diskusi yang dibuat FWI.
Bentang Alam Popayato-Paguat, kata Terry, menjadi daerah tangkapan air, habitat satwa, menjadi koridor penting biodiversitas dan berbagai spesies kunci. Ia juga menghubungkan wilayah timur dan barat Sulawesi.
Kalau terbabat untuk kebun energi, katanya, hutan akan terfragmentasi.
Dia sebutkan, di bentang ini teridentifikasi 23 spesies mamalia, sebanyak 16 jenis endemik dan empat jenis dilindungi yakni, anoa, babirusa, rangkong, dan tarsisius.
“Ada 175 jenis burung, dengan 41 jenis endemik, dan 21 dilindungi,” kata Terry.
Anggi Putra Prayoga, Manager Kampanye, Advokasi, Media FWI mengatakan, yang dilakukan BTL dan IGL tak sesuai transisi energi sesungguhnya. Pasalnya, produksi biomassa pelet kayu menghasilkan emisi karbon dari deforestasi kedua perusahaan.
“Yang dibuat BTl dan IGL ini bukan hutan tanaman energi, tapi hutan emisi karena mereka membabat hutan alam,” kata Anggi kepada Mongabay, Agustus lalu.
Menurut dia, pemanfaatan biomassa pelet kayu sebagai sumber energi hanya menghasilkan utang emisi karena dari kerusakan hutan alam. Hutan alam, katanya, ekosistem paling banyak menyimpan karbon dibanding hutan tanaman.
Dia contohkan, dalam satu hektar hutan alam dapat menyimpan karbon 254 ton karbon-C. Sedangkan hutan tanaman menyimpan karbon hanya 107,86 ton karbon per hektar. Berarti, konversi satu hektar hutan alam jadi hutan tanaman melalui land clearing hanya hasilkan utang emisi karbon 146,14 ton karbon-C per hektar.
Anggi bilang, masifnya pemanfaatan biomassa yang diklaim sebagai sumber energi terbarukan akan memicu konversi hutan dan lahan secara besar-besaran. Proyek biomassa akan meningkatkan ketimpangan penguasaan lahan di Indonesia dan mendorong deforestasi ‘terencana’ atas nama hijau dan energi terbarukan.
Dalam riset Trend Asia 2022 berjudul “Ancaman Deforestasi Tanaman Energi,” menyebut, pengembangan HTE untuk memenuhi bahan baku biomassa pelet kayu berpotensi menimbulkan deforestasi, paling rendah 630.000 hektar sampai tertinggi 2,1 juta hektar. Perhitungan FWI mencatat, deforestasi terencana dari pembangunan HTE bisa mencapai 420.000 hektar.
Burhanuddin, Direktur Operasional BTL, IGL, dan BJA, protes karena perusahaan mereka disebut lakukan deforestasi. Perusahaannya, tak membabat hutan alam, melainkan membuka lahan untuk bikin tanaman alam. Menurut dia, kawasan dalam konsesi perusahaan tidak bisa disebut hutan alam.
“Saya tidak mau dikatakan bahwa wilayah perusahaan adalah hutan alam, karena konsesi kita sudah memiliki HGU [hak guna usaha]. Kita juga membangun kebun dengan tanaman alam,” kata Burhanuddin kepada Mongabay akhir Agustus lalu.
Padahal, dengan izin perusahaan berubah dari perusahaan sawit ke hutan tanaman energi itu status lahan pun beda. Sebelumnya, kebun sawit punya izin hak guna usaha (HGU) dengan status lahan alokasi penggunaan lain, saat ini HTE—setelah sebelumnya dua izin pelepasan kawasan hutan untuk dua perusahaan sawit dicabut– sudah di kawasan hutan.
Meski begitu, Burhanuddin akui, perusahaan land clearing, namun langsung menanam 5.000 bibit per hektar. Kalau dijumlahkan dengan kayu alam, katanya, lebih banyak tanaman yang ditanam perusahaan dibanding yang ditebang.
Dengan begitu, Burhanuddin mengklaim tidak melakukan deforestasi dan mengikuti semua peraturan. Terlebih lagi, katanya, produk perusahaan adalah bahan untuk mendukung transisi energi.
“Pohon yang kita tanam di dalam perusahaan itu akan dipanen nanti empat tahun kemudian. Dalam sekali tanam, kita bisa panen sebanyak lima kali. Begitu kita panen, tanaman itu kita sisanya 50 sentimeter hingga bisa tumbuh lagi. Jadi tidak ada deforestasi,” katanya.
Dugaan perdagangan ilegal
Dari penebangan pohon di konsesi BTL dan IGL, perusahaan yang mendapatkan keuntungan lebih besar adalah BJA. Pada 18 Maret 2020, BTL dan IGL menandatangani nota kesepakatan dengan BJA untuk berkomitmen memenuhi kebutuhan produksi ekspor pelet kayu.
Pengiriman pelet kayu langsung di pelabuhan terminal khusus BJA di Desa Desa Trikora, Kecamatan Popayato, Pohuwato. Di pelabuhan yang kerap disebut “Pelabuhan Lalape” itu, pelet kayu diangkut melalui kapal tongkang BJA dan transhipment ke kapal asing asal Panama di tengah laut, tak jauh dari pelabuhan.
Melalui kapal-kapal asing asal Panama itu, Hanwa Co., Ltd, yang jadi importir dalam bisnis ini mengirim pelet kayu ke pelabuhan bongkar Fushiki-man’yo, Kota Takaoka, Toyam Jepang, dan pelabuhan bongkar Gunsan di Kota Gunsan, Jeolla Utara, Korea Selatan.
Kedua negara ini menguasai pelet kayu Indonesia untuk kepentingan transisi energi mereka.
Misal, Jepang, menargetkan produksi listrik 1.065 Terawatt hour (TWh) tertuang dalam bauran energi 2030, dan 3,7-4,6% antara lain target berasal dari biomassa. Sedangkan Pemerintah Korea Selatan mengumumkan rencana transisi energi dengan target 20% energi terbarukan pada 2030.
Listrik dua negara itu mayoritas bersumber dari energi fosil atau baling banyak pakai batubara. Adapun pelet kayu di kedua negara ini untuk dicampurkan dengan batubara di sejumlah PLTU mereka. Cara itu diklaim dapat menurunkan emisi sektor pembangkit listrik dan jadi strategi menurunkan emisi karbon.
Mongabay melakukan analisis data terbuka dengan membandingkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) dengan data KLHK untuk melihat lebih jauh ekspor pelet kayu dari Gorontalo. Hasilnya, BJA, satu-satunya pabrik pengelola pelet kayu di Gorontalo ini diduga kuat ekspor wood pellet ke luar negeri secara ilegal, atau tanpa tercatat (unreported) dalam sistem KLHK.
Menurut data SILK KLHK, sejak Oktober 2023-Agustus 2024, BJA tercatat ekspor wood pellet tujuh kali ke Jepang dan Korea Selatan total 82.273 metrik ton melalui perusahaan Hanwa Co., Ltd. Ini perusahaan global trading berbasis di Jepang. Nilai ekspor mencapai US$11,1 juta.
Data ekspor pelet kayu dari BJA menyebut, 21 kali telah ekspor wood pellet dari November 2022-Agustus 2024. Adapun pelet kayu ke Jepang dan Korea Selatan mencapai 230.398 metrik ton dengan ekspor US$31.78 juta.
Sisi lain, data BPS Gorontalo menyebut, ekspor pelet kayu dari Gorontalo sudah 27 kali sejak 2021-Juni 2024 dengan delapan negara tujua, yakni, Korea Selatan, Jepang, Singapura, Arab Saudi, Estonia, Irak, Qatar, dan Suriah. Adapun total ekspor 230.672,39 metrik ton senilai US$32.14 juta.
Dengan begitu, ada perbedaan data signifikan antara data KLHK, BJA, dan BPS dengan selisih ekspor pelet kayu cukup besar. Kalau mengacu data BJA, ada 14 ekspor pelet kayu tak tercatat dalam sistem KLHK.
Potensi kerugian negara mencapai US$20.58 juta, atau setara Rp316 miliar (kurs Rp 15.396 per 6 September 2024).
Pada 16 Agustus lalu, Badan Keamanan Laut (Bakamla) mengamankan kapal MV Lakas yang dicurigai membawa pelet kayu ilegal di perairan Gorontalo. Kapal berbendera Filipina ini dengan 17 anak buah kapal (ABK).
Berdasarkan informasi, pelet kayu kapal itu milik BJA sebanyak 10.545 metrik ton.
Namun, hanya beberapa waktu saja, kapal ini langsung dilepas kembali oleh Bakamla. Ketika mengkonfirmasi soal ini, BJA mengklaim pelet kayu yang diangkut kapal sudah mendapatkan izin berlayar lengkap dari lembaga berwenang, seperti Karantina, Bea Cukai, Imigrasi dan Syahbandar di Gorontalo.
Dugaan praktik unreported juga tergambar dalam SILK yang menyebut, kayu wood pellet tercatat hanya dari kayu jambu-jambu (Eugenia sp.); dan nyatoh (Madhuca sp.).
Padahal, dalam penelitian Terry Repi bersama Burung Indonesia menyebut, wilayah itu adalah kawasan yang memiliki keanekaragaman hayati tinggi. Artinya, tidak hanya dua jenis pohon di wilayah itu.
Bukan hanya itu, pada 7-9 Juni 2024, kapal tongkang BJA ini juga tercatat melakukan transhipment dengan kapal asing dari Panama dengan jarak 2 mil dari daratan Pohuwato. Transhipment itu berada di areal persetujuan kesesuaian kegiatan pemanfaatan ruang laut (PKKPRL) BJA.
Hasil analisis spasial FWI menunjukkan, kapal asing membuang jangkar di zona inti–bukan zona pemanfaatan– merupakan calon kawasan konservasi perairan daerah Pohuwato. Ironisnya, wilayah itu juga lokasi penangkapan dan perlindungan gurita Masyarakat Suku Bajo Torosiaje.
Willem Pattinasarany, Koordinator Indonesia Working Group and on Forest Finance (IWGFF) mengatakan, semua aktivitas perdagangan kayu atau bahan bakunya seperti wood pellet harus tercatat di SILK. Hal itu untuk memastikan produk kayu dan bahan baku diperoleh dari sumber yang asal-usulnya dan pengelolaan memenuhi aspek legalitas.
Sistem itu, katanya, untuk mendukung upaya pemerintah memerangi pembalakan liar dan perdagangan kayu yang tak sah.
“Ekspor wood pellet BJA yang tak tercatat dalam sistem KLHK perlu dicurigai. Bisa jadi ada perbuatan melawan hukum dengan ekspor tidak tercatat di SILK. Singkatnya, bisa saja ada perdagangan ilegal yang dilakukan,” katanya kepada Mongabay 7 September 2024.
Modus-modus perdagangan kayu ilegal dan bahan baku turunannya kerap kali dari praktik unreported ini. Ia dilakukan untuk mendapatkan keuntungan lebih besar dari produk ekspor dan bisa mengarah ke pencucian uang. Praktik ini, katanya, juga disebut kejahatan penipuan dalam perdagangan sebagai upaya menghindari pajak.
Menurut Willem, perusahaan yang melakukan praktik unreported bisa dilaporkan kepada pihak berwajib, sekaligus sertifikat SVLK-nya harus dicabut. Dalam kasus BJA, kata Willem, KLHK, Dirjen Pajak, dan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) harus menyelidiki lebih dalam terkait perbedaan data ekspor itu.
Mongabay menghubungi Drasospolino, Sekretaris Direktorat Jenderal Pengelolaan Hutan Lestari KLHK melalui pesan WhatsApp untuk mengkonfirmasi perbedaan data ekspor pelet kayu BJA. Sayangnya, sampai berita ini terbit, tak ada jawaban.
Burhanuddin membantah, semua tuduhan yang dialamatkan kepada perusahaannya. Sebagai pelaku usaha, katanya, mereka mengikuti semua aturan berlaku dan mestinya tidak ada perbedaan data.
Dia bilang, 21 kali ekspor pelet kayu itu sudah dilaporkan ke KLHK, tanpa terkecuali.
Ketika perusahaan ekspor wood pellet, mereka lampirkan semua dokumen yang diperlukan dan kirim ke pembeli. Mereka, tak pernah mengabaikan aturan, terlebih lagi produksi wood pellet cukup besar dan setiap pengiriman pakai kapal besar.
“Wood pellet yang kita kirim ini bukan barang hanya 1-2 kilogram. Ekspor kita ini rata-rata 10.000 metrik ton dengan kapal besar. Barang ini tidak mungkin kita sembunyikan,” kata Burhanuddin.
Soal hanya dua jenis kayu tercatat dalam SILK, kata Burhanuddin, perusahaan hanya mencatat jenis pohon mayoritas dan memiliki nama latin dalam sistem KLHK. Adapun soal transhipment di luar areal PKKPRL BJA, katanya, itu tanggung jawab agen, bukan perusahaannya.
“Aktivitas transhipment itu juga berdasarkan arahan dari Kantor Unit Penyelenggara Pelabuhan Kelas III Tilamuta. Itu bukan tanggung jawab kita. Setiap kegiatan kita itu juga berada dalam pengawasan,” katanya.
Siapa mereka?
Berdasarkan penelusuran profil perusahaan pakai data resmi Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (AHU), orang-orang yang penerima manfaat dari aktivitas BTL, IGL, dan BJA adalah perusahaan pemilik modal besar dan pengusaha yang punya relasi dengan penguasa. Orang-orang terafiliasi melalui Provident Investasi Bersama Tbk (Provident Investasi).
Secara historis, awalnya BTL dan IGL merupakan anak perusahaan dari Provident Agro Tbk yang kini berubah nama PT Provident Investasi Bersama Tbk (Provident Investasi). Pada Juli 2019, Provident Investasi menjual mayoritas saham BTL dan IGL ke PT Buana Pratama Cipta, 1% saham dimiliki Heru Purnomo dan 99% saham punya PT Reka Varia Tara (Reka).
Mongabay berusaha menelusuri Reka, tetapi tak tercatat dalam sistem AHU saat verifikasi pada 5 Agustus 2024. Tetapi, dalam laporan Mighty Earth yang terbit Mei 2024 menemukan, kepemilikan Reka berada di tangan Andy Kelana, menguasai 87,5% saham dan Helena Adnan 12,5% saham.
Dua orang itu adalah pengacara asal Indonesia yang tergabung dalam firma hukum Adnan Kelana Haryanto & Hermanto (AKHH) yang berbasis di Jakarta. Firma hukum ini memberikan “nasihat hukum” di bidang pertambangan, minyak dan gas, kehutanan dan perkebunan, energi terbarukan, serta industri listrik dan energi. Salah satu Klien AKHH adalah Provident Capital, perusahaan yang mendirikan Provident Investasi.
Menurut Mighty Earth, Andy Kelana dan Helena Adnan memegang saham BTL dan IGL untuk dan atas nama pemegang saham pengendali Provident Investasi, yakni, Winato Kartono, Edwin Soeryadjaya, Garibaldi Thohir, dan Sandiaga Uno melalui PT Saratoga Sentra Business. Orang-orang itu diduga dikaburkan jejaknya melalui Reka yang tak tercatat dalam AHU.
Mighty Earth menyebut, penjualan saham BTL dan IGL untuk menjaga kepentingan pemilik sebenarnya dalam Provident Group. Penjualan itu, sebut Mighty hanyalah transfer internal dalam grup.
Tak hanya itu, dugaan keterlibatan Provident Investasi dalam bisnis biomassa ini juga tergambar dalam profil perusahaan BJA, perusahaan yang membeli bahan baku pelet kayu dari BTL dan IGL.
Penelusuran Mongabay dari data Ditjen AHU yang akses dari 30 Juli-22 Agustus memperlihatkan para pemilik saham BJA terafiliasi baik langsung, maupun tak langsung dengan Provident Investasi.
Misal, PT Sekawan Artha Lestari (SAL) memegang 34,5% saham BJA, dengan struktur kepengurusan dipegang dua direksi dari Provident Investasi, seperti Tri Boewono dan Budianto Purwahjo. Andy Kelana juga tercatat punya 3,7% saham BJA.
Ada juga nama Albert Saputro, Presiden Direktur PT Merdeka Copper Gold Tbk, perusahaan yang didirikan Provident Capital, tercatat jadi komisaris BJA. Selain itu, Hanwa Co., Ltd. perusahaan global trading asal Jepang yang mengembangkan ‘kemitraan biofuels’ dengan Provident Group juga punya saham 20% di BJA.
PT Energi Hijau Bersama (EHB) memiliki 41,8% saham BJA, membuat keterlibatan Provident Investasi dalam bisnis biomassa di Gorontalo ini lebih jelas. Pemegang saham pengendali Provident Investasi, Garibaldi ‘Boy’ Thohir –kakak Menteri BUMN Erick Thohir, memiliki 11,4% saham EHB.
Ada pula PT Surya Nuansa Ceria, anak perusahaan PT Saratoga Investama Sedaya Tbk (SRTG) milik Sandiaga Uno, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) juga memiliki 38,6% saham di EHB. Nama Sakti Wahyu Trenggono, mantan Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) juga tercatat punya 5,7% saham EHB.
Pada 1 September lalu, Mongabay mengirimkan surat ke Provident Investasi melalui email resmi perusahaan guna mempertanyakan hubungan mereka dengan BTL, IGL, dan BJA. Sampai berita ini terbit, tak ada balasan.
Sedang Burhanuddin membantah, ketiga perusahaannya terafiliasi dengan Provident Investasi. Sebagai karyawan, dia tidak mengetahui lebih jelas siapa saja pemilik saham dalam perusahaan atau perusahaan induknya.
“BTL, IGL, dan BJA tidak terafiliasi dengan Provident Investasi Bersama Tbk.”
***
*Tulisan ini merupakan Fellowship dari Forest Watch Indonesia (FWI)
Izin Sawit Berganti Tanaman Energi, Hutan Gorontalo Terus Terancam