- Para nelayan di Riau, seperti Indragiri Hilir, belakangan ini ‘berburu’ mendapatkan ikan tirusan atau tirus karena harga yang selangit. Ikan dengan nama latin Otolithoides pama, termasuk famili sciaenidae, harga per ekor bisa mencapai puluhan juta rupiah.
- Yang bernilai tinggi dari ikan tirusan adalah gelembung (limpanya). Pembeli atau pengepul biasa mengupah orang yang ahli lagi untuk membelah perut ikan ini.
- Haryono, peneliti ikan pada Pusat Riset Biosistematika dan Evolusi, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), mengatakan, ketiadaan data, dapat mengancam kelestarian populasi ikan tirusan. Terlebih, belum ada regulasi khusus mengatur pemanfaatan maupun pelestariannya jadi rentan penangkapan berlebihan.
- Perlu pendataan atau pengawasan populasi tirusan. Dengan cara pendataan hasil tangkapan, perlindungan habitat dan pembuatan regulasi terkait pembatasan ukuran dan jumlah yang boleh ditangkap.
Para nelayan di Riau, seperti Indragiri Hilir, belakangan ini ‘berburu’ mendapatkan ikan tirusan atau tirus karena harga yang selangit. Ikan dengan nama latin Otolithoides pama, termasuk famili sciaenidae, harga per ekor bisa mencapai puluhan juta rupiah.
Muhammad, nelayan ini mengatakan sudah, lama ikan termahal di kalangan nelayan Desa Tanjung Melayu, Kecamatan Kuala Indragiri dan beberapa daerah pesisir Indragiri Hilir ini tak dijumpai.
Desember tahun lalu, terakhir kali kapal Muhammad dapat tirusan atau lebih akrab disebut ikan tawar, dilepas ke pembeli Rp20 juta untuk ukuran empat kilogram. Bayangkan kalau sekali pergi melaut dapat dua atau empat sekaligus tirusan. Penghasilan ratusan juta sudah di tangan nelayan.
“Sekali dapat tiga ekor tirusan, setahun libur melaut pun tak apa. Pernah orang (nelayan) Kuala Enok (desa di Kecamatan Tanah Merah) dapat 10 kilogram. Duitnya Rp270 juta. Pernah juga satu ekor tirusan nelayan itu dapat 83 juta rupiah,” kata Muhammad.
“Makin besar, makin mahal harganya. Biasa hitung ekor. Ada satu ekor dibeli Rp80 juta. Ini berat 8 kilogram. Kalau tak ada ikan itu, tipis hasil (laut). Sekali dapat tirusan, bisa bertahan lima bulan walau tak melaut,” kata Diski, membenarkan.
Diski, nelayan Dusun Pantai Solop, Desa Pulau Cawan, Kecamatan Mandah, Indragiri Hilir. Dia sewa kapal dengan bagi hasil 50:50 ke tauke, 20% bagian untuk bagi dua anak buah kapal (ABK) yang dibawa melaut.
Selain berharap tirusan, sehari-hari Diski melaut dengan jaring seperempat inci buat menangkap lome, pirang dan selampai. Ikan-ikan ini tak mengenal musim. Pada waktu tertentu jumlahnya mencapai satu pikul sekali melaut. Kalau paceklik paling sedikit dua kilogram, untuk konsumsi di rumah.
Harga pirang Rp15.000, lome Rp10.000 dan selampai Rp5.000 perkg. Setidaknya, sehari, Diski bisa dapat penghasilan bersih Rp300.000.
Tingginya nilai ekonomi tirusan buat nelayan semangat bila sudah menengok ikan itu timbul. Kalau dapat, nelayan bisa pulang lebih cepat karena ikan itu sudah ditunggu pembeli. Tirusan jantan lebih mahal ketimbang betina. Berat empat kilogram betina paling hanya laku Rp 1 juta. Tak jarang kadang buat semangat nelayan agak ciut kalau dapat tirusan betina. Tak sulit bagi nelayan bedakan jantan dan betina.
Selain soal kelamin, yang menjadikan ikan tirusan mahal sebenarnya keberadaan limpa atau gelembung dalam perut ikan itu.
Awal mula nelayan Tanjung Melayu dan sekitarnya mengetahui tirusan bernilai tinggi, mereka cuma menjual limpa saja. Nelayan membelah perut ikan dan mengeluarkan gelembungnya. Daging ikan Rp15.000 sampai paling mahal Rp30.000 per kilogram.
Diski bilang, dulu limpa tirusan justru dibuat main bola oleh anak-anak nelayan Pantai Solop. “Sekarang, nelayan berharap tirusan. Tirusan sangat menjanjikan. Sekali pergi bisa dapat tiga sudah bergaji besar. Bisa ratusan juta rupiah penghasilan. Satu ekor saja sudah banyak duitnya.”
Cerita Muhammad, sekitar 2000 awal, satu kilogram limpa hanya Rp3 juta. Jumlah itu setidaknya diperoleh dari 20 tirusan. Masa itu, ikan ini masih sering didapat, bahkan bisa 30 ekor sekali dibawa pulang ke rumah. Bahkan gelembung ikan itu justru digoreng untuk konsumsi.
“Jauh perbandingan harga dulu dengan sekarang,” kata Muhammad yang sudah tak melaut lagi namun menyewa kapal dengan sistem bagi hasil.
Seiring waktu, ada teknik khusus mengeluarkan gelembung ikan tirusan agar tidak rusak dan harga menjadi murah.
Muhammad pernah teledor membelah perut ikan itu hingga hanya laku Rp5 juta dari Rp 18 juta harga semestinya.
Sejak harga tirusan melambung tinggi, nelayan menjual utuh gelembung berikut dengan ikannya. Pembeli atau pengepul biasa mengupah orang yang ahli lagi untuk membelah perut ikan ini.
Muhammad tak tahu berapa harga tirusan di pasar ekspor. Dia juga tak mengerti kenapa harga ikan itu mahal. Dia hanya pernah dengar, gelembung ikan tawar itu jadi bahan dasar pembuatan benang operasi. “Makanya benang operasi sekarang langsung menyatu dengan daging atau kulit manusia. Tidak lepas lagi.”
Diski yang mencari tirusan sejak delapan tahun belakangan, juga tak tahu kegunaan ikan maupun gelumbung atau limpa dalam perut biota laut itu.
Soal harga, meski umumnya ditentukan penampung, transaksi tirusan antara nelayan dan pembeli juga masih terbuka ruang tawar menawar. Bahkan, biasa nelayan mencari perbandingan harga ke beberapa penampung terlebih dahulu. Ikan akan dilepas ke pembeli yang menawarkan harga tertinggi. Semacam lelang tak langsung.
“Biasa khusus tirusan ini, penampung tidak langsung datang tapi menunggu informasi dari nelayan. Ikan ini lumayan besar hasilnya,” katanya,
Terkadang ada juga pembeli menjanjikan tambahan harga bila ternyata gelembung ikan tirusan tersebut berkualitas lebih. Seperti Muhammad dan taukenya. Waktu, dia dapat tirusan berat 4,1 kilogram, neg0 harga awal Rp20 juta, setelah gelembung terjual dengan untung besar, si pembeli menambah komisi Rp5 juta lagi buat dia.
“Maka pembeli itu di mana pun informasi nelayan dapat tirusan, dia berani datang. Kalau dia ambil Rp270 juta, bisa jual Rp300-400 juta. Dia langsung ekspor ke Singapura,” kata Muhammad.
Ikan tirusan ditangkap memakai jaring tujuh inci. Kapal untuk memburu ikan itu minimal kapasitas tiga gross tonnage (GT). Nelayan Tanjung Melayu biasa mencari ikan itu sampai ke perairan Kecamatan Mandah, sekitar Desa Batang Tumu dan Igal. Lebih kurang dua sampai tiga jam jarak tempuh.
Zaharwan, nelayan Pantai Solop, selalu berharap dapat tirusan ketika melaut. Setelah pulang merantau dari negeri jiran, Malaysia, akibat pandemi COVID19 lalu, dia rela menempah kapal meski hasil melaut makin tidak pasti demi tirusan.
“Sekali dapat satu, dua bulan tak melaut tak masalah. Cuman, nak mendapatkan itu susah. Kadang kalau bukan nasib kita, satu tahun pun tak dapat satu ekor.”
Minim data dan informasi
Ikan tirusan ada di Kawasan Konservasi Perairan Indragiri Hilir. Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono, menetapkan 126.097,64 hektar kawasan ini sebagai taman perairan, lewat keputusan 107 tahun 2023.
Terdiri atas, zona inti 4.540,59 hektar, zona pemanfaatan terbatas 115.740,68 hektar dan zona lain, zona bangunan 4.774,24 hektar serta zona sesuai karakteristik kawasan 1.042,13 hektar.
Pemerintah lewat Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Riau yang ditunjuk untuk mengelola kawasan itu mengatakan wilayah tangkap nelayan terhadap tirusan teridentifikasi di zona pemanfaatan terbatas tetapi kebanyakan di luar kawasan konservasi.
Namun, katanya, tirusan jadi target konservasi karena bernilai ekonomi tinggi dalam komoditas perikanan tangkap .
“(Selagi) di zona pemanfaatan boleh (penangkapan) sesuai aturan yang berkelanjutan. Umpama dari alat tangkap yang ramah lingkungan dan ukuran tangkapan,” kata Yurnalis, Kepala DKP Riau Yurnalis, lewat pesan dari aplikasi perpesanan, Rabu 11 September 2024.
Haryono, peneliti ikan pada Pusat Riset Biosistematika dan Evolusi, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), mengatakan, tirusan dicari bukan daging tetapi lebih ke gelembung renangnya.
Sebaran ikan ini, katanya, sangat luas, mulai dari Pakistan sampai Papua. Tirusan bersifat amphidromous—jenis ikan bertelur di air tawar, kemudian larva telur terseret ke lautan, lalu kembali ke air tawar hingga dewasa dan memijah lagi di sana. Sebab itu, kata Haryono, tirusan dapat hidup di laut maupun air tawar, tetapi lebih banyak di estuarin atau air payau.
Dia bilang, mengacu ke Myers (1954) dan kottelat et al (1993), tirusan termasuk ikan air tawar divisi peripheral toleran terhadap salinitas.
“Belum diketahui status populasi ikan ini di Indonesia. Mengacu Internastional Union for Conservation of nature (IUCN) juga masih kurang data,” terang Haryono, melalui pesan WhatsApp, 12 September 2024.
Informasi dan data mengenai aktivitas penangkapan dan perdagangan tirusan pada level lokal juga sulit.
Ketiadaan data, katanya, dapat mengancam kelestarian populasi ikan tirusan. Terlebih, belum ada regulasi khusus mengatur pemanfaatan maupun pelestariannya jadi rentan penangkapan berlebihan.
Haryono mengusulkan perlu pendataan atau pengawasan populasi tirusan. Dengan cara pendataan hasil tangkapan, perlindungan habitat dan pembuatan regulasi terkait pembatasan ukuran dan jumlah yang boleh ditangkap.
“Tidak kalah penting, sosialisasi dan edukasi ke masyarakat agar jangan menangkap berlebihan.”
Mongabay minta informasi mengenai luas area tangkap, produksi hingga pendataan mengenai perdagangan ikan tirusan ke Dinas Perikanan Indragiri Hilir melalui pesan elektronik yang dikirim, 11 September lalu tetapi tidak ada respon.
Abdul Gani, penyuluh perikanan di sana, mengatakan, tirusan diburu dalam dua tahun terakhir tetapi mereka belum memiliki data tangkapan per musim. Setahu dia, para penadah tirusan di Indragiri Hilir membawa ikan ke penampung besar di Tanjung Batu, Kecamatan Kundur, Kabupaten Karimun, Kepulauan Riau.
Seorang sumber Mongabay di karantina ikan Indragiri Hilir, memberikan informasi senada. Dia mengatakan, lalu lintas perdagangan ikan tirusan tercatat lewat Badan Pengendalian dan Pengawasan Mutu Hasil Kelautan dan Perikanan (BP2MHKP) Tanjungpinang, melalui wilayah kerja Tanjung Balai Karimun.
Hasil pencatatan BPPMHKP Pekanbaru, pengiriman gelembung ikan sepanjang 2019-2023 mencapai 1.204 kali atau 36.895 kilogram. Sumbernya dari enam daerah penghasil ikan di Tembilahan, Bengkalis, Dumai, Selat Panjang, Pekanbaru dan Panipahan. Setidaknya ada enam pengirim utama mendominasi dalam perdagangan gelembung ikan di Riau.
Data ini tidak spesifik menyebut jenis ikan penghasil gelembung renang itu. Selain tirusan, gelembung yang biasa diperdagangkan juga produk turunan dari ikan malong (Muraenesox cinereus).
Data BPPHMKP Pekanbaru hanya mencatat tujuan pengiriman dalam negeri yang kebanyakan ke Jakarta dan Kepulauan Riau.
*****