- Indonesia adalah pemilik 3,3 juta hektare kawasan ekosistem mangrove yang menyebar di seluruh kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil di seluruh provinsi. Ekosistem tersebut terbukti ampuh menghalau segala bencana yang ada di pesisir
- Tak hanya itu, potensi penyerapan karbon di ekosistem pesisir Indonesia sendiri diperkirakan total bisa mencapai 3,4 gigaton (GT) atau sebesar 17 persen dari total karbon biru dunia dan berasal dari ekosistem mangrove dan padang lamun
- Potensi tersebut sudah disadari oleh Indonesia yang saat ini memimpin keketuaan ASEAN Senior Officials on Forestry (ASOF) untuk menggantikan Kamboja. Forum tersebut menjadi ajang Indonesia untuk berkampanye tentang pentingnya menjaga ekosistem mangrove di ASEAN
- Tetapi, kampanye tersebut dinilai bertolak belakang dengan praktik yang sudah dilakukan Indonesia. Saat ini, tata kelola mangrove secara nasional justru dinilai mengalami kemunduran serius, karena dipengaruh beragam faktor
Tata kelola yang dilakukan Pemerintah Indonesia terhadap ekosistem mangrove dinilai belum maksimal. Bahkan, pengelolaan terhadap ekosistem tersebut yang dilakukan di seluruh provinsi saat ini mengalami kemunduran yang serius.
Kesimpulan itu dipublikasikan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menyikapi kepemimpinan ASEAN Senior Officials on Forestry (ASOF) yang saat ini resmi berpindah dari Kamboja ke Indonesia. Keketuaan tersebut, dinilai harus bisa memberi contoh yang baik kepada negara di ASEAN.
Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Eksekutif Nasional WALHI Parid Ridwanuddin mengatakan, keketuaan yang dipimpin oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) itu mendapat amanah untuk melaksanakan pemetaan dan penilaian sebaran mangrove di ASEAN.
Sayangnya, dalam penilaian WALHI, amanah tersebut bertolak belakang karena Indonesia belum menjalankan strategi pengelolaan mangrove dengan baik. Walaupun, strategi tersebut disampaikan kepada negara ASEAN pada pertemuan ASOF ke-27 di Kabupaten Bogor, Indonesia belum lama ini.
Dia menilai, dalam melakukan pengelolaan mangrove, Indonesia belum bisa melaksanakan kepemimpinan dengan memberikan contoh (leading by example). Padahal, untuk memimpin 11 negara ASEAN, penting untuk memiliki contoh terbaik sebagai panduan.
Ketidakmampuan Indonesia memimpin dengan contoh, disebutkan Parid dalam sejumlah bukti. Misalnya, dalam hal data mengenai mangrove di Indonesia, Pemerintah terbukti tidak konsisten. Ada perbedaan data antara Badan Pusat Statistik (BPS) dengan Peta Mangrove Nasional (PMN).
Berdasarkan data BPS yang diterbitkan pada 2022 melalui dokumen Statistik Sumber daya Pesisir dan Laut, total luasan hutan mangrove tercatat 2.320.609,89 hektare. Rinciannya, sebanyak 30,32 persen kondisinya baik, sebanyak 10,75 persen kondisi sedang, dan 12,36 persen dalam kondisi rusak.
Tetapi, data milik BPS tersebut berbeda dengan data PMN yang diterbitkan Pemerintah Indonesia pada 2021. Berdasarkan data PMN, ekosistem mangrove Indonesia luasnya mencapai lebih dari 3.364.080 ha, dengan 92,78 persen tutupan lebat, lalu 5,60 persen tutupan sedang, dan 1,62 persen tutupan jarang.
“Selain itu, pemerintah mengklaim ada wilayah potensi mangrove seluas 756,183 hektar,” ungkapnya.
Baca : Ketangguhan Mangrove Menjaga Pesisir Bumi
Perlindungan Ekosistem Mangrove
Poin kedua yang menjadi penilaian ketidakmampuan, adalah karena Pemerintah Indonesia menerbitkan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja pada akhir 2020 dan merevisinya pada 2023. Pasal 5 UUCK melegalkan tambang panas bumi di wilayah perairan, meskipun kebijakan itu akan menghancurkan hutan mangrove di Indonesia.
Tak hanya UUCK, Pemerintah juga menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Kelautan dan Perikanan. Pada Pasal 3 sampai 7 PP tersebut dinyatakan zona inti pada ekosistem mangrove boleh diubah untuk kepentingan proyek strategis nasional.
Bagi Parid, UUCK dan PP 27/2021 sudah cukup menjelaskan dan menegaskan bahwa agenda rehabiltasi mangrove tidak cukup penting dibandingkan dengan beragam kepentingan proyek strategis nasional yang didominasi oleh kepentingan ekstraktif dan eksploitatif.
Poin ketiga, Indonesia tidak mampu karena ekosistem mangrove yang ada saat ini tidak mendapatkan pengakuan dan perlindungan dari negara. Penilaian itu ada, karena akan ada proyek reklamasi dengan luas total 3.527.120,17 ha hingga 2040.
Data tersebut didapat berdasarkan hasil studi WALHI dalam dokumen berjudul Negara Melayani Siapa? Potret Ocean Grabbing di Pesisir, Laut dan Pulau-Pulau Kecil dalam 28 RZWP3K di Indonesia. Merujuk dokumen tersebut, proyek reklamasi dilaksanakan oleh pemerintah.
Penilaian tidak adanya pengakuan dan perlindungan ekosistem mangrove, adalah karena dalam dokumen tersebut dijelaskan bahwa hanya 52.455,91 ha saja yang mendapatkan pengakuan dan perlindungan. Bagi WALHI, itu adalah perbandingan yang sangat ironis jika melihat luasan proyek reklamasi.
Parid mengungkapkan bahwa tiga poin di atas memperlihatkan bahwa pemerintah tidak ada keseriusan dalam melindungi mangrove, itu bertolak belakang dengan kampanye Indonesia pada setiap forum internasional.
“Inilah mengapa WALHI menyebut (Indonesia) tidak bisa memimpin dengan contoh. Apa yang disampaikan di forum internasional, secara diametral bertentangan dengan kebijakan dalam negeri,” tegasnya.
Baca juga : Hutan Mangrove Teluk Bintuni, Paru-paru Dunia yang Terluka
Mundurnya RPP Mangrove
Ketidakmampuan itu, memicu terjadinya kemunduran tata kelola regulasi yang mengatur tentang perlindungan dan pengelolaan ekosistem mangrove di Indonesia. Sebabnya, sudah sejak 2022 KLHK melakukan diskusi mengenai Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang perlindungan dan pengelolaan ekosistem mangrove.
Tetapi, sampai saat ini, pembahasan RPP masih belum begitu masif dilakukan dan mengundang berbagai pihak yang berkepentingan, khususnya masyarakat pesisir baik laki-laki maupun perempuan. Dengan demikian, yang terjadi seharusnya adalah kemajuan dan bukan kemunduran.
Di sisi lain, WALHI juga memiliki catatan serius terkait RPP tersebut berdasarkan hasil kajian dokumen Kertas Posisi Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove di Indonesia. Berikut rinciannya:
Pertama, RPP belum mengakomodasi keterlibatan masyarakat dalam mengelola ekosistem mangrove. Itu artinya, pengakuan terhadap tata kelola lokal yang dibangun oleh masyarakat belum terlihat dalam RPP tersebut.
“Lebih jauh, tata kelola ekosistem mangrove yang terkandung dalam RPP ini masih sangat terpusat pada negara,” terangnya.
Kedua, RPP tidak memiliki posisi yang jelas untuk melindungi ekosistem mangrove dari berbagai kebijakan pemerintah yang berorientasi pada industri ekstraktif. Ada sejumlah pasal yang melegalkan perusakan ekosistem mangrove, khususnya pasal 16 dan 18 yang melegalkan konversi ekosistem mangrove.
Ketiga, RPP sangat terlambat jika melihat UU induknya, yaitu UU No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Artinya, setelah UU disahkan pada 2009, baru 14 tahun kemudian ada aturan turunan yang mengatur perlindungan dan pengelolaan ekosistem mangrove.
Keempat, RPP memiliki kelemahan yang serius dalam hal pemberian sanksi terhadap pelaku perusakan mangrove. Seharusnya, jika merujuk kepada UU No.32/2009, RPP menggunakan sanksi pidana. Namun, itu justru sebaliknya, karena RPP menetapkan sanksi administratif yang sangat ringan dan menguntungkan para perusak mangrove.
“Dari sini, RPP ini sangat terlihat tidak merujuk kepada UU No.32/2009, tetapi merujuk kepada UU Cipta Kerja yang melihat sanksi pidana sebagai hambatan investasi,” paparnya.
Perlu dibaca : Tolak Hutan Mangrove jadi Sawit, PN Stabat Vonis Ilham dan Taufik Bersalah
Catatan kelima, RPP tidak menempatkan mangrove dalam konteks mitigasi bencana yang melibatkan masyarakat lokal. Padahal, itu penting mengingat masyarakat lokal memiliki pengetahuan dan pengalaman lapangan karena mereka bersentuhan setiap hari dengan ekosistem mangrove.
Menurut Parid, pada titik ini pendekatan yang seharusnya dilakukan adalah bukan hanya bersifat akademis dan teknokratis yang dilakukan di belakang meja. Namun juga, bagaimana pendekatan dilakukan dengan berbasis pengetahuan lokal.
Keenam, RPP disusun tidak untuk melindungi keberadaan mangrove dan masyarakat pesisir. Melainkan, RPP disusun untuk menjelaskan bahwa pemerintah ingin melakukan kampanye ke dunia internasional, dengan tujuan untuk mendapatkan pendanaan iklim.
Kemunduran Tata Kelola Mangrove
Berdasarkan catatan yang dipaparkan di atas, dia berani menyimpulkan bahwa tata kelola mangrove mengalami kemunduran serius setelah tahun 2020. Fakta itu berbanding terbalik, karena sebelum 2010 tata kelola berjalan baik.
Dia mencontohkan, pada 2007 dan 2009, Indonesia mempunyai UU yang melindungi mangrove dan menetapkan sanksi pidana lingkungan kepada pelaku perusakannya. Kedua UU itu adalah UU No.27/2007 jo No.1 Tahun 2014 dan UU No.32 Tahun 2009.
“Setelah 2020, sanksinya hanya administrasi bagi perusak mangrove. Lahirnya UUCK, merupakan gerak mundur perlindungan mangrove di Indonesia,” tegasnya.
Kenyataan itu dinilai sangat bertolak belakang dengan kegiatan yang dilakukan pemerintah pada forum internasional dengan fokus melaksanakan kampanye perlindungan dan pengelolaan mangrove, termasuk penyusunan peta mangrove.
Namun, semua itu dinilai tidak akan memperbaiki ekosistem mangrove dalam jangka menengah maupun jangka panjang. Terlebih, jika mangrove dijadikan objek perdagangan karbon, maka itu kemunduran yang sangat besar.
Menarik dibaca : Kisah Gila Ato Tanam Ratusan Ribu Mangrove Demi Kepiting
Kampanye pada forum internasional, salah satunya dilakukan Pemerintah pada pertemuan ASOF ke-27 di Bogor. Pada forum tersebut, Pemerintah melalui KLHK menyampaikan komitmen untuk mengawal isu mangrove selama memimpin ASOF.
Bahkan, KLHK menyampaikan sejumlah strategi pengelolaan mangrove untuk ASEAN. Salah satunya, melakukan pemetaan dan penilaian untuk mengetahui dengan pasti situasi, sekaligus kualitas sebaran mangrove yang ada di pesisir Indonesia dan Asia Tenggara.
Menindaklanjuti poin pertama itu, KLHK kemudian mengusulkan profil mangrove ASEAN untuk memastikan status ekosistem mangrove ada dalam kondisi baik ataukah tidak.
Strategi kedua, meningkatkan kapasitas kesadaran untuk semua pemangku kepentingan yang relevan dengan pengelolaan mangrove. Ketiga, membangun tata kelola yang baik, mulai dari tingkat tapak sampai ke tingkat yang paling tinggi.
Keempat, intervensi teknis dengan cara belajar dari pengalaman antar negara, sekaligus dari para ahli dan lintas komunitas. Terakhir, dialog kebijakan di antara negara di ASEAN untuk saling mendukung dan memperkuat kebijakan antar negara.
Tentang adopsi kebijakan pengelolaan ekosistem mangrove, sebelumnya sudah diungkapkan Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Lestari (PHL) KLHK Dida Mighfar Ridha. Kebijakan itu diadopsi, salah satunya karena Indonesia berhasil menurunkan angka deforestasi.
“Kita akan berbagi pengalaman dengan negara ASEAN lain. Kita juga akan ada komitmen untuk men-develop standardisasi monitoring sistem terbaik hutan,” terangnya.
Direktur Rehabilitasi Perairan Darat dan Mangrove (RPDM) KLHK Inge Retnowati menyebut ada lima strategi yang disusun secara sistematik pada seminar ASOF lalu. Strategi tersebut kemudian dibahas dalam ASOF meeting.
Dia menjelaskan bahwa mangrove memiliki peran yang krusial dari segi ekologi, sosial, atau ekonomi. Saat ini, 34 persen mangrove di dunia berada di kawasan ASEAN, dan karenanya negara ASEAN harus duduk bersama untuk membahas keberlanjutan dari ekosistem mangrove.
Pemahaman yang sama sangat diperlukan, karena bisa membangun kekuatan, sehingga bisa membuat strategi bersama yang bisa diterapkan di masing-masing negara untuk pengelolaan ekosistem mangrove. Diharapkan, akan muncul kepedulian dan kesadaran dari masyarakat untuk menjaga dan merawat ekosistem mangrove.
“Dengan satu regional ini kita harus do something. Utamanya adalah understanding, bahwa ada misi yang ingin kita capai,” ucapnya.
Baca juga : Strategi Ekonomi Biru Indonesia di Tengah Dampak Perubahan Iklim
Ekosistem Karbon Biru
Belum lama ini, Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) merilis laporan tentang ekosistem karbon biru (EKB) yang diyakini bisa menjadi solusi untuk mengatasi dampak perubahan iklim. Laporan tersebut menjelaskan bahwa Indonesia memiliki 17 persen cadangan karbon biru dunia.
IOJI menyebutkan kalau EKB menyimpan potensi yang signifikan dalam upaya mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim. EKB berpotensi besar menyerap dan menyimpan karbon yang berperan penting dalam upaya mitigasi perubahan iklim.
Mereka menyebut kalau EKB meliputi ekosistem hutan mangrove, padang lamun (seagrass), dan rawa air payau/rawa air asin (salt marshes). Semua ekosistem tersebut berperan sebagai penyerap dan penyimpan karbon (carbon sequestration and storage).
Namun demikian, walau potensi EKB sangat besar di Indonesia, dalam laporannya IOJI menyebut kalau saat ini kondisinya sudah lama terancam oleh tekanan antropogenik atau diakibatkan kegiatan yang dilakukan oleh manusia.
Sebut saja, kegiatan budi daya perikanan, pembabatan pohon mangrove, pertanian, pembangunan pesisir, polusi, dan penangkapan ikan yang tidak berkelanjutan/merusak. Semua itu bisa menekan dan mengancam kesehatan EKB.
Ancaman seperti yang melatarbelakangi KKP mengeluarkan desakan kepada dunia internasional untuk bisa bersama dan aktif melakukan perlindungan EKB. Upaya tersebut juga menjadi bagian dari aksi mitigasi dan mencapai target penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) nasional secara global.
Direktur Pendayaagunaan Pesisir dan Pulau-pulau Kecil KKP Muhammad Yusuf belum lama ini menjelaskan, desakan kepada dunia internasional disuarakan, adalah karena EKB menjadi bagian penting untuk melaksanakan mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim.
Dia menyebut, langkah utama untuk memastikan EKB mendapatkan perlindungan dengan baik dan dikelola secara berkelanjutan, adalah dengan mengalokasikan ruangnya dalam rencana tata ruang laut. Terlebih, karena mangrove dan lamun merupakan EKB terbesar di Indonesia sampai saat ini.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar belum lama ini juga menyebut bahwa untuk menurunkan emisi GRK di Indonesia, sumber paling dominan akan berasal dari forestry and other land uses (FoLU) dan ditargetkan bisa menurunkan minimal 60 persen dari total target penurunan emisi.
Agar target itu bisa dicapai pada 2030, salah satu ekosistem yang diharapkan bisa berkontribusi besar adalah EKB yang ada di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Kajian EKB disusun dengan mengintegrasikan ekosistem laut yang meliputi hutan mangrove, padang lamun, estuaria atau rawa air payau/rawa air asin, dan terumbu karang.
Semuanya, diyakini memiliki potensi yang besar sebagai penyerap dan penyimpan karbon yang berperan penting dalam upaya mitigasi perubahan iklim.
EKB juga diketahui memegang peran signifikan untuk adaptasi perubahan iklim terutama bagi masyarakat pesisir yang ruang hidup dan penghidupannya berpotensi terdampak oleh climate-related coastal risks, seperti cuaca ekstrem, badai, erosi, banjir dan sebagainya. (***)