- Masyarakat adat Desa Ria-Ria, Humbang Hasundutan, Sumatera Utara, berunjuk rasa ke polres dan kantor Bupati Humbang Hasundutan [Humbahas] terkait konflik tanah adat mereka, Rabu [28/8/2024].
- Sejak Program Strategis Nasional [PSN] Food Estate di Humbang Hasundutan dimulai tahun 2020, terjadi konflik antara warga Desa Parsingguran I dengan Parsingguran II, yang berbuntut saling teror dan lapor terkait lahan tersebut.
- Bupati Tapanuli Utara saat itu, mengeluarkan SK No. 138 Tahun 1979 tentang Pengakuan Tanah Adat Penduduk Ria-Ria atas areal Sigende, Parandalimanan, Parhutaan, Adian Padang, dan Sipuan seluas 794,6 hektar.
- Namun, tahun 2020 konflik kembali memanas, saat dilakukan pengukuran dan penataan batas lahan food estate. Tanah adat tersebut, dinyatakan masuk kawasan hutan negara, sesuai SK Menhut No. 39 Tahun 2014.
Masyarakat adat Desa Ria-Ria, Humbang Hasundutan, Sumatera Utara, berunjuk rasa ke polres dan kantor Bupati Humbang Hasundutan [Humbahas] terkait konflik tanah adat mereka, Rabu [28/8/2024].
Sejak Program Strategis Nasional [PSN] Food Estate di Humbang Hasundutan dimulai, terjadi konflik antara warga Desa Parsingguran I dengan Parsingguran II, yang berbuntut saling teror dan lapor terkait lahan tersebut.
Awalnya, pada 1963 terjadi konflik antara masyarakat adat Ria-Ria dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan [KLHK]. Lahan masyarakat adat, diklaim pemerintah sebagai kawasan hutan, yang saat ini sebagiannya dijadikan area food estate.
Sampai akhirnya, dikutip dari Konsorsium Pembaruan Agraria, Panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban [Kopkamtib] Sudomo turun langsung ke Ria-Ria.
Bupati Tapanuli Utara saat itu, mengeluarkan SK No. 138 Tahun 1979 tentang Pengakuan Tanah Adat Penduduk Ria-Ria atas areal Sigende, Parandalimanan, Parhutaan, Adian Padang, dan Sipuan seluas 794,6 hektar.
Namun, tahun 2020 konflik kembali memanas, saat dilakukan pengukuran dan penataan batas lahan food estate. Tanah adat tersebut, dinyatakan masuk kawasan hutan negara, sesuai SK Menhut No. 39 Tahun 2014.
Baca: Menyoal Food Estate di Sumatera Utara
Aliansi Masyarakat Adat Nusantara [AMAN] Humbahas menyoroti bahwa proyek food estate telah memicu tumpang tindih klaim atas tanah adat Desa Ria-Ria, Kecamatan Pollung, Humbahas.
“Bukan hanya mengabaikan hak-hak mereka, tetapi juga memperparah konflik horizontal masyarakat Parsingguran I dengan Parsingguran II. Hak tanah masyarakat adat juga di ujung tanduk, karena tidak ada kepastian hukum,” ujar Samuel Purba, dari AMAN Humbahas, Sabtu [7/9/2024].
Berulang kali, masyarakat coba bernegosiasi dengan Bupati Humbang Hasundutan, Dosmar Banjarnahor, untuk mencari solusi. Termasuk, menyerahkan dokumen asli SK 138/Kpts./1979 ke Bupati. Namun, harapan ini tidak pernah terwujud.
“Masyarakat Ria-Ria justru diminta untuk menyelesaikan masalahnya sendiri,” kata Leonara Sihotang, dari Kelompok Studi dan Pengembangan Prakarsa Masyarakat [KSPPM], Sabtu [7/9/2024].
Demo ini adalah puncak kemarahan masyarakat, yang terakumulasi bertahun. Mereka kecewa, karena konflik dibiarkan begitu saja.
“Proyek pembangunan terus berlanjut, sementara masyarakat adat hidup dalam ketakutan dan kecemasan,” tegasnya.
Kepala Desa Ria-Ria, Jonperianus Lumbangaol, berharap konflik yang terjadi cepat selesai dan damai.
“Berdasarkan arahan Pak Bupati, rencana pertemuan akan dilakukan untuk mencari titik terang,” katanya, Minggu [15/9/2024].
Baca: Food Estate Bukan Jawaban Atasi Persoalan Pangan di Indonesia
Mengutip situs AMAN, Bupati Humbang Hasundutan, Dosmar Banjarnahor, pada sosialisasi percepatan pengembangan food estate dan Taman Sains Teknologi Herbal dan Hortikultura [TSTH2], di Gereja HKBP Aek Nauli, Kamis [16 Mei 2024], mengatakan bahwa Pemerintah Humbang Hasundutan tidak mengakui hutan adat.
“Hutan di Kabupaten Humbang Hasundutan seluruhnya hutan negara. Jika masyarakat adat ingin diakui hutannya, silakan mengajukan Tanah Objek Reforma Agraria [TORA],” kata Dosmar.
Baca juga: LSM: Food Estate Penyebab Deforestasi dan Rusaknya Lahan Gambut
Masyarakat kecewa
Indah Purba, warga Dusun III, Ria-Ria, mengatakan dalam setiap rapat yang difasilitasi pemerintah kabupaten, masyarakat tidak dilibatkan secara partisipatif. Wilayah adat yang diperjuangkan malah makin tergerus.
Konflik yang awalnya kecil kini membesar dan sejumlah warga diperiksa polisi, atas tuduhan membakar lahan.
“Kami sadar, kami diadu domba. Kami yang tidak setuju food estate diancam pidana karena menolak PSN,” ujar perempuan 42 tahun, Sabtu [7/9/2024].
Delima Silalahi, Direktur KSPPM, menilai bahwa konflik agraria yang terjadi di Sumatera Utara, khususnya Humbang Hasundutan, kian meningkat seiring proyek pemerintah, baik pariwisata maupun food estate.
Dia menilai, pemerintah terkesan lambat dan tak ada political will dalam menyelesaikan konflik tata batas wilayah. Bahkan, mengabaikan masyarakat adat dalam setiap proses pengambilan kebijakan.
“Meskinya sebelum program berjalan, harus dipastikan tidak ada konflik tanah di areal proyek. Pemerintah jangan hanya mementingkan pembangunan, tanpa melihat dampak jangka panjang, terutama konflik di masyarakat,” kata peraih Goldman Environmental Prize 2023, Minggu [15/9/2024].
Tuntutan masyarakat
Dalam aksi “Ria-Ria Melawan” itu, masyarakat menyampaikan sejumlah tuntutan yang diharapkan diperhatikan pemerintah daerah maupun pusat.
- Mendesak diterbitkannya Peraturan Daerah Humbang Hasundutan tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat.
- Menuntut penyelesaian tata batas dan pemetaan wilayah adat sesuai SK 138/Kpts./1979.
- Meminta dikembalikannya dokumen asli SK Tanah Adat Ria-Ria No. 138/Kpts./1979, jika Bupati tidak mampu menyelesaikan sengketa tanah.
- Menuntut Bupati untuk meminta maaf terkait penghinaan terhadap masyarakat adat, khususnya perempuan.
- Mendesak penghentian aktivitas investor di food estate sampai konflik tanah adat diselesaikan.
- Menghentikan proses pidana terhadap anggota masyarakat adat Ria-Ria, sebelum ada penyelesaian sengketa tanah.
Food Estate di Humbang Hasundutan Mulai Jalan, Bagaimana Keterlibatan Petani?