- Warga Sagea, Weda Utara, Halmahera Tengah, Maluku Utara, berupaya menjaga alam dan lingkungan mereka tak rusak karena aktivitas masif tambang nikel. Kampung ini menjadi benteng perlawanan warga dari ekspansi pertambangan di hulu (hutan). Protes makin menguat setelah operasi tambang mencemari Sungai Sagea-yang terhubung dengan Gua Bokimaruru beberapa tahun terakhir.
- Daya rusak industri nikel di Halmahera Tengah juga dialami warga Lelilef Sawai, Lelilef Woebulen, hingga desa-desa sekitar di Kecamatan Weda Tengah. Sumber-sumber kehidupan mereka bahkan lenyap. Sebagian besar warga tidak lagi memiliki perkebunan karena dikuasai industri nikel.
- Pembongkaran kawasan hutan secara besar-besaran untuk pertambangan dan hilirisasi nikel menyebabkan kesatuan ekologis seperti daerah aliran sungai rusak.
- Julfikar Sangaji, Jatam Maluku Utara mengatakan, akibat deforestasi untuk kebutuhan tambang makin membebani lingkungan hidup Halmahera Tengah.
Warga Halmahera Tengah, Maluku Utaram resah dengan pertambangan dan hilirisasi nikel di daerah mereka. Bisnis yang mendapat status proyek strategis nasional (PSN) di era pemerintahan Joko Widodo itu jadi ancaman serius bagi masyarakat pesisir, pedalaman, dan pulau-pulau kecil. Proyek ini sudah menggusur dan mencemari ruang hidup warga, dan menurunkan daya dukung lingkungan hidup daerah itu.
Supriadi, warga Desa Sagea, Weda Utara, Halmahera Tengah, jadi korban industri nikel. Kampungnya hanya berjarak sekitar tiga kilometer dari PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP). Kampungnya terdampak sejak tambang sekaligus pabrik pengolahan dan pemurnian bijih nikel itu masif beroperasi.
Di Sagea, warga terus menerus menolak aktivitas tambang nikel di hulu dengan bentang hutan bertutupan lebat. Kampung ini jadi benteng perlawanan warga dari ekspansi luasan pertambangan di hulu. Protes makin menguat setelah operasi tambang mencemari Sungai Sagea yang terhubung dengan Gua Bokimaruru beberapa tahun terakhir.
“Sejak Agustus 2023, pencemaran sungai tak terbendung. Sungai keruh hampir sepanjang waktu. Deforestasi juga. Di laut terjadi pencemaran, ikan laut sudah tak bisa dikonsumsi karena khawatir terkontaminasi tambang nikel,” ujar Supriadi dalam diskusi Perkumpulan Aksi Ekologi dan Emansipasi Rakyat (AEER) di Jakarta, penghujung Agustus lalu.
Kerusakan dampak industri nikel di Halmahera Tengah, katanya, timbulkan daya rusak parah bagi warga di Lelilef Sawai, Lelilef Woebulen, maupun desa-desa sekitar di Weda Tengah.
Sumber-sumber kehidupan mereka bahkan lenyap. Sebagian besar warga tidak lagi punya kebun karena dikuasai industri nikel. Sumber-sumber air juga rusak–termasuk ruang laut–dan jadi kuasa perusahaan untuk kebutuhan pabrik nikel.
Pembongkaran hutan besar-besaran untuk pertambangan dan hilirisasi nikel juga menyebabkan ekologis seperti daerah aliran sungai lenyap. Dari analisis spasial Perkumpulan AEER menunjukkan, sejak 2013-2023, kawasan hutan di wilayah ini hilang dan menyebabkan tekanan terhadap lingkungan makin besar.
Operasi tambang nikel di Halmahera juga membuat sedimentasi tinggi yang ditandai kekeruhan air sungai. Sedimentasi ini yang memperkecil daya tampung sungai. Kondisi ini, katanya, jadi kombinasi sempurna untuk membuat bencana banjir. “Curah hujan tinggi, pengurangan ekosistem sebagai pengatur tata hidrologis, dan pendangkalan sungai,” kata Pius Ginting, Koordinator AEER dikutip Mongabay.
Dia mengatakan, operasi tambang nikel sangat berpengaruh terhadap lingkungan di Halmahera Tengah. Hampir setengah dari luas wilayah itu kini berada dalam konsesi tambang.
Konsesi ini meliputi lebih 299 daerah aliran sungai (DAS) dan sub-DAS yang berperan penting serta mempengaruhi pada bentang alam Halmahera Tengah.
Menurut Pius, pencemaran dan kerusakan daerah aliran sungai yang dipicu pertambangan nikel terus menerus meluas dari Sungai Kobe sampai sungai-sungai lain. Eksploitasi nikel yang berlebihan membuat sejumlah sungai utama yang bermura ke laut Halmahera sudah tercemar.
Berdasarkan riset AEER, saat ini ada 82.000 hektar DAS harus dipulihkan. Sebagian besar DAS berada di Kecamatan Weda Utara dan Weda Timur. Kerusakan DAS, kata Pius, tak bisa dibiarkan makin meluas.
Saat ini saja, ada 27 konsesi tambang mengancam 29 DAS di Halmahera Tengah dengan konsesi mencapai 102.500 hektar.
Operasi tambang nikel di daerah aliran sungai, kata Pius, akan menjadi bom waktu bagi ribuan penduduk Halmahera Tengah. Apalagi, kalau mengacu dalam dokumen kajian risiko bencana Maluku Utara 2021-2026, potensi banjir di Halmahera Tengah mencapai 16.290 hektar, termasuk dalam risiko tinggi.
Dari perhitungan AEER, wilayah yang terancam banjir bandang seluas 8.166 hektar. Hasil penelusuran lebih lanjut menunjukkan, deforestasi di konsesi tambang pada batas ekologis mencapai 7.167 hektar. Kondisi ini juga membuktikan faktor pendorong deforestasi dalam 10 tahun terakhir di aliran sungai terdampak banjir adalah pertambangan nikel.
Basis data Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menyatakan, Halmahera Tengah seluas 227.683 hektar terbebani berbagai industri ekstraktif.
Di daerah ini, terdapat 22 izin usaha pertambangan, dan satu kawasan industri pengolahan IWIP, dengan total konsesi seluruh perusahaan 95.736,56 hektar atau 42% dari luas Halmahera Tengah.
Untuk seluruh Halmahera Tengah, luas bukaan lahan untuk tambang mencapai 21.098,24 hektar.
Data Global Forest Watch mencatat, sejak 2001-2023, Halmahera Tengah kehilangan 27,9 kilo hektar (kha) tutupan pohon, setara penurunan 13% tutupan pohon sejak 2000, setara 22.4 Mt emisi CO2e.
Penggusuran hutan dalam skala besar menyebabkan banjir dan ancaman longsor tak terelakkan. Jatam mencatat, sejak Agustus 2020-17 Juni 2024, banjir dengan ketinggian minimal satu meter terjadi lebih dari 12 kali. Buntutnya, sumber air warga tercemar, rumah-rumah warga dan lahan pertanian terendam material lumpur, hingga mencemari pesisir dan perairan laut, serta menewaskan pekerja pada 13 September 2023.
Banjir besar sejak 21 Agustus 2024 di lingkar tambang Teluk Weda, merendam tujuh desa, seperti, Desa Lukolamo, Woe Jarana, Woe Kobe, Kulo Jaya, Lelilef, Sagea, dan Trans Waleh. Banjir membuat akses menuju ketujuh desa putus total hingga terisolir.
Julfikar Sangaji, pegiat Jatam Maluku Utara mengatakan, akibat deforestasi untuk kebutuhan tambang menambah berat beban lingkungan Halmahera Tengah yang didominasi lahan kritis dengan tingkat erosi sedang hingga sangat berat.
Dengan tipe iklim A berdasarkan skala SChmidt-Ferguson atau sangat basah, hutan jadi sangat penting bagi Halmahera Tengah dalam mencegah banjir dan longsor.
“Laju deforestasi tinggi akibat tambang, membuat Halmahera Tengah jadi rentan diserang banjir, longsor, dan potensi bencana hidrometeorologi lain,” kata Julfikar, seperti terungkap dalam laporan Jatam.
Bencana bencana banjir di Halmahera Tengah, tambah Pius, terburuk dalam satu dekade terakhir. Menurut dia, kajian kebencanaan saat ini harus menjadi salah satu pertimbangan penting pembangunan di Halmahera Tengah, termasuk dalam implementasi hilirisasi nikel yang rakus lahan.
Abubakar Yasin, Kepala Bidang Penataan dan Kapasitas Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Halmahera Tengah mengakui ada persoalan lingkungan muncul dari kehadiran investasi, salah satu paling terlihat produksi sampah.
Namun, menurut Abubakar, investasi di Halmahera Tengah tidak bisa ditolak karena izin pemerintah pusat. Pemerintah daerah, katanya, hanya bisa menindaklanjuti keputusan itu dan mencoba terus mengawasi sesuai kewenangan.
“Kami tidak berdiam diri. Pengawasan tetap kami lakukan meski belum maksimal.”
Christo A. Sianturi, Koordinator Hubungan Komersial Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bilang, tujuan investasi pertambangan nikel umumnya untuk kesejahteraan masyarakat. Pemerintah, katanya, berharap masyarakat sejahtera, mandiri, dan berkelanjutan.
Pius menekankan, pembatasan produksi tambang di Halmahera Tengah. Alasannya, daya dukung sudah terlampaui, dengan contoh nyata banjir dengan durasi lebih lama dan lebih sering.
“Belum ada kajian lingkungan hidup strategis di kabupaten di wilayah pertambangan ini. Ada masyarakat rentan dan aspek ekonomi lain yang hilang.”
*******