- Koalisi Masyarakat Sipil mendatangi Komnas Komnas HAM dan Komnas Perempuan di Jakarta 9 September lalu mengadukan kasus yang dialami Christina Rumahlatu, aktivis perempuan dan Thomas Madilis yang dilaporkan ke polisi usai demo menyuarakan bencana banjir dampak industri nikel di Halmahera, Maluku Utara.
- Hari Kurniawan, Komisioner Komnas HAM mengatakan, kasus ini jadi perhatian serius Komnas HAM. Komnas Perempuan juga akan mengusulkan surat keterangan bahwa Christina adalah perempuan pembela lingkungan dan HAM untuk memastikan perlindungan terhadap Christina dan menegaskan statusnya sebagai pembela lingkungan dan HAM.
- Untuk memberikan pendampingan hukum, Koalisi Gunung Tanah resmi membentuk Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD) terdiri dari 27 pengacara.
- Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menggarisbawahi kerentanan Maluku Utara sebagai wilayah kepulauan terhadap bencana hidrometeorologi, makin berat dengan ada tambang nikel.
Koalisi Masyarakat Sipil mendatangi Komnas Komnas HAM dan Komnas Perempuan di Jakarta 9 September lalu mengadukan kasus yang dialami Christina Rumahlatu, aktivis perempuan dan Thomas Madilis yang dilaporkan ke polisi usai demo menyuarakan bencana banjir dampak industri nikel di Halmahera, Maluku Utara.
Edy K Wahid, dari YLBHI, bagian koalisi mengatakan, selain dilaporkan ke polisi, juga mendapat intimidasi dan ancaman dari berbagai pihak.
Di Komnas HAM, koalisi ditemui, Hari Kurniawan, Komisioner Komnas HAM. Dia menyampaikan, komitmen Komnas HAM untuk memberikan perlindungan Christina dan Thomas Madilis.
Hari mengatakan, kasus ini jadi perhatian serius Komnas HAM.
“Kami akan berupaya memberikan perlindungan secepat mungkin, terutama jika ada potensi intimidasi, ancaman kekerasan, atau upaya kriminalisasi terhadap pengadu,” katanya.
Komnas HAM juga meminta Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) dan koalisi masyarakat sipil segera mengajukan permohonan perlindungan guna mendukung Christina dan Thomas sebagai pembela hak asasi manusia.
“Sesuai kesepakatan di mekanisme respon cepat, kami akan mengupayakan perlindungan tanpa harus menunggu tindakan dari kepolisian,” katanya.
Kasus ini, makin menjadi perhatian publik. Komnas HAM berjanji melakukan langkah-langkah perlindungan dalam beberapa bulan ke depan.
Bahrul Fuad, Komisioner Komnas Perempuan, akan menindaklanjuti kasus ini. Dalam pertemuan dengan koalisi, Bahrul menyatakan, mereka akan merumuskan kronologi kejadian dan membawa itu ke komisioner lain.
Mengingat urgensi kasus ini, Komnas Perempuan akan mengoordinasikan langkah-langkah dengan mekanisme cepat, tanpa menunggu proses case conference yang biasa memakan waktu dua minggu sekali.
Selanjutnya, mereka akan menyurati Direktur Cyber Bareskrim Polri untuk meminta klarifikasi terkait dua undangan kepada Christina pada 27 Agustus dan 6 September.
“Nanti kalau mereka merespon kami akan menerbitkan surat rekomendasi. Ini butuh proses, jadi proses.”
Komnas Perempuan juga akan mengusulkan surat keterangan bahwa Christina adalah perempuan pembela lingkungan dan HAM. Hal ini untuk memastikan perlindungan terhadap Christina dan menegaskan statusnya sebagai pembela lingkungan dan HAM.
Komnas Perempuan juga berkoordinasi dengan Komnas HAM dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) untuk mendorong LPSK memberikan perlindungan tanpa melalui prosedur reguler yang biasa memerlukan laporan polisi.
Bahrul mengatakan, sedang menguji-coba mekanisme perlindungan cepat terhadap perempuan pembela HAM. Terutama dalam kasus justru polisi menjadi pihak yang berhadapan dengan korban, seperti pada kasus Mela di UII Jogja.
Dia berharap, dua surat dari Komnas Perempuan dan Komnas HAM dapat menjadi dasar bagi LPSK segera memberikan perlindungan kepada Christina.
Komnas Perempuan berkomitmen mengawal kasus ini dan memastikan hak-hak Christina sebagai pembela HAM terlindungi.
Pelaporan berawal dari Christina dan Thomas, dua mahasiswa yang berdemonstrasi ini aksi di depan Kantor Pusat PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) di Jakarta, 1 Agustus lalu.
Saat itu, Letnan Jenderal (Purn.) Suaidi Marasabessy, juga berkantor di gedung sama dengan IWIP, menanggapi aksi para demonstran dengan mengatakan masalah ini telah dikoordinasikan dengan bupati.
Pernyataan ini memicu kekesalan massa, yang kemudian meneriaki dengan menyebut pensiunan jenderal tak berguna.
Beberapa hari setelah itu, 4 Agustus 2024, Ali Fanser Marasabessy, Ketua Bravo 5, melalui unggahan di akun TikTok tak terima dengan perkataan terhadap Suaidi Marasabessy itu. Belakangan mereka melaporkan Christina dan Thomas ke polisi.
Tim Advokasi Gunung Tanah menilai, pelaporan itu berlebihan dan harus segera dibatalkan.
Secara kontekstual, kata Edy, ucapan Christina mewakili kepentingan publik dan lingkungan yang berkaitan dengan peran Suaidi yang kerap meredam aksi-aksi protes Christina.
“Hingga pernyataan Christina tidak dapat dikualifikasi sebagai pencemaran nama baik. Ucapan dari Christina adalah penilaian terhadap peran Suaidi di IWIP yang sekarang di sekitarnya terjadi banjir dan menimbulkan korban. Perbuatan seperti ini sudah dikecualikan dari SKB UU ITE,” katanya dalam jumpa pers koalisi 10 September lalu.
Pernyataan itu, katanya, juga bagian dari kebebasan berekspresi, hingga tidak seharusnya dilaporkan atas kasus pencemaran nama baik atau tindak pidana lain.
Menurut dia, laporan-laporan semacam ini terjadi di berbagai tempat dan masuk dalam kategori Pada dasarnya, SLAPP adalah bentuk serangan terhadap kebebasan berekspresi dan demokrasi.
Di Indonesia, katanya, pengaturan anti SLAPP ada di UU 32/2009 untuk melindungi pembela HAM lingkungan. Ada juga di Peraturan Kejaksaan, Peraturan Mahkamah Agung, dan terbaru, Permen LHK No. 10/2024 tentang Perlindungan bagi Orang yang Memperjuangkan Hak Atas Lingkungan Hidup yang Baik dan Sehat.
Demonstrasi ini, katanya, merupakan luapan kemarahan dan kekecewaan masyarakat atas banjir bandang di Halmahera Tengah hingga Halmahera Timur, Maluku Utara, sepanjang 21-24 Juli 2024.
Banjir itu melumpuhkan dan mengisolasi desa-desa pusat operasi IWIP, antara lain, Lelilef Woebulan, dan Lukulamo. Juga, wilayah Transmigran Kobe di Weda Tengah meliputi Woekob, Woejerana, dan Kulo Jaya.
Banjir pun meluas ke Sagea sampai Transmigran Waleh, Weda Utara, dan memaksa setidaknya 1,700 warga mengungsi. Di Halmahera Timur, banjir merendam setidaknya 12 desa.
Selain banjir, longsor terjadi di beberapa ruas jalan lintas Buli-Subaim, Buli-Maba Tengah, dan di sepanjang Jalan Uni-Uni, Halmahera Timur. Di Halmahera Tengah, longsor memutus akses jalan Trans Pulau Halmahera yang menghubungkan Payahe-Oba di Kota Tidore Kepulauan dengan Weda, Halmahera Tengah.
Di Indonesia, begitu banyak orang yang berusaha mempertahankan lingkungan mereka kena jerat hukum. Vebrina Monicha, Divisi Hukum KontraS, mengatakan, sekitar 304 orang pembela HAM dikriminalisas di Indonesia. Dari jumlah itu, 83 di sektor sumber daya alam.
Dia bilang, awal kepolisian harus menolak laporan karena aktivitas Christina merupakan pejuang lingkungan hidup yang dilindungi Pasal 66 UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Vebrina juga menyoroti IWIP yang berstatus sebagai objek vital nasional (obvitnas) dapat dijaga pasukan TNI/Polri. “Dalam konteks ini, pengamanan obvitnas sangatlah bermasalah dari segi akuntabilitas dan transparansi pada praktik di lapangan.”
Banjir berulang ini dipicu penggusuran hutan masif. Data dari Forest Watch Indonesia (FWI )menunjukkan, deforestasi karena tambang di Halmahera Tengah seluas 2.739,80 hektar sepanjang 2021-2023. Khusus PT Weda Bay Nickel, yang masuk Halmahera Tengah deforestasi 1.783,89 hektar.
Kehilangan tutupan pohon yang dominan terjadi pada kawasan konsesi penambangan nikel itu, menyebabkan berbagai degradasi sumber daya air tawar dan meningkatkan risiko bencana hidrometeorologi.
“Demonstrasi ini buntut banjir berhari-hari di wilayah-wilayah operasi tambang nikel di Maluku Utara, seperti di Halmahera Tengah, Halmahera Timur, Ternate,” kata Al Farhat Kasman, Divisi Kampanye Jaringan Advokasi Tambang (Jatam).
Menurut Muhamad Jamil, Kepala Divisi Hukum Jatam, ancaman dan intimidasi kepada kedua mahasiswa Maluku di Jakarta itu merupakan upaya pembungkaman partisipasi publik pejuang lingkungan atau dikenal dengan SLAPP.
“Tindakan mengancam dan mengintimidasi melalui media elektronik adalah dugaan tindak pidana sebagaimana ketentuan pasal 335 jo. 369 KUHP serta UU ITE dapat dipenjara paling lama 4 tahun dan denda Rp 750 juta,” kata Jamil.
Jatam menggarisbawahi kerentanan Maluku Utara sebagai wilayah kepulauan terhadap bencana hidrometeorologi, makin berat dengan ada tambang nikel.
Selain itu, terdapat perampasan ruang pangan, ruang penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, perampasan hak atas air dan udara yang bersih dan sehat, serta perampasan atas ruang hidup yang sehat, bersih, aman, dan layak bagi warga Halmahera.
Kondisi ini, katanya, bentuk kekerasan dan penindasan gaya baru terhadap penduduk Halmahera yang dipaksa hidup berdampingan dengan bencana dampak kerusakan ekologinya.
Selain kekerasan berdimensi ekologi, tambang menghadirkan berbagai kekerasan fisik dan psikis bagi masyarakat Halmahera dan pekerja tambang.
Koalisi Masyarakat Sipil menuntut pemerintah pusat dan daerah, serta perusahaan tambang nikel harus segera bertanggung jawab atas bencana banjir yang terjadi dan potensi bencana yang akan datang di kemudian hari.
Seharusnya, pemerintah tidak hanya sebatas bertanggung jawab dengan memberikan bantuan sosial atas kerugian atas derita warga, tetapi menghentikan segala ekstraksi yang menjadi sumber bencana dan menghancurkan ruang hidup mereka.
Adapun Tim Advokasi Gunung Tanah tergabung dalam koalisi ini antara lain Jatam, Jentera, KontraS, YLBHI, SAFEnet, PIL-NET, Enter Nusantara, Auriga, FWI, IFM Fund, TuK Indonesia, AMAN, PPMAN, ICW, Greenpeace Indonesia, Trend Asia, Walhi Nasional, dan Satya Bumi.
Tim advokasi
Untuk memberikan pendampingan hukum, Koalisi Gunung Tanah resmi membentuk Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD) guna mendampingi Christina, aktivis perempuan dari Maluku yang menghadapi kasus hukum. Christina dilaporkan ke Bareskrim Polri atas dugaan pelanggaran UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Tim ini akan memberikan pendampingan hukum penuh kepada Christina, mulai dari tahap penyidikan hingga proses persidangan.
“Tim advokasi akan memberikan bantuan hukum menyeluruh kepada Christina, termasuk menghadiri setiap pemeriksaan, mengajukan permohonan penangguhan penahanan, serta menghadirkan saksi-saksi yang meringankan,” ujar Muhamad Isnur, tim advokasi.
Dalam TAUD ini terdiri lebih 27 pengacara. Mereka berkomitmen memastikan proses hukum berjalan sesuai prinsip keadilan. Mereka juga menegaskan, tim ini akan mengambil langkah-langkah hukum yang dianggap perlu untuk melindungi hak-hak Christina.
“Surat kuasa telah diberikan kepada tim advokasi, kami siap menjalankan tugas kami dengan integritas tinggi untuk menegakkan hukum dan melindungi hak asasi manusia,” kata Isnur.
Kasus ini mendapat perhatian luas dari masyarakat sipil, terutama karena Christina dikenal sebagai aktivis yang vokal dalam menyuarakan isu-isu sosial di Maluku. Banyak pihak mendukung Christina dan mengecam penggunaan UU ITE sebagai alat untuk membungkam kritik dan kebebasan berekspresi.
Dukungan mengalir
Solidaritas Pemuda dan Mahasiswa Aru (SAPA) bersama Asosiasi Mama-Jar menggelar aksi mendukung Christina. Mereka menuntut pencabutan laporan terhadap Cristina.
Aksi berlangsung 11 September lalu di lapangan Yos Sudarso, Dobo, Kepulauan Aru. Para peserta memegang panflet dan spanduk sembari aksi bisu sebagai bentuk protes terhadap kriminalisasi aktivis.
“Ini sikap kami melawan kriminalisasi terhadap aktivis yang membela hak masyarakat atas lingkungan hidup yang sehat. Jika tindakan seperti ini terus terjadi, lalu apa gunanya demokrasi?” kata Aldo Duganata, penanggung jawab aksi.
Menurut dia, masyarakat menerima dampak tambang, sementara pejabat menikmati hasil. Saat aktivis bersuara, justru ancaman kriminalisasi digunakan untuk membungkam perlawanan terhadap kerusakan lingkungan.
Aldo menuntut Suaidi Marasabessy mencabut laporan terhadap para aktivis itu. Apa yang disuarakan Cristina dan aktivis lain adalah realitas yang masyarakat Halmahera hadapi.
“Penggunaan hukum untuk membungkam suara para aktivis menunjukkan negara justru mendukung kerusakan lingkungan dan menindas rakyatnya sendiri.”
Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Cabang Jakarta Pusat juga mengatakan, akan terus mengawal kasus ini. Mereka mengutuk keras kriminalisasi terhadap Cristina dan aktivis lain di Indonesia.
Rikardus Redja, Presidium Gerakan Kemasyarakatan PMKRI Jakarta Pusat, menilai bahwa kriminalisasi tanpa memahami akar masalah merupakan upaya pembungkaman.
“Kasus ini tidak akan melemahkan perjuangan kami. Aktivis selalu berjuang demi amanat penderitaan rakyat. Usaha Cristina adalah upaya mulia, dan kami akan berdiri bersamanya sampai laporan ini dicabut,” ujar Rikardus.
Germas PMKRI Jakarta Pusat berharap agar seluruh anggota PMKRI di Indonesia ikut mengawal kasus ini, karena kriminalisasi aktivis merupakan upaya melemahkan perjuangan rakyat, terutama pada momentum penting seperti September Hitam.
Bersama komunitas Mama-Jar (pedagang lokal), Siska Gaite turut mendesak agar Kapolri menghentikan proses hukum terhadap Christina dan Thomas.
“Kami menuntut Kapolri tidak melanjutkan laporan terhadap kawan kami.”
Siska mengajak masyarakat Maluku untuk bersama-sama mendukung Christina, yang berjuang demi kepentingan rakyat.
Aksi yang sama dilakukan Gerakan Mahasiswa Alifuru (Gemafuru) di Kawasan Pujasera FKIP, Kampus Unpatti Poka, Kota Ambon.
“Christina adalah kita. Jika tidak dilawan sekarang maka mungkin kedepan kita juga akan menjadi target pembungkaman berikutnya,” kata Josua Ahwalam, pemuda Sabuai yang tergabung dalam Gemafuru.
******
Protes Bencana Dampak Nikel Berujung Jerat Hukum Aktivis Perempuan