- Menjelang pelantikan Presiden dan Wakil Presiden RI periode 2024-2029, sejumlah program kerja yang dijanjikan mulai dimunculkan ke publik. Salah satunya, adalah janji menggelar program makan bergizi gratis kepada masyarakat
- Janji itu mencakup di dalamnya adalah pemberian susu sebagai bagian dari paket makanan bergizi. Namun, belum juga dilaksanakan programnya, susu sapi kemudian diwacanakan akan diganti dengan susu olahan dari ikan
- Sayangnya, penggantian jenis susu tersebut dinilai menjadi bentuk pembodohan publik. Hal itu, karena susu ikan adalah hidrolisat protein ikan (HPI) dan ditengarai itu menyerupai minyak ikan yang sudah beredar luas di masyarakat sejak lama
- Selain tak ada kejujuran dari pemerintah, wacana memproduksi susu ikan juga dipersoalkan, karena akan memerlukan biaya yang tidak sedikit. Sebabnya, karena bahan kimia yang diperlukan harus didatangkan melalui jalur impor
Pro dan kontra pemilihan susu ikan dalam paket makanan bergizi yang diberikan oleh pemerintah terus berjalan. Paket yang rencananya menjadi bagian dari program makan bergizi gratis itu akan dijalankan setelah Presiden dan Wakil Presiden RI 2024-2029 terpilih dilantik pada Oktober nanti.
Walau belum menjadi pilihan final, namun polemik susu ikan terus menggema dalam beberapa hari terakhir. Salah satu sebabnya, karena susu ikan dipilih untuk menggantikan susu sapi yang disinyalir tidak bisa dipenuhi oleh pasar dalam negeri.
Pakar Ilmu dan Teknologi Pangan Daisy Irawan dengan tegas menyebut kalau pilihan susu ikan sebaiknya ditiadakan dari sekarang. Selain karena memerlukan biaya mahal untuk mengolah ikan menjadi bentuk susu, juga karena prinsip makanan bergizi sudah bergeser saat ini.
Jika dulu makanan bergizi adalah identik dengan paket empat sehat lima sempurna, yang di dalamnya ada susu. Maka, saat ini makanan bergizi sudah berganti menjadi “Piringku”, yang di dalamnya mengatur lebih komprehensif dan detail jenis makanan dan minuman yang dikonsumsi.
Inisiasi yang dilakukan Kementerian Kesehatan itu, mengatur jenis makanan dan minuman yang seharusnya dikonsumsi setiap kali makan. Kemudian, mengatur pula porsi yang sebaiknya dikonsumsi agar bisa memenuhi kebutuhan gizi dalam sehari.
Bukan Susu, tapi Hidrolisat Protein Ikan
Di luar kampanye makanan bergizi yang sudah bergeser pada saat ini, Daisy kepada Mongabay juga menyoroti kampanye penggunaan susu ikan sebagai pengganti susu sapi seperti kampanye pembodohan kepada publik. Sebabnya, tidak ada kejujuran sedari awal tentang susu ikan.
Menurutnya, ikan itu semuanya adalah anggota vertebrata poikilotermik yang hidup di air dan bernapas dengan insang. Ikan berbeda dengan mamalia yang bisa menyusui anak-anaknya dan itu terjadi pada lumba-lumba serta paus.
Di dunia, ikan diketahui menjadi kelompok vertebrata yang paling beraneka ragam dengan jumlah spesies lebih dari 27.000. Meski jumlahnya sangat banyak, namun bisa dipastikan kalau ikan tidak mengeluarkan susu seperti kelompok mamalia.
“Mengapa tidak secara jujur menyebutkan bahwa itu hidrolisat protein ikan? Yang mana kurang lebih seperti halnya kecap ikan,” ucapnya yang dipublikasikan melalui sosial media.
Baca : Ikan Nila, Sumber Pangan dan Gizi untuk Pencegahan Stunting
Pun demikian, dia mempertanyakan kenapa ikan yang segar harus dilakukan hidrolisis untuk mendapatkan susu. Dia menilai, protein dalam ikan itu sangat mudah untuk dicerna oleh manusia, jadi tidak memerlukan lagi proses tambahan.
Selain itu, melakukan hidrolisis juga berarti akan menambah biaya lagi, karena memerlukan teknologi interaksi manusia-komputer (HCI), atau kebutuhan asam sulfat yang akan digunakan untuk melakukan proses hidrolisa.
Masalah semakin bertambah, karena bahan-bahan kimia yang dibutuhkan juga sebagian besar ada di luar negeri. Itu berarti, akan ada biaya impor, cukai, dan transportasi suplai kebutuhan yang semuanya belum tentu berlanjut.
“Juga ada limbah wadah, dan emisi CO2 dari proses produksinya,” jelasnya.
Sebagai ilmuwan yang sudah berkeliling ke-18 negara, Daisy mengaku belum pernah melihat ada negara yang mengonsumsi susu ikan. Hampir semua negara yang disinggahinya semua menggunakan susu sapi untuk memenuhi kebutuhan gizi.
Tidak adanya negara yang menggunakan ikan untuk diolah menjadi susu sapi, disimpulkannya karena negara-negara tersebut memiliki sumber daya terbatas. Mereka memanfaatkan susu sapi untuk memenuhi kebutuhan gizi, karena memang sapi tersedia melimpah.
Selain itu, banyak yang menilai kalau ikan itu paling bagus dimakan secara langsung dengan olahan sederhana seperti digoreng, kusus, atau dibuat sop. Jika diolah terlalu dalam, maka gizinya akan mengalami penurunan.
Hilangkan Susu Ikan
Untuk itu, jika jadi menjalankan program makanan bergizi gratis bagi anak-anak, dia meminta pemerintah agar susu ikan wajib ditiadakan. Kalau pun mau, ikan disajikan dengan olahan sederhana saja seperti disebutkan di atas.
Selain itu, menyajikan ikan dalam menu program makan bergizi gratis juga akan membantu kelompok usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dalam mengembangkan usaha. Itu artinya, pemerintah akan menyasar dua kelompok sekaligus, anak-anak dan UMKM.
Baca juga : Mengapa Pangan Lokal Indonesia Masih Terabaikan?
Di sisi lain, dia menyebut ada banyak jenis pangan lain yang bisa menggantikan kebutuhan susu. Terlebih, karena alam Indonesia dianugerahi kekayaan pangan yang bisa didapatkan dengan mudah oleh masyarakat. Kemudahan itu seharusnya bisa menjadi akses bagi negara untuk menggunakannya dalam program makan bergizi gratis.
Menurutnya, susu sebagai bahan minuman bergizi saat ini juga sudah tidak lagi dipandang sebagai bahan esensial, karena bisa digantikan oleh bahan pangan yang lain. Karenanya, susu ikan tidak boleh dipaksakan harus ada dan Pemerintah harus mencabutnya dari program makan bergizi gratis.
Kalaupun Pemerintah bersikukuh bahwa susu ikan baik untuk mengentaskan masalah stunting, Daisy menilai itu juga tidak tepat. Sebabnya, stunting bukan karena kekurangan gizi saja, namun juga pola makan yang tidak benar.
“Jajan dan makan mie, itu buat anak menjadi stunting. Jadi, itu masalah yang kompleks, karena berkaitan juga dengan pola asuh di rumah tinggal masing-masing anak,” ungkapnya.
Kekurangan Protein
Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menyebut kalau susu ikan bisa menjadi salah satu bahan untuk memenuhi kebutuhan gizi dan asupan protein masyarakat. Selain itu, produksi susu ikan juga disebut akan mendukung program hilirisasi yang dijalankan KKP saat ini.
Direktur Jenderal Penguatan Daya Saing Produk Kelautan dan Perikanan (PDSPKP) KKP Budi Sulistiyo menjelaskan, saat ini masyarakat Indonesia rerata masih kekurangan protein. Hal itu diperkuat oleh data yang diterbitkan Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2023, di mana asupan protein masih sekitar 62,3 gram/kapita/hari.
“Itu jauh masih berada di bawah Kamboja, Thailand, dan Filipina,” terangnya kepada media, di Jakarta, Selasa (17/09/2024).
Fakta tersebut dinilai bisa mengganggu visi Indonesia Emas pada 2045 yang menjadi puncak peringatan Hari Kemerdekaan ke-100 RI. Masalah tersebut tidak boleh dibiarkan, dan harus dicarikan solusi, salah satunya melalui pemberian susu ikan sebagai pemenuhan protein dan gizi.
Menurutnya, asupan berbahan dasar ikan menjadi bagus untuk dikonsumsi masyarakat, karena mengandung protein dan bahan lain yang dibutuhkan. Itu juga sangat bagus untuk mendukung pertumbuhan otak, termasuk mengatasi stunting.
Baca juga : Apakah Ada Ikan yang Menyusui Anaknya?
Budi optimis kalau pengembangan susu ikan akan berjalan dengan lancar, karena ada perencanaan yang sudah dilakukan. Termasuk, dengan menerapkan standar nasional Indonesia (SNI), kemudahan proses perizinan, dan memfasilitasi pelaku usaha dengan investor dan program modal usaha.
“Serta menghubungkan ke pemerintah daerah maupun nelayan lokal selaku penyuplai bahan baku produksi. Termasuk mendekatkan industri dengan sumber bahan baku,” ucapnya.
Dia juga optimis kalau pengembangan usaha susu ikan akan memberikan efek berganda yang cukup besar bagi pertumbuhan ekonomi, serta mendorong peningkatan asupan protein nasional. Selain memerangi stunting dan membangun generasi tangguh, kuat dan cerdas, susu ikan juga berdampak pada UMKM dan tenaga kerja.
Pada kesempatan tersebut, Founder Berikan Protein Yogie Arry mendukung pernyataan dari Budi Sulistiyo bahwa meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya asupan protein bagi tubuh adalah tanggung jawab dari Pemerintah.
“Berdasarkan data, 81 persen orang Indonesia itu defisiensi protein. Padahal, Indonesia memiliki sumber protein berasal dari ikan yang sangat melimpah,” ujarnya.
“Data KKP hampir 12 juta ton surplus ikan yang jelas menjadi sumber protein terbaik. Ini harus dimanfaatkan, bangsa kita darurat protein,” tambahnya.
Dukungan yang dimaksud, adalah salah satunya melalui inovasi susu ikan yang dihasilkan melalui penggunaan teknologi Hidrolisat Protein Ikan (HPI). Dalam sebulan, Berikan Protein diklaim mampu memproduksi 3.350.000 botol susu ikan.
Menurutnya, usaha yang dirintis tersebut tak hanya akan meningkatkan kebutuhan asupan protein di Indonesia, namun juga diyakini akan mendorong peningkatan produktivitas dari nelayan tradisional. Semua kebutuhan ikan disuplai oleh mereka dan kemudian diolah menjadi susu ikan.
“Banyak ikan hasil tangkapan nelayan yang bisa dimanfaatkan menjadi HPI. HPI itu sumber produksi susu ikan,” ungkapnya.
Baca juga : Anggur Laut, Makanan Kaya Gizi yang Terabaikan Masyarakat Batam
Susu Ikan Pelengkap Makanan
Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Bioindustri Laut dan Darat Badan Riset dan Inovasi Nasional (BILD BRIN) Ekowati Chasanah yang hadir pada kesempatan sama mengatakan kalau susu ikan dihadirkan tidak untuk menggantikan susu sapi.
Tegasnya, susu ikan muncul sebagai alternatif atau tambahan yang menawarkan manfaat gizi khusus dari protein ikan. Produk HPI dapat memberikan keunggulan nutrisi tertentu, seperti profil asam amino tertentu yang berbeda atau bioaktivitas, yang tidak tersedia dari susu sapi atau sumber protein lain.
“Dengan demikian, HPI berfungsi untuk melengkapi, bukan menggantikan, sumber protein lain dalam diet masyarakat yang memerlukannya,” pungkasnya.
Sebelumnya, Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Sakti Wahyu Trenggono menegaskan HPI akan menjadi faktor penting dalam mendorong hilirisasi perikanan. Menurutnya, susu ikan akan menjadi pengungkit daya saing produk perikanan, baik di pasar dalam negeri maupun global.
Dikatakannya, produk ini merupakan produk inovasi yang menggabungkan antara manfaat protein ikan untuk kesehatan dengan diversifikasi produk olahan sehingga dapat meningkatkan nilai tambah dan daya saing produk, sejalan dengan program prioritas.
Susu Ikan Lebih Murah
Terpisah, Ketua Komite Advokasi Percepatan Penurunan Stunting, Kesehatan Ibu dan Anak, dan SDG’s Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Agussalim Bukhari menyebut kalau susu ikan bisa diproduksi dengan bahan baku yang mudah dan murah, dengan tidak meninggalkan kandungan gizinya.
Meski demikian, walau susu ikan tidak bisa menyamai susu sapi, namun keduanya merupakan sumber protein yang baik. Perbedaannya, susu sapi sebagian besar didatangkan melalui impor, sehingga berbiaya mahal. Sementara, susu ikan bisa didapatkan bahan bakunya di dalam negeri dengan mudah.
“Ikan lebih mudah, tinggal kita tangkap saja di perairan kita. Jadi dari segi bahan baku, itu lebih murah,” ucapnya dikutip dari RRI.
Selain kemudahan mendapatkan di alam, ikan juga menjadi alternatif yang bagus, karena mengandung omega 3 yang sangat baik untuk jantung dan tumbuh kembang otak pada anak. Kemudian, pengolahan secara modern juga menghasilkan lebih banyak kandungan protein.
“Produk yang dihasilkan tidak berbau amis, sehingga produk tersebut dapat menjadi asupan bagi anak-anak yang tidak mau makan ikan karena bau amisnya,” tambahnya.
Tentang olahan ikan menjadi bentuk susu, Agussalim menjelaskan bahwa itu adalah karena susu bentuknya cair dan itu menjadi bahan makanan tambahan yang paling mudah dikonsumsi oleh orang. Jadi, jika kesulitan mengonsumsi ikan secara langsung, maka susu menjadi pilihan utama. (***)
Mandiri Pangan dan Konsumsi Makanan Sehat Bisa Tekan Emisi, Seperti Apa?