- Pendidikan dan sumber ekonomi merupakan dua hal penting untuk membangun kemandirian. Itulah yang Serikat Petani Pasundan, lakukan. Mereka membangun sekolah-sekolah dari tingkat dasar sampai menengah atas untuk membentuk kader-kader yang bisa membangun kemandirian petani.
- SPP bikin sekolah gratis untuk orang tak mampu. Meski dapat biaya operasi sekolah (BOS) dari pemerintah pusat dan bantuan pendidikan menengah universal (BPMU) dari Jawa Barat untuk administrasi dan kebutuhan sekolah, SMK ini punya cara sendiri mensejahterakan 22 guru SMP dan SMK mereka. Ada lahan produksi ekonomi seluas satu hektar yang ditanami pisang dan kelapa. Hasil panen lahan ini dibagikan kepada guru-guru. Ada juga 420 bata, sekitar setengah hektar sawah yang hasilnya juga untuk guru-guru sekolah.
- Serikat Petani Pasundar juga membangun Institute Kepemimpinan Rakyat (IKR) untuk meningkatkan kemampuan pemimpin-pemimpin SPP dalam menjalankan organisasi tani lokal (OTL). Targetnya sederhana. Kalau anggota SPP menempati posisi strategis maka kemenangan-kemenangan kecil di desa akan memudahkan gerak langkah SPP memperjuangkan pembaruan agraria.
- Di Desa Kalijaya, Kecamatan Banjaranyar, Ciamis, Jawa Barat, Serikat Petani Pasundan membentuk koperasi untuk menghindarkan petani terjerat utang rentenir. Mula-mula mereka mengumpulkan tabungan Rp10.000 per anggota. Setiap anggota baru juga iuran awal Rp100.000 per anggota. Belakangan, iuran anggota baru naik jadi Rp200 ribu, lantas Rp350 ribu. Kini, terkumpul sekitar 600 anggota dengan aset koperasi mencapai Rp2 miliar.
Sebelas siswa SMK Pasawahan, di Kabupaten Banjaranyar, Jawa Barat, duduk membentuk huruf U di dalam kelas. Pagi itu, jadwal pelajaran Sejarah Geografi Agraria Priangan (SGAP).
Paryono, guru sekaligus kepala sekolah mengulas sedikit pekerjaan rumah yang harus dikumpul hari itu. Minggu lalu dia memberi tugas wawancara satu anggota Serikat Petani Pasundan (SPP) Ciamis dan membuat ringkasan sejarah SPP.
Paryono lantas meminta satu siswa maju membacakan tugas mereka. Dewi Lestari maju. Membacakan pekerjaan rumah dari bahan yang dia dapat dari internet dan wawancara.
Setelah Dewi membacakan tiga halaman tugas tulisan tangan itu, Paryono mengulas poin dalam tugas yang dikerjakan Dewi.
SGAP adalah mata pelajaran muatan lokal tentang organisasi: bagaimana SPP terbentuk hingga landasan hukum tanah obyek reforma agraria.
Dari hasil penelusuran, Dewi menemukan SPP yang mula-mula lahir dari kegiatan mahasiswa di Jawa Barat, yakni, Forum Pemuda Pelajar Mahasiswa Garut (FPPMG), Forum Aspirasi Rakyat dan Mahasiswa Ciamis (Farmaci) dan Komite Perjuangan Mahasiswa untuk Rakyat Indonesia (KPMURI) berkembang di empat kabupaten: Garut, Ciamis, Tasikmalaya dan Pangandaran.
Selain organisasi-organisasi ini, SPP juga membuat sekolah-sekolah di tiap kabupaten untuk regenerasi perjuangan SPP. Karena realitanya anak-anak petani kesulitan mendapat pendidikan.
“SPP membuat sekolah-sekolah gratis untuk masyarakat tidak mampu. Diawali dengan SMP/MTs di Srimukti, Garut, lalu SMP di Pasawahan, Ciamis. Saat ini, sudah ada tiga SMK pertanian di tiga wilayah SPP,” kata Dewi membacakan tugasnya.
SMK Pasawahan terdaftar di Kementerian Pendidikan pada 2010 dengan izin operasional jurusan pertanian. Sekolah mengajukan SGAP sebagai muatan lokal ke Dinas Pendidikan untuk membuka wawasan siswa soal SPP. Pembelajarannya disesuaikan dengan usia siswa.
Siswa SMP mulai dikenalkan dengan apa itu SPP. Saat SMK, pelajaran lebih mendalami landasan hukum dan sejarah SPP.
“Tidak harus ikut masuk SPP tapi minimal paham mengapa masyarakat klaim lahan yang hak guna usaha-nya habis,” ujar Paryono.
Tak terasa jam pelajaran pertama hampir berlalu. Paryono kembali memberi tugas kelas untuk mencari informasi awal soal obyek penguasaan tanah oleh SPP. PR ini akan dibahas minggu depan.
Paryono jadi guru di SMK Pasawahan sejak 2017. Sebelumnya dia lulus dari SMP dan SMK Pasawahan yang didirikan anggota SPP dibantu induk organisasinya, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA).
Saat lulus SPP memberi beasiswa kepada Paryono untuk kuliah keguruan di Garut.
Saat kuliah Paryono bergabung dengan Forum Aspirasi Rakyat dan Mahasiswa Ciamis (Farmaci), salah satu organisasi yang ikut membentuk SPP menjelang 2000. Setelah lulus, Paryono jadi guru di SMK.
“Alhamdulillah lulus tepat waktu. Sebagai rasa syukur saya abdikan diri dengan mengajar,” katanya.
Paryono masih ingat saat SMP dia dan teman seangkatannya sekolah dengan meminjam ruangan sekolah lain di Madrasah Ibtidaiyah (MI) Pasawahan. Saat naik kelas dua pada 2008, baru dibangun ruang-ruang kelas dari hasil swadaya masyarakat.
“Bahu membahu. Ada yang sumbang pasir, batu bata, genteng,” katanya.
Sekolah ini dibangun untuk mengatasi angka putus sekolah yang tinggi di desanya. Sekolah lain terdekat berjarak 17 kilometer dari Pasawahan. Dengan kondisi ekonomi sulit saat itu, banyak orangtua memilih tidak menyekolahkan anak mereka.
Dua sekolah ini adalah sekolah umum gratis. Sebagian besar guru dari SMK lulusan pendidikan atau pertanian. Dari 87 siswa pada 2023, lebih separuh merupakan anak anggota SPP. Lainnya berasal dari luar SPP bahkan dari luar Pasawahan termasuk Pangandaran.
Untuk siswa dari luar Pasawahan, SPP juga membangun pesantren. Secara berkala anggota SPP mengirimkan beras, singkong, jagung, lauk untuk anak-anak yang tinggal di pesantren. Semua anak pesantren belajar dan mengaji pagi hingga siang hari dan belajar bertani pada sore hari.
Meski dapat biaya operasi sekolah (BOS) dari pemerintah pusat dan bantuan pendidikan menengah universal (BPMU) dari Jawa Barat untuk administrasi dan kebutuhan sekolah, SMK ini punya cara sendiri mensejahterakan 22 guru SMP dan SMK mereka.
Ada lahan produksi ekonomi seluas satu hektar yang ditanami pisang dan kelapa. Hasil panen lahan ini dibagikan kepada guru-guru. Ada juga 420 bata, sekitar setengah hektar sawah yang hasilnya juga untuk guru-guru sekolah.
“Sampai sekarang semua siswa, termasuk anak pesantren, sekolah dan tinggal gratis. Juga kita kasih baju kejuruan,” katanya.
Sekolah juga punya lahan sawah khusus dengan panen untuk menambah biaya operasional.
Total tujuh hektar lahan ini sudah mendapat sertifikat hasil redistribusi tanah dari BPN atas nama Yayasan Petani Pasundan Indonesia.
Enam hektar lahan untuk desa, sarana olahraga dan pasar. Satu hektar untuk bangunan sekolah dan lahan praktik siswa.
“Praktik lapangan 40%, sisanya teori. Hasil panen di lahan praktik seperti cabe, timun dan lain-lain mereka jual sendiri dan uangnya untuk mereka,” katanya lagi.
Untuk menjaga keberlanjutan SPP, ada instruksi dari organisasi agar anak Ketua OTL menyekolahkan anaknya di sekolah-sekolah SPP sebagai bagian kaderisasi dan kelak dapat jadi sosok pemimpin di SPP. Total ada 11 sekolah yang dibangun di basis-basis SPP di Jawa Barat.
Di SMK Pasawahan juga sudah ada Balai Latihan Kerja (BLK) dari Kementerian Ketenagakerjaan yang membantu siswa belajar mengolah hasil pertanian untuk mendapatkan nilai tambah produk.
SPP kemudian juga memberikan beasiswa kepada lulusan sekolah menengah atasnya untuk kuliah hukum agar kelak dapat melindungi anggota dan lahan garapan anggota SPP.
IKR, ARAS dan kemandirian ekonomi
Selain pendidikan formal, SPP juga membangun Institute Kepemimpinan Rakyat (IKR) untuk meningkatkan kemampuan pemimpin-pemimpin SPP dalam menjalankan organisasi tani lokal (OTL).
Di IKR anggota SPP belajar soal kepemimpinan dan cara kerja organisasi SPP. IKR mendorong pemimpin SPP di wilayah untuk menduduki posisi penting dalam pemerintahan, misal jadi kepala desa agar dapat mempengaruhi kebijakan pemerintah.
Targetnya sederhana. Kalau anggota SPP menempati posisi strategis maka kemenangan-kemenangan kecil di desa akan memudahkan gerak langkah SPP memperjuangkan pembaruan agraria.
Endang Kuswaya, anggota SPP Ciamis dari Desa Kalijaya masih ingat pertama kali ikut kelas pengenalan gender di IKR.
Sebelum mengikuti pendidikan di IKR, Endang pikir hanya laki-laki yang punya hak atas lahan garapan, wilayah perempuan hanya di dapur. IKR menyadarkan Endang, bahwa tanpa perempuan, perjuangan SPP untuk menggarap lahan tak akan berjalan mulus.
Dia mulai berpikir dukungan moral dari istri-istri banyak membantu kebutuhan materi saat konflik dengan perusahaan.
“Kalau istri saya waktu itu ga terima jahitan baju, modal dari mana ikut aksi?” kata Endang.
Selain membangun IKR yang kemudian melahirkan Akademi Reforma Agraria Sejati (ARAS) Perempuan, anggota SPP di Desa Kalijaya, Ciamis, juga membentuk koperasi untuk menghindarkan petani terjerat utang rentenir.
Mula-mula mereka mengumpulkan tabungan Rp10.000 per anggota. Setiap anggota baru juga iuran awal Rp100.000 per anggota. Belakangan, iuran anggota baru naik jadi Rp200 ribu, lantas Rp350 ribu. Kini, terkumpul sekitar 600 anggota dengan aset koperasi mencapai Rp2 miliar.
Uang yang terkumpul dipinjamkan kepada anggota yang seringkali perlu untuk biaya pendidikan, sosial, sampai kematian. Mula-mula agar kas koperasi stabil diterapkan bunga 3% untuk setiap pinjaman. Belakangan, peminjam tak lagi kena bunga.
“Koperasi bisa penuhi kebutuhan anggota untuk beli bibit, pupuk, penyiangan,” kata Endang, kemudian menjadi Koordinator Wilayah dan Dewan Pengawas koperasi.
Tak hanya anggota SPP yang menjadi anggota koperasi. Sekitar 30% anggota koperasi bukan anggota SPP.
Awal terbentuk pada 2007, koperasi ini sempat terbengkalai karena pengurus belum paham bagaimana mengelola koperasi. Banyak utang tak dibayar anggota. Dengan dampingan jaringan SPP termasuk KPA, pelan-pelan masyarakat mulai mengerti. Mereka bahkan menyediakan lahan kolektif dengan hasil bagi ke pengelola koperasi.
Pada 2008, koperasi kembali bangkit dengan modal awal Rp7 juta. Petani yang perlu uang dengan mudah tanpa jaminan bisa meminjam ke koperasi. Uang terus berputar sampai pada 2023 tercatat sisa hasil usaha koperasi mencapai Rp170 juta dengan pendapatan bunga sampai Rp301 juta.
“Kalau ga ada koperasi kita takut anggota minjam ke rentenir. Anggota tidak boleh minjam ke rentenir. Lintah darat,” kata Endang.
********
*Tulisan ini terbit atas kolaborasi Mongabay Indonesia dan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA).