- Tak hanya dipengaruhi faktor cuaca yang tidak menentu, nelayan di Tangerang, Banten, sulit menangkap ikan dan rajungan karena kondisi perairan sudah tercemar bahan berbahaya.
- Nelayan menduga bahan berbahaya yang mencemari wilayah tangkapannya itu berasal dari limbah aktivitas rumah tangga dan industri.
- Sebelumnya, sekali trip nelayan bisa mendapatkan rajungan rata-rata 30 kilogram per hari. Namun kini, pendapatannya rata-rata 3 sampai 4 kilogram dengan harga jual Rp45.000 per kilogram.
- Pesatnya aktivitas industri dan masyarakat di wilayah pesisir Tangerang sangat memungkinkan terjadinya pencemaran di perairan laut kawasan tersebut.
Sudah lima tahun ini rajungan hasil tangkapan Budi (50), nelayan asal kelurahan Dadap, Kecamatan Kosambi, Kabupaten Tangerang, Banten mengalami penurunan.
Tak hanya dipengaruhi faktor cuaca yang tidak menentu, ia mengaku sulit menangkap rajungan dikarenakan kondisi perairan dangkal di pesisir Tangerang sudah tercemar bahan berbahaya.
Dugaannya, bahan berbahaya yang mencemari wilayah tangkapannya itu berasal dari limbah aktivitas rumah tangga maupun industri. Hal ini membuat rajungan maupun ikan sulit memasuki area yang biasa ia gunakan untuk menangkap.
Padahal, lima tahun lalu, ia masih dengan mudah mencari nafkah di perairan laut dangkal itu. Ia mengaku, sebelumnya sekali trip ia bisa mendapatkan rajungan mencapai rata-rata 30 kilogram per hari.
Namun kini, dalam sehari ia hanya mendapatkan rajungan rata-rata 3 sampai 4 kilogram dengan harga Rp45.000 per kilogram. “Pendapatan ini belum dipotong dengan biaya operasional seperti solar dan perawatan jaring yang rusak,” ungkapnya minggu lalu.
Karena wilayah tangkapannya semakin tercemar, ia mengaku saat ini harus melaut lebih dari 2 mil.
Baca : Dampak Perubahan Cuaca, Pendapatan Nelayan Rajungan Menurun
Maskun (45), nelayan lain mengatakan, tidak tahu persis perusahaan mana yang membuang limbah yang mengganggu mata pencahariannya. Akan tetapi, ia mengindikasikan bahwa tercemarnya perairan Tangerang itu salah satunya berasal dari aliran Kali Dadap.
Sebab, sungai yang biasa digunakan nelayan untuk menambatkan perahu saat ini kondisinya semakin memprihatinkan. Selain keruh juga dipenuhi dengan sampah. Ia menduga, keruhnya sungai Kali Dadap itu dikarenakan oleh limbah industri.
Dia teringat, dulu betapa mudahnya mencari rajungan maupun ikan di sekitar muara sungai. Namun, karena Kali Dadap kondisinya semakin tercemar dari tahun ke tahun membuat ia juga kesulitan mencari tangkapan.
Sangat Rentan
Pesatnya aktivitas industri dan masyarakat, baik di wilayah pesisir dan di sepanjang wilayah Tangerang sangat memungkinkan terjadinya pencemaran di perairan laut kawasan tersebut. Hal ini dikarenakan pesisir merupakan tempat bermuaranya sungai-sungai.
Masuknya berbagai macam limbah baik itu limbah padat maupun cair dari daratan menyebabkan kawasan pesisir menjadi tempat akumulasi berbagai macam limbah. Tak hanya itu, kondisi ini semakin parah karena masyarakat masih banyak yang memanfaatkan sungai maupun pesisir menjadi tempat pembuangan sampah.
Data Badan Pusat Statistik Tangerang menyebutkan, ancaman pencemaran di perairan Pesisir Kabupaten Tangerang merupakan berasal dari limbah domestik yang dihasilkan sekitar 2.8 juta penduduk kawasan tersebut.
Selain itu, di Kabupaten berjuluk ‘Kota Benteng’ itu dihuni sekitar 692 perusahaan industri, 84 diantaranya merupakan perusahaan yang berada di wilayah pesisir.
Baca juga : Perubahan Iklim Memukul Nelayan Rajungan Lampung Timur
Tercemarnya salah satu titik perairan di pesisir Tangerang ini dipertegas Anna Rejeki Simbolon. Melalui penelitiannya tentang Pencemaran Bahan Organik dan Eutrofikasi di Perairan Cituis, Pesisir Tangerang itu, ia menyimpulkan bahwa kandungan bahan organik khususnya pospat dan nitrat di wilayah perairan Cituis, Pesisir Tangerang telah melewati standar baku mutu yang digunakan untuk air laut yang mengacu pada Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No.51/2004 tentang Baku Mutu Air Laut untuk Biota Air.
Sedangkan nilai pH, kandungan BOD, DO serta ammonia masih sesuai dengan baku mutu yang ditetapkan. “Perlunya pengelolaan perairan dan pengawasan terkait laju masukan limbah ke perairan ini. Sehingga dapat mengurangi indikasi eutrofikasi dan kualitas air yang lebih baik,” papar dia.
Disamping itu, Anna juga menyarankan, agar dilakukan penelitian lebih lanjutan terkait identifikasi jenis dan kelimpahan fitoplankton di perairan tersebut. Sehingga, rasio N/P bisa dibandingkan dengan jenis fitoplankton yang tinggi.
Selain perairan wilayah Cituis, terdapat lima muara sungai lainnya di pesisir Kabupaten Tangerang yang berpotensi tercemar, diantaranya yaitu muara Sungai Cidurian, Cipasilian, Cimandiri, Cimauk, dan muara Sungai Cisadane.
Alami Perubahan
Perairan Kabupaten Tangerang terus mendapatkan tekanan sehingga mengalami perubahan, diantaranya tekanan aspek lingkungan dan aspek hasil penangkapan nelayan.
Agustin Hari Mahardika, Kepala Bidang Pengelolaan Sampah, Limbah, Bahan Beracun dan Berbahaya (PSLB3), Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK) Kabupaten Tangerang mengaku perihatin dengan kondisi nelayan yang hasil tangkapannya menurun akibat perairannya tercemar.
Dia bilang, sejak Undang-undang Nomor 9/2015 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 23/2014 tentang Pemerintah Daerah, kewenangan pemerintah kabupaten atau kota sekarang ini sangat kecil. Jadi, pembagian kewenangan kabupaten sekarang ini ada yang diambil alih oleh pemerintah provinsi dan pusat, termasuk kewenangan dalam pengawasan masalah limbah.
“Artinya, memang pengawasan dan perizinan kewenangannya tidak sampai disitu, demikian juga limbah-limbah B3 yang memang ditarik ke pusat ya,” ujarnya saat dihubungi, Rabu (18/09/2024). Untuk itu, lanjut dia, jika tidak dapat laporan tembusan dari pemerintah provinsi dan pusat pihaknya tidak mempunyai datanya.
Baca juga : Melihat Usaha Kupas Rajungan di Pulau Kasu, Berdayakan Ibu Rumah Tangga
Agustin berpandangan, berkurangnya hasil tangkapan nelayan di pesisir Tangerang yang berdampingan dengan perairan Jakarta itu tidak hanya disebabkan oleh limbah saja, melainkan ada tekanan lain yang menyebabkan struktur hutan mangrove sudah banyak yang berkurang.
Dengan berkurangnya hutan mangrove tersebut nelayan makin jauh mencari tangkapan. “Kalau melihat peta laut nelayan di Kosambi dan Teluk Naga sekarang ini mencari ikan di perairan Jakarta dan Kepulauan Seribu,” ungkapnya.
Sementara itu, dalam jurnal Penelitian Perikanan Indonesia bertajuk Keragaan Perikanan Tangkap di Perairan Kabupaten Tangerang yang ditulis Mario Limbong menjelaskan, daerah penangkapan ikan utama kapal <5 GT mengalami pergeseran ke arah timur laut Kabupaten Tangerang.
Daerah penangkapan ikan utama di atas 5 GT berada di Pulau Lancang, Pulau Laki, Pulau Bokor, dan Pulau Pari. Sedangkan jumlah kapal penangkapan ikan di Kabupaten Tangerang sekitar 3.212 kapal, didominasi kapal berukuran <5 GT yaitu sekitar 2.125 kapal.(***)