- Willy alias Liem Hoo Kwan Willy divonis bebas oleh Pengadilan Negeri Pandeglang, Banten, Selasa [27/8/2023]. Majelis Hakim membebaskan Willy dari semua tuntutan Jaksa Penuntut Umum [JPU].
- Willy dianggap tidak terlibat dalam transaksi penjualan cula badak jawa, hasil perburuan tahun 2020 sampai 2022, di Taman Nasional Ujung Kulon [TNUK], Pandeglang, Banten. Meskipun, dua alat bukti berupa 1 unit telepon genggam Iphone dan 3 lembar tangkapan layar percakapan di aplikasi WhatsApp serta WeChat diajukan dalam persidangan tersebut.
- Nanda Nababan, Koordinator Advokat dan Peneliti Kejahatan Satwa Liar [APKSLI], mengatakan perkara Sunendi, Yogi, dan Willy harusnya menjadi perhatian publik. Alasannya, selama 20 tahun terakhir belum ada kasus perburuan badak yang terungkap.
- Direktur Hukum Auriga Nusantara, Rony Saputra, juga menyayangkan putusan bebas ini. Menurutnya, kerugian materil hasil penjualan cula tidak sebanding dengan biaya konservasi.
Majelis Hakim Pengadilan Negeri Pandeglang, Banten, yang diketuai Ageng Priambodo Pamungkas, memvonis bebas Willy alias Liem Hoo Kwan Willy dalam sidang yang digelar Selasa [27/8/2023].
Majelis Hakim berpendapat, Willy tidak terlibat dalam transaksi penjualan cula badak jawa, hasil perburuan tahun 2020 sampai 2022, di Taman Nasional Ujung Kulon [TNUK], Pandeglang, Banten. Meskipun, dua alat bukti berupa 1 unit telepon genggam Iphone dan 3 lembar tangkapan layar percakapan di aplikasi WhatsApp serta WeChat, jelas menunjukkan kejahatan besar tersebut.
“Dakwaan Pasal 40 ayat [2] juncto Pasal 21 ayat 2 huruf d Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya, diputuskan gugur,” ucap Ageng.
Baca sebelumnya: Willy Divonis Bebas Kasus Perdagangan Cula Badak Jawa, Jaksa Ajukan Kasasi
Willy dibebaskan atas tuntutan Jaksa Penuntut Umum [JPU] Abrian Rahmat, yaitu 5 tahun penjara dan denda Rp100 juta, subsider kurungan penjara 3 bulan.
Menurut JPU, Willy melanggar UU No 5 Tahun 1990, sebagaimana yang dinyatakan gugur oleh Majelis Hakim. Willy bersama Yogi, telah memperniagakan cula badak jawa hasil perburuan kelompok Sunendi, untuk diperjualbelikan kepada warga China bernama Chen ZheHui alias Ai.
“Perbuatan tersebut, mengakibatkan terancam punahnya populasi badak jawa di habitatnya, di Taman Nasional Ujung Kulon,” terang Abrian.
Dalam fakta persidangan juga terungkap, Willy berada dalam lingkaran Sunendi dan Yogi, yang menjebatani transaksi ilegal cula badak, yaitu sebanyak lima transaksi. Lokasi yang dijadikan tempat pembayaran pun sering menggunakan rumah Willy.
“Kami mengajukan kasasi atas putusan tersebut, yang Mulia,” jawab Arbian di persidangan, Selasa [27/8/2023].
Sunendi alias Nendi yang berperan sebagai pemburu badak, telah divonis 12 tahun penjara. Sementara Yogi Purwadi, yang menjalankan fungsinya sebagai perantara penjual cula, dibui 4,6 tahun penjara.
Baca: 4,5 Tahun Penjara, Vonis Hakim untuk Perantara Penjual Cula Badak Jawa
Putusan hakim jauh dari harapan
Nanda Nababan, Koordinator Advokat dan Peneliti Kejahatan Satwa Liar [APKSLI], mengatakan perkara Sunendi, Yogi, dan Willy harusnya menjadi perhatian publik. Alasannya, selama 20 tahun terakhir belum ada kasus perburuan badak yang terungkap.
“Persidangan Willy cukup menampilkan fakta dan proses yang baik. Kejaksaan mampu menunjukkan bukti bagaimana skema perburuan badak dilakukan, meski hukumannya sungguh jauh dari harapan,” ujarnya kepada Mongabay, Rabu [4/9/2024].
Yogi dan Willy telah berkomunikasi sejak 2021, berdasarkan hasil ekstraksi forensik yang dilakukan Polda Banten.
“Dalam persidangan juga terungkap, tahun 2020 mereka sudah berkomunikasi dengan adanya foto cula. Namun, metode ini justru menimbulkan kegamangan di antara hakim anggota dan hakim ketua sehingga menimbulkan opini berbeda.”
Padahal, kata Nanda, cara forensik ini sudah dipakai pada perkara di Aceh, yaitu kasus mantan gubernur terpidana korupsi. Hakim memakai itu pada putusannya.
Alat bukti yang ditunjukkan jaksa pun cukup jelas, mengungkap adanya transaksi.
“Tidak mungkin transaksi dilakukan antara Yogi dengan Chen ZheHui, tanpa peran serta Willy.”
Baca: 26 Badak Jawa Mati Diburu, Pengamanan Ujung Kulon Lemah?
Soal ketidaktahuan cula yang disebut tanduk, Nanda menyimpulkan jika itu sebagai alibi Willy. Para pelaku kejahatan satwa kerap menggunakan istilah.
Yogi saat memberikan keterangan sebagai saksi dalam perkara Willy, menyatakan ketika menjual cula itu pakai kode.
“Bos, ada tanduk,” kata Nanda, sembari menunjukkan foto tangkapan layar percakapan Yogi dengan Willy pada 2021.
Keputusan bebas untuk Willy, tentu saja ironi.
“Ini satu-satunya perkara yang pelakunya divonis bebas, sejak kami mengawal kasus kejahatan satwa mulai 2017.”
Nanda menegaskan, pihaknya akan mengajukan Amicus curiae atau sahabat pengadilan/friend of the court ke Mahkamah Agung. Tujuannya, agar perkara ini menjadi perhatian semua pihak bahwa prinsip keadilian terhadap ekosistem perlu tanggung jawab hukum dan moral.
“Kami tengah mengkaji putusan lengkap Willy, Yogi, dan Nendi. Kami juga sudah berkoordinasi dengan Kejaksaan Pandeglang untuk memberikan informasi kasus lain yang dapat dijadikan perbandingan hukum kasus Willy. Khususnya, perihal alat bukti elektronik,” jelasnya.
Baca juga: Perlindungan Badak Jawa dan Habitatnya Harus Maksimal
Kerugian yang tidak terhitung
Direktur Hukum Auriga Nusantara, Rony Saputra, juga menyayangkan putusan bebas ini. Menurutnya, kerugian materil hasil penjualan cula tidak sebanding dengan biaya konservasi.
Diketahui, harga paling mahal cula berkisar Rp525 juta, sedangkan ongkos konservasi dua kali lipatnya.
Laporan Auriga 2018 menyebutkan, biaya tiap satu individu badak menghabiskan sekitar Rp1miliar, berupa pemeliharan, perawatan, hingga pengawasan. Jika populasi badak jawa sekitar 70-80 individu, artinya setara 10 persen APBD Kabupaten Pandeglang.
“Hasil kejahatan ini cukup besar. Seharusnya diadli dengan hukuman maksimal,” ungkapnya, Jumat [30/8/2024].
Dalam perkara lingkungan, kata Rony, peradilan di Indonesia berlaku doktrin in dubio pro natura. Artinya, bila dalam menangani suatu perkara hakim mengalami keragu-raguan mengenai bukti, hakim harus mengedepankan perlindungan lingkungan dalam putusannya.
Kelemahan cara pandang hukum lingkungan di Indonesia itu, hanya menilai kerugian materil dari nominal transaksi kejahatan. Sementara, potensial kerugian lingkungan tidak pernah dihitung.
“Putusan hakim harusnya memuat tiga hal esensial yakni keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum.”
Harapan penegakan hukum
Kita berharap, kejahatan satwa dilindungi akan menimbulkan efek jera. Ini sebagaimana tertera dalam Rancangan Undang-undang tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, yang sudah disahkan DPR.
“Perubahan hukuman pidana maksimal menjadi 11 tahun,” ungkap Rony.
Penetapan angka-angka tertentu dalam aspek sanksi administratif, sebagai upaya pemulihan kerusakan yang ditimbulkan para pelaku, sebaiknya juga dimunculkan.
“Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, sudah menyertakan sanksi administratif tersebut.”
Untuk itu, kapasitas hakim dan jaksa dalam mengadili perkara satwa endemik Indonesia, mutlak memiliki pertimbangan hukum atas hak asasi manusia. Ini terkait hak untuk memperoleh lingkungan yang baik dan berkelanjutan.
“Tujuannya, agar perangkat pengadil tidak hanya melihat dari perkara saja, tetapi juga efek yang ditimbulkan setelahnya,” pungkasnya.