- Warga Kampung Klalik, Kabupaten Sorong, Papua Barat Daya telah meninggalkan kebiasaan berburu ekidna, atau yang dikenal sebagai babi duri.
- Sejak tahun 2023, warga mulai melindungi satwa langka ini dan mengembangkan program ekowisata khusus mengamati ekidna.
- Dengan ekowisata ini, turis dari mancanegara telah datang berkunjung untuk melihat ekidna. Rata-rata mereka tinggal antara 3-7 hari di rumah warga.
- Tidak saja ekidna, kampung Klalik juga memiliki banyak keragaman hayati seperti burung dan satwa-satwa lainnya.
Ekidna adalah mamalia bertelur atau monotremata yang merupakan satwa endemik Papua, ia dimasukkan dalam famili Tachyglossidae. Satwa ini bentuknya seperti landak dan hanya ditemukan di wilayah-wilayah hutan tertentu saja.
Di Provinsi Papua Barat Daya, satwa yang juga dikenal dengan nama babi duri ini masih dapat dijumpai di wilayah Sorong Selatan, seperti di Kampung Malagufuk, dan Kampung Klalik di Kabupaten Sorong, serta di beberapa lokasi di Kabupaten Tambrauw.
Meski sudah ada peraturan daerah yang melarang hal itu, nyatanya di beberapa wilayah Kepala Burung seperti di Kabupaten Tambrauw, Kabupaten Sorong, dan Kabupaten Maybrat satwa ini masih sering diburu dan dimakan.
Namun hal ini terbalik dengan apa yang dilakukan warga Kampung Klalik, Distrik Klaso, Kabupaten Sorong. Kesadaran untuk melindungi Ekidna sebagai satwa yang terancam punah telah tumbuh.
Di desa kecil yang dikelilingi oleh Gunung Klalik dan dipenuhi oleh pepohonan besar, ekidna bahkan telah menjadi ikon kampung.
Ini diawali pada tahun 2023. Saat organisasi lingkungan Flora Fauna Indonesia (FFI) bersama warga setempat mengadakan survey untuk identifikasi potensi keanekaragaman hayati. Hasilnya mereka menemukan jika keberadaan ekidna, banyak dijumpai di wilayah ini.
Untuk melindungi ekidna dan mendorong tumbuhnya ekonomi warga, digagaslah ekowisata alam berbasis pengambatan ekidna.
“Juni 2023 menjadi titik awal kedatangan wisatawan asing untuk melihat satwa ekidna di Klalik. Nama Kampung Klalik pun mulai dikenal hingga ke luar negeri, seperti Eropa, Jepang, Amerika, Malaysia, Singapura, dan lainnya. Dari Juni 2023 hingga September 2024, sudah ada lebih dari 100 pengunjung dari luar negeri,” ujar Isai Onesimus Paa, seorang pemuda setempat.
Selain memandu para wisatawan, Isai juga terlibat dalam mendampingi warga Kampung Klalik untuk mengembangkan jasa ekowisata alam. Dia sebut para wisatawan yang datang biasanya menginap di rumah-rumah warga selama beberapa hari.
“Tamu biasanya menginap di kampung selama tiga hingga lima hari, bahkan ada yang hingga satu minggu. Hal itu karena malam hari adalah waktu yang paling tepat untuk masuk ke hutan mencari ekidna,” jelasnya.
Biasanya, pukul tujuh atau delapan malam, para pemandu terlebih dahulu menyusuri jalur di belakang kampung. Jika warga kampung sudah menemukan ekidna, mereka akan kembali ke kampung dan membawa tamu bersama-sama ke hutan untuk melihatnya.
“Setelah puas berfoto dan merekam video, kami kembali ke kampung,” sambung Isai.
Dengan adanya ekowisata sebutnya, mama-mama kini bisa menjadi penyedia makanan lokal, sementara para pemuda dan kaum bapak, bisa menjadi pemandu wisata yang membawa para tamu ke hutan.
Inisiatif Wisata yang Disambut Baik
Daud Malak, Kepala Kampung Klalik, menyambut baik perkembangan kampungnya yang mulai dikenal dunia sebagai destinasi ekowisata ekidna. Menurutnya, ekidna tinggalnya tidak jauh dari Kampung, sehingga wisatawan tidak kesulitan untuk menemukannya di hutan sekitar kampung.
“Kampung kami kini dikenal dunia. Wisatawan datang dari berbagai belahan dunia ke Kampung Klalik karena ingin melihat babi duri,” sebut Daud bangga.
Freddy Pattiselano, Kepala Laboratorium Peternakan Fakultas Universitas Papua (UNIPA), yang pernah melakukan penelitian di Kampung Klalik pada pertengahan 2023, menyebut potensi Klalik tak kalah besar dibandingkan dengan kampung konservasi lainnya di Papua Barat Daya, seperti Malagufuk.
“Awalnya kami pikir hanya bakal jumpai ekidna di Kampung Klalik, tetapi setelah melakukan penelitian, kami menemukan bahwa populasi burung di sana juga sangat bagus,” sebut Freddy. “Secara keseluruhan, potensi satwa liar di Klalik cukup besar.”
Penelitian Freddy mengungkap bahwa dahulu masyarakat Kampung Klalik sering memasang jerat untuk babi hutan dan rusa, namun seringkali ekidna pun terjerat dan di konsumsi.
Namun, setelah adanya kesadaran yang ditumbuhkan, masyarakat kini telah memindahkan lokasi jerat mereka. Mereka pun tidak lagi berburu atau mengonsumsi Ekidna.
Satwa tersebut kini menjadi sumber pendapatan alternatif melalui ekowisata.
“Setelah FFI masuk dan memberikan pendampingan, mereka mulai sadar akan pentingnya melindungi satwa ini. Kini, ekidna dilindungi dan masyarakat mendapatkan pendapatan alternatif melalui ekidna,” sambungnya.
Dia pun sebut ada modal budaya yang ada di masyarakat yang turut membantu konservasi.
“Positifnya, di beberapa budaya setempat, ekidna masih dianggap sebagai satwa keramat atau pamali, sehingga masyarakat setempat tidak akan berburu mereka.”
Ancaman Perdagangan Satwa Liar dan Konversi Hutan
Namun, Freddy juga mengingatkan bahwa ancaman terbesar bagi keberlangsungan ekidna dan satwa liar lainnya di Kampung Klalik adalah deforestasi dan konversi lahan.
“Ancaman terbesar adalah pembabatan hutan dan penebangan kayu. Jika jalan terus dibuka dan hutan semakin habis, satwa-satwa seperti ekidna akan menghilang. Hutan yang dibabat untuk sawit pun menghancurkan habitat mereka,” terang Freddy.
Pengamatan di sosial media seperti Facebook, satwa-satwa liar seperti cendrawasih, kuskus, taon-taon (julang papua), termasuk kuskus pun masih marak diperdagangkan. Di platform ini, disebut asal satwa ini adalah dari Miyah, Aifat, Aifat Timur, dan Klabra.
Fajar, seorang pegawai dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Papua Barat Daya, mengungkap tantangan terbesar dalam melindungi satwa liar di provinsi ini adalah luasnya wilayah.
“Luasnya wilayah Papua Barat dan Papua Barat Daya ini membuat sulit untuk menjangkau semua komunitas yang tersebar di daerah tersebut.” jelasnya.
Namun, BKSDA Papua Barat dan Papua Barat Daya tetap aktif dalam melakukan berbagai upaya dan kegiatan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat adat di Tanah Papua agar mereka lebih peduli terhadap pentingnya pelestarian satwa liar yang dilindungi, pungkasnya.